Apindo Desak Pemerintah Terbitkan Perppu Moratorium PKPU dan Kepailitan
Selasa, 07 September 2021 - 14:15 WIB
JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) , Hariyadi Sukamdani memaparkan ulasan terkait polemik peningkatan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
Apindo mengusulkan kepada pemerintah agar segera menerbitkan Perppu Moratorium UU No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU serta melakukan amandemen/revisi.
Apindo berpendapat bahwa kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena dapat mengganggu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan seluruh asosiasi dunia usaha.
“Pengajuan PKPU dan kepailitan ini pada taraf yang sudah tidak dalam kondisi untuk menyehatkan perusahaan tetapi justru untuk berujung kepada kepailitan. Padahal, maksud dan tujuan dari PKPU ini untuk memberikan hak kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk dapat meminta penundaan kewajiban pembayaran utang dalam rangka menyehatkan perusahaannya,” paparnya dalam konferensi pers, Selasa (7/9/2021).
Menurut dia, format dari PKPU seharusnya adalah format dari debitur untuk mengajukan PKPU, tetapi yang terjadi justru 95 persen dipakai oleh kreditur. Selain itu, Apindo juga menyoroti soal pengambilan keputusan guna mencapai sebuah kesepakatan dalam rangka merestrukturisasi utang.
“Pengambilan keputusan apakah ini akan mencapai sebuah kesepakatan untuk restrukturisasi utangnya atau ditolak. Kalau diterima itu berarti terjadi restrukturisasi utang sesuai dengan jadwal yang diajukan oleh debiturnya. Tapi kalau ditolak, itu langsung pailit. Mekanisme pengambilan keputusan ini tidak proporsional,” tukasnya.
Dia menjelaskan, dalam pengambilan keputusan tersebut ada dua kamar. Kamar pertama untuk kreditur yang mempunyai jaminan atau kreditur separatis, lalu kamar kedua ditempati oleh kreditur yang tidak mempunyai jaminan atau kreditur konkuren.
“Pengambilan dua kamar ini, hasilnya adalah kalau salah satu kamar menyatakan tidak setuju maka jatuh keputusan tidak setuju. Ini contoh yang tidak proporsional. Seharusnya, untuk menentukan suatu perusahaan itu insolvensi atau tidak mampu melanjutkan operasionalnya maka harus dilakukan insolvensi tes untuk mengukur seberapa tingkat kemampuan perusahaan itu masih layak beroperasi,” bebernya.
Apindo mengusulkan kepada pemerintah agar segera menerbitkan Perppu Moratorium UU No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU serta melakukan amandemen/revisi.
Apindo berpendapat bahwa kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena dapat mengganggu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan seluruh asosiasi dunia usaha.
“Pengajuan PKPU dan kepailitan ini pada taraf yang sudah tidak dalam kondisi untuk menyehatkan perusahaan tetapi justru untuk berujung kepada kepailitan. Padahal, maksud dan tujuan dari PKPU ini untuk memberikan hak kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk dapat meminta penundaan kewajiban pembayaran utang dalam rangka menyehatkan perusahaannya,” paparnya dalam konferensi pers, Selasa (7/9/2021).
Menurut dia, format dari PKPU seharusnya adalah format dari debitur untuk mengajukan PKPU, tetapi yang terjadi justru 95 persen dipakai oleh kreditur. Selain itu, Apindo juga menyoroti soal pengambilan keputusan guna mencapai sebuah kesepakatan dalam rangka merestrukturisasi utang.
“Pengambilan keputusan apakah ini akan mencapai sebuah kesepakatan untuk restrukturisasi utangnya atau ditolak. Kalau diterima itu berarti terjadi restrukturisasi utang sesuai dengan jadwal yang diajukan oleh debiturnya. Tapi kalau ditolak, itu langsung pailit. Mekanisme pengambilan keputusan ini tidak proporsional,” tukasnya.
Dia menjelaskan, dalam pengambilan keputusan tersebut ada dua kamar. Kamar pertama untuk kreditur yang mempunyai jaminan atau kreditur separatis, lalu kamar kedua ditempati oleh kreditur yang tidak mempunyai jaminan atau kreditur konkuren.
“Pengambilan dua kamar ini, hasilnya adalah kalau salah satu kamar menyatakan tidak setuju maka jatuh keputusan tidak setuju. Ini contoh yang tidak proporsional. Seharusnya, untuk menentukan suatu perusahaan itu insolvensi atau tidak mampu melanjutkan operasionalnya maka harus dilakukan insolvensi tes untuk mengukur seberapa tingkat kemampuan perusahaan itu masih layak beroperasi,” bebernya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda