Kebijakan Zero ODOL Lemahkan Daya Saing Industri
Selasa, 08 Maret 2022 - 13:07 WIB
“Penundaan ini dimaksud agar industri siap pada tahun 2023-2025. Jadi, sejalan dengan surat tersebut industri mau tidak mau mempersiapkan diri dan melakukan adjustmen terkait pemberlakuan Zero ODOL tersebut,” katanya.
Wiwik mengatakan apabila kebijakan zero ODOL tersebut diterapkan secara umum akan ada kenaikan biaya logistik (pengangkutan) untuk mendapatkan bahan baku maupun dalam distribusi barang/produk jadi ke konsumen. Biaya tersebut pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen dengan harga jual produk yang meningkat.
(Baca juga:Ekonomi Belum Pulih, Pengusaha Minta Kebijakan Zero ODOL Ditunda hingga 2025)
Bagi industri, peningkatan harga ini tidak dapat dihindarkan tetapi hal tersebut akan menurunkan tingkat daya saing perusahaan dan produk. “Apabila harga produk di dalam negeri tinggi dikhawatirkan akan meningkatkan masuknya produk impor yang lebih murah,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan sejak disepakati oleh tiga Menteri (Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Menteri Perindustrian) pada awal Februari 2022 tentang relaksasi Zero ODOL yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2023, maka para industri kaca mulai melakukan peremajaan truk tua. Namun percepatan peremajaan truk tersebut terhenti karena pandemi.
Secara operasional kinerja industri kaca membaik pada akhir kuartal I/2021, termasuk operasional angkutan. Namun secara finansial masih belum pulih karena harus menutup kerugian sebelumnya. “Alhasil peremajaan truk tersebut terhenti,” kata Yustinus.
Pada intinya, kata Yustinus, pelaku industri umumnya mematuhi regulasi, termasuk izin dan kir rutin truk. Namun, truk yang sesuai aturan dengan beban angkutan tidak melampaui izin truk bisa melanggar bila melalui jalan yang berdaya dukung lebih kecil. “Lha, ini berarti infrastruktur atau kelas jalan juga harus ditingkatkan,” katanya.
Apindo bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah membuat kajian tentang kebijakan Zero ODOL. Disimpulkan bahwa semua pihak harus meningkatkan kemampuan sehingga tidak jomplang, atau jangan dibebankan ke pelaku industri saja.
Akibat pandemi, kata Yustinus, industri paling tidak membutuhkan waktu dua tahun untuk bisa keluar dari krisis. “Sehingga sangat tepat bila pemberlakuan Zero ODOL diberikan ‘injury time’ atau perpanjangan waktu dua tahun menjadi 1 Januari 2025,” katanya.
Dengan perpanjangan waktu tersebut, kata Yustinus, memungkinkan pelaku industri dan pengusaha angkutan mempunyai kemampuan finansial yang cukup untuk peremajaan truk. “Memang alternatif moda angkutan kereta api sudah dicoba, namun mandek tidak mencapai 1% dari total angkutan karena tidak efisien,” paparnya.
Wiwik mengatakan apabila kebijakan zero ODOL tersebut diterapkan secara umum akan ada kenaikan biaya logistik (pengangkutan) untuk mendapatkan bahan baku maupun dalam distribusi barang/produk jadi ke konsumen. Biaya tersebut pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen dengan harga jual produk yang meningkat.
(Baca juga:Ekonomi Belum Pulih, Pengusaha Minta Kebijakan Zero ODOL Ditunda hingga 2025)
Bagi industri, peningkatan harga ini tidak dapat dihindarkan tetapi hal tersebut akan menurunkan tingkat daya saing perusahaan dan produk. “Apabila harga produk di dalam negeri tinggi dikhawatirkan akan meningkatkan masuknya produk impor yang lebih murah,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan sejak disepakati oleh tiga Menteri (Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Menteri Perindustrian) pada awal Februari 2022 tentang relaksasi Zero ODOL yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2023, maka para industri kaca mulai melakukan peremajaan truk tua. Namun percepatan peremajaan truk tersebut terhenti karena pandemi.
Secara operasional kinerja industri kaca membaik pada akhir kuartal I/2021, termasuk operasional angkutan. Namun secara finansial masih belum pulih karena harus menutup kerugian sebelumnya. “Alhasil peremajaan truk tersebut terhenti,” kata Yustinus.
Pada intinya, kata Yustinus, pelaku industri umumnya mematuhi regulasi, termasuk izin dan kir rutin truk. Namun, truk yang sesuai aturan dengan beban angkutan tidak melampaui izin truk bisa melanggar bila melalui jalan yang berdaya dukung lebih kecil. “Lha, ini berarti infrastruktur atau kelas jalan juga harus ditingkatkan,” katanya.
Apindo bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah membuat kajian tentang kebijakan Zero ODOL. Disimpulkan bahwa semua pihak harus meningkatkan kemampuan sehingga tidak jomplang, atau jangan dibebankan ke pelaku industri saja.
Akibat pandemi, kata Yustinus, industri paling tidak membutuhkan waktu dua tahun untuk bisa keluar dari krisis. “Sehingga sangat tepat bila pemberlakuan Zero ODOL diberikan ‘injury time’ atau perpanjangan waktu dua tahun menjadi 1 Januari 2025,” katanya.
Dengan perpanjangan waktu tersebut, kata Yustinus, memungkinkan pelaku industri dan pengusaha angkutan mempunyai kemampuan finansial yang cukup untuk peremajaan truk. “Memang alternatif moda angkutan kereta api sudah dicoba, namun mandek tidak mencapai 1% dari total angkutan karena tidak efisien,” paparnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda