Menakar Sejauh Mana Kasus Gagal Bayar Evergrande Merembet ke Indonesia
Selasa, 23 November 2021 - 04:14 WIB
JAKARTA - Kabar cukup menggemparkan datang dari krisis utang yang melanda Evergrande , salah satu perusahaan properti raksasa dari China . Perusahaan tersebut memiliki total liabilitas sekitar USD305 miliar. Krisis ini dikhawatirkan dapat meruntuhkan stabilitas keuangan China maupun global.
Hal ini terjadi karena buruknya sistem yang telah sekian lama dijalankan perusahaan properti di China, dimana perusahaan memanfaatkan utang sebesar-besarnya sebagai modal kerja usaha sehingga menyebabkan pemerintah China menerapkan kebijakan baru yang disebut ‘three red lines’.
Pada dasarnya, kebijakan ini dicanangkan untuk menekan pertumbuhan utang perusahaan dengan mengatur batasan tiga rasio kredit utama untuk menjaga likuiditas perusahaan agar tetap berada di zona yang aman.
Kebijakan ini yang menyebabkan Evergrande mengalami gagal bayar. Selain itu, hal ini juga berdampak pada perusahaan-perusahaan pengembang lain, dimana satu persatu dari mereka mulai merasakan efek yang sama seperti yang dialami Evergrande.
Seperti pengembang properti kelas menengah Fantasia Holdings yang melewatkan pembayaran obligasi senilai USD205,7 juta, ditambah dengan unit bisnis perusahaan yang secara terpisah juga gagal membayar pinjaman sebesar USD108 juta.
Sedangkan pengembang properti lain seperti Modern Land meminta investor untuk perpanjangan 3 bulan pada obligasi USD250 juta yang akan jatuh tempo 25 Oktober.
Lalu bagaimanakah dampak dari kondisi krisis Evergrande dan kerawanan industri properti di China terhadap Indonesia? Salah satu kekhawatiran dari efek Evergrande adalah kenaikan cost of fund atau biaya dana dimana jika biaya dana tinggi, maka pengembang China yang ada di Indonesia akan otomatis tertekan.
Hal ini menyebabkan developer China tidak bisa lagi mencari pendanaan di Indonesia akibat biaya dana yang tinggi, sehingga pasar real estate di Indonesia akan sulit bekerja sama dengan pengembang China.
Hal ini terjadi karena buruknya sistem yang telah sekian lama dijalankan perusahaan properti di China, dimana perusahaan memanfaatkan utang sebesar-besarnya sebagai modal kerja usaha sehingga menyebabkan pemerintah China menerapkan kebijakan baru yang disebut ‘three red lines’.
Pada dasarnya, kebijakan ini dicanangkan untuk menekan pertumbuhan utang perusahaan dengan mengatur batasan tiga rasio kredit utama untuk menjaga likuiditas perusahaan agar tetap berada di zona yang aman.
Kebijakan ini yang menyebabkan Evergrande mengalami gagal bayar. Selain itu, hal ini juga berdampak pada perusahaan-perusahaan pengembang lain, dimana satu persatu dari mereka mulai merasakan efek yang sama seperti yang dialami Evergrande.
Seperti pengembang properti kelas menengah Fantasia Holdings yang melewatkan pembayaran obligasi senilai USD205,7 juta, ditambah dengan unit bisnis perusahaan yang secara terpisah juga gagal membayar pinjaman sebesar USD108 juta.
Sedangkan pengembang properti lain seperti Modern Land meminta investor untuk perpanjangan 3 bulan pada obligasi USD250 juta yang akan jatuh tempo 25 Oktober.
Lalu bagaimanakah dampak dari kondisi krisis Evergrande dan kerawanan industri properti di China terhadap Indonesia? Salah satu kekhawatiran dari efek Evergrande adalah kenaikan cost of fund atau biaya dana dimana jika biaya dana tinggi, maka pengembang China yang ada di Indonesia akan otomatis tertekan.
Hal ini menyebabkan developer China tidak bisa lagi mencari pendanaan di Indonesia akibat biaya dana yang tinggi, sehingga pasar real estate di Indonesia akan sulit bekerja sama dengan pengembang China.
tulis komentar anda