Pemerintah Diminta Prioritaskan Jaga Harga BBM Ketimbang Bangun Ibu Kota Baru
Senin, 14 Maret 2022 - 14:53 WIB
JAKARTA - Direktur of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, langkah pemerintah untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite sudah tepat. Mengingat saat ini harga BBM juga menjadi masalah yang paling mendesak untuk disikapi.
Dia mengatakan, jika harga Pertalite naik, maka akan memengaruhi biaya lainnya, seperti biaya distribusi logistik. Jika BBM naik, maka akan menyeret harga pangan semakin tinggi lagi.
"Terkait dengan stabilitas harga energi yang nantinya memengaruhi biaya distribusi, sebaiknya pemerintah perlu terus menahan harga Pertalite. Konsumsi Pertalite kan mencapai 50% dari total konsumsi BBM nasional," kata Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Senin (14/3/2022).
Sebagai langkah untuk mengendalikan inflasi, Bhima memberi masukan, pemerintah bisa menambah dana kompensasi ke Pertamina. Untuk BBM jenis non-subsidi seperti Pertalite alokasi dana kompensasi bisa melalui skema APBN.
"Dana kompensasi didapatkan dari windfall atau keuntungan booming harga komoditas," bebernya.
Lanjut Bhima, sejauh ini ketika harga minyak mentah mencapai di atas USD127 per barel maka ada tambahan pendapatan negara dalam bentuk pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp192 triliun.
"Itu pendapatan kan langsung naik, jadi APBN punya ruang untuk tahan kenaikan harga Pertalite. Bahkan Pertamax juga bisa ditahan kenaikan harganya, meski harga minyak mentah sedang liar," ujarnya.
Menurut Bhima, harga keekonomian Pertalite estimasinya di atas Rp11.500 per liter. Jadi kalau dijual Rp7.650 per liter maka Pertamina harus menanggung selisih Rp3.850 per liter. Walaupun pemerintah merasa kesulitan menambal selisih harga keekonomian dan harga jual BBM, bisa dilakukan realokasi dari dana infrastruktur.
"Antara pembangunan IKN dan jaga stabilitas harga di masyarakat pastinya lebih prioritas jaga stabilitas harga," tandasnya.
Dia mengatakan, jika harga Pertalite naik, maka akan memengaruhi biaya lainnya, seperti biaya distribusi logistik. Jika BBM naik, maka akan menyeret harga pangan semakin tinggi lagi.
"Terkait dengan stabilitas harga energi yang nantinya memengaruhi biaya distribusi, sebaiknya pemerintah perlu terus menahan harga Pertalite. Konsumsi Pertalite kan mencapai 50% dari total konsumsi BBM nasional," kata Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Senin (14/3/2022).
Sebagai langkah untuk mengendalikan inflasi, Bhima memberi masukan, pemerintah bisa menambah dana kompensasi ke Pertamina. Untuk BBM jenis non-subsidi seperti Pertalite alokasi dana kompensasi bisa melalui skema APBN.
"Dana kompensasi didapatkan dari windfall atau keuntungan booming harga komoditas," bebernya.
Lanjut Bhima, sejauh ini ketika harga minyak mentah mencapai di atas USD127 per barel maka ada tambahan pendapatan negara dalam bentuk pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp192 triliun.
"Itu pendapatan kan langsung naik, jadi APBN punya ruang untuk tahan kenaikan harga Pertalite. Bahkan Pertamax juga bisa ditahan kenaikan harganya, meski harga minyak mentah sedang liar," ujarnya.
Menurut Bhima, harga keekonomian Pertalite estimasinya di atas Rp11.500 per liter. Jadi kalau dijual Rp7.650 per liter maka Pertamina harus menanggung selisih Rp3.850 per liter. Walaupun pemerintah merasa kesulitan menambal selisih harga keekonomian dan harga jual BBM, bisa dilakukan realokasi dari dana infrastruktur.
"Antara pembangunan IKN dan jaga stabilitas harga di masyarakat pastinya lebih prioritas jaga stabilitas harga," tandasnya.
(uka)
tulis komentar anda