Pemerintah Perlu Pertimbangkan Jadikan Pertalite BBM Bersubsidi
Kamis, 13 Januari 2022 - 13:08 WIB
JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan untuk menjadikan bahan bakar minyak ( BBM ) jenis Pertalite sebagai BBM bersubsidi. Dengan demikian, pemerintah berkesempatan menghapus Premium yang dianggap sebagai BBM yang kurang ramah lingkungan.
"Penghapusan Premium sangat penting bagi Presiden Jokowi sebagai G20 Presidency dan Pemimpin COP 26. Ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menurunkan emisi karbondioksida. Ini juga akan menjadi bagian dari upaya menurunkan risiko utang Pertamina," ungkap Peneliti pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, Kamis (13/1/2022).
Salamuddin mengatakan, Pertalite dan Pertamax 92 bukan BBM subsidi. Namun, kedua BBM tersebut selama ini dipersepsikan sebagai BBM bersubsidi dimana harga jualnya tidak mengikuti pasar yang berlaku sebagaimana harga BBM nonsubsidi di SPBU swasta dan asing di Indonesia.
"Harga jualnya terkesan terpaksa tidak berani disesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Padahal kenyataannya pesaing Pertamina sudah merasionalisasi harga pada jenis BBM RON 90 setara Pertalite dan 92 setara Pertamax," ujarnya.
Salamuddin mengingatkan, harga minyak mentah saat ini sudah naik ke kisaran USD75-80 per barel. Namun, di tengah kenaikan harga minyak tersebut, Pertamina Patra Niaga sebagai Badan Usaha Niaga Umum Non-BUMN tidak memiliki mekanisme penyesuaian harga yang bersifat otomatis karena tidak ada regulasi pendukungnya.
"Pertamina Patra Niaga sub holding ritel Pertamina bisa mengalami kesulitan keuangan karena menjalankan bisnis BBM yang terpaksa membuatnya rugi," cetusnya.
Baca Juga: AS Tolak Mentah-mentah Permintaan Rusia Setop Ekspansi NATO
Dia menambahkan, Pertamina sebagai induk holding pun terancam mengalami pendarahan keuangan disebabkan 3 hal sekaligus. Pertama, utang yang bertambah untuk membiayai pengadaan BBM, pembayaran bunga dan utang jatuh tempo.
Kedua, piutang subsidi dan pergantian selisih harga yang belum dibayar oleh pemerintah. Dan ketiga, menanggung biaya atas operasi anak perusahaan yang merugi. "Sementara, Patra Niaga meskipun rugi tak mungkin dibubarkan karena bertanggung jawab mendistribusikan BBM ke seluruh negeri," paparnya.
Karena itu, kata dia, mengingat penjualan Pertalite sangat besar, perlu dipertimbangkan agar bahan bakar ini dijadikan BBM bersubsidi. Dengan begitu, kata dia, selisih harga jual Pertalite dengan harga pasar menjadi tanggung jawab APBN. Dengan demikian, kerugian Pertamina melalui Pertamina Patra Niaga pun dapat ditekan.
"Penghapusan Premium sangat penting bagi Presiden Jokowi sebagai G20 Presidency dan Pemimpin COP 26. Ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menurunkan emisi karbondioksida. Ini juga akan menjadi bagian dari upaya menurunkan risiko utang Pertamina," ungkap Peneliti pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, Kamis (13/1/2022).
Baca Juga
Salamuddin mengatakan, Pertalite dan Pertamax 92 bukan BBM subsidi. Namun, kedua BBM tersebut selama ini dipersepsikan sebagai BBM bersubsidi dimana harga jualnya tidak mengikuti pasar yang berlaku sebagaimana harga BBM nonsubsidi di SPBU swasta dan asing di Indonesia.
"Harga jualnya terkesan terpaksa tidak berani disesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Padahal kenyataannya pesaing Pertamina sudah merasionalisasi harga pada jenis BBM RON 90 setara Pertalite dan 92 setara Pertamax," ujarnya.
Salamuddin mengingatkan, harga minyak mentah saat ini sudah naik ke kisaran USD75-80 per barel. Namun, di tengah kenaikan harga minyak tersebut, Pertamina Patra Niaga sebagai Badan Usaha Niaga Umum Non-BUMN tidak memiliki mekanisme penyesuaian harga yang bersifat otomatis karena tidak ada regulasi pendukungnya.
"Pertamina Patra Niaga sub holding ritel Pertamina bisa mengalami kesulitan keuangan karena menjalankan bisnis BBM yang terpaksa membuatnya rugi," cetusnya.
Baca Juga: AS Tolak Mentah-mentah Permintaan Rusia Setop Ekspansi NATO
Dia menambahkan, Pertamina sebagai induk holding pun terancam mengalami pendarahan keuangan disebabkan 3 hal sekaligus. Pertama, utang yang bertambah untuk membiayai pengadaan BBM, pembayaran bunga dan utang jatuh tempo.
Kedua, piutang subsidi dan pergantian selisih harga yang belum dibayar oleh pemerintah. Dan ketiga, menanggung biaya atas operasi anak perusahaan yang merugi. "Sementara, Patra Niaga meskipun rugi tak mungkin dibubarkan karena bertanggung jawab mendistribusikan BBM ke seluruh negeri," paparnya.
Karena itu, kata dia, mengingat penjualan Pertalite sangat besar, perlu dipertimbangkan agar bahan bakar ini dijadikan BBM bersubsidi. Dengan begitu, kata dia, selisih harga jual Pertalite dengan harga pasar menjadi tanggung jawab APBN. Dengan demikian, kerugian Pertamina melalui Pertamina Patra Niaga pun dapat ditekan.
(fai)
tulis komentar anda