Peneliti BRIN: Kenaikan Harga BBM Perlu untuk Kendalikan Beban Subsidi
Jum'at, 15 April 2022 - 19:45 WIB
JAKARTA - Peneliti Ahli Ekonomi Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional ( BRIN ) Maxensius Tri Sambodo menilai penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) ketika harga minyak dunia sudah di atas USD100 per barel adalah opsi tepat. Jika tidak, dengan harga minyak yang sudah jauh melampaui proyeksi dalam APBN sebesar USD63 per barel, beban subsidi akan sulit terkendali.
Maxensius mengatakan, konsumsi BBM di dalam negeri, khususnya yang bersubsidi menunjukkan tren meningkat. Sementara, produksi minyak tidak sehingga harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Hal ini sangat memengaruhi APBN karena beban subsidi yang terus bertambah.
"Subsidi akan terus naik. Kalau tidak dikendalikan, bisa lebih parah lagi," ujarnya dalam diskusi dengan media secara virtual, Kamis (14/4/2022).
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, realisasi subsidi energi pada 2021 mencapai Rp131,5 triliun, naik 19% dari target yang ditetapkan sebesar Rp110,5 triliun. Kenaikan itu dikarenakan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat di saat pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi.
Tercatat, lonjakan signifikan berasal dari subsidi BBM dan LPG yakni Rp83,7 triliun dari target awal sebesar Rp56,9 triliun. Jika dibandingkan tahun 2020, realisasi subsidi energi tahun 2021 melonjak 37,4%. Realisasi subsidi energi pada 2020 sebesar Rp95,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan LPG Rp47,7 triliun dan subsidi listrik Rp48 triliun.
Untuk tahun ini, subsidi energi dipatok sebesar menjadi Rp134 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan LPG Rp77,5 triliun dan subsidi listrik Rp56,5 triliun. Namun, seiring dengan melesatnya harga minyak dunia, angka ini diperkirakan bakal terlampaui. Jika tidak dikendalikan melalui penyesuaian harga BBM, LPG dan listrik, subsidi energi tahun ini menurutnya berpotensi membengkak sesuai dengan naiknya harga energi global.
Maxensius mengatakan, kendati subsidi energi perlu untuk meredam inflasi, menekan kemiskinan dan pengangguran, namun jika tak dikendalikan akan sangat memberatkan anggaran negara. Pakar ekonomi energi dan sumber daya alam lulusan Australian National University itu menambahkan, pemberian subsidi juga harus memperhatikan aspek keadilan. "Setiap satu rupiah yang digunakan untuk subsidi itu harus berimplikasi ke keadilan. Kita lihat, ada enggak efek itu," ujarnya.
Maxensius juga menyoroti fenomena penyalahgunaan subsidi oleh mereka yang tidak berhak. Kebijakan penyesuaian harga BBM menurutnya kerap membuat masyarakat berburu BBM yang murah. Untuk itu, dia menyarankan pemerintah memberbaiki strategi komunikasi tentang situasi harga minyak dan dampak yang ditimbulkannya.
Komunikasi itu menurutnya harus dibangun berbasis pada data. Komunikasi ini diperlukan untuk memberikan informasi mengenai besarnya subsidi yang ditanggung pemerintah dan beban badan usaha akibat kenaikan harga minyak. "Mudah-mudahan melalui literasi yang baik, kita bisa mengubah perilaku masyarakat. Ini subsidi sayang uangnya," kata dia.
Maxensius menilai, sangat disayangkan jika anggaran negara habis untuk memberikan subsidi energi. Padahal, anggaran tersebut seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif, semisal mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri. "Kalau mau kompromi, naikkan saja harga BBM dan lainnya secara gradual. Ini juga untuk mengurangi beban pemerintah dan badan usaha," tandasnya.
Maxensius mengatakan, konsumsi BBM di dalam negeri, khususnya yang bersubsidi menunjukkan tren meningkat. Sementara, produksi minyak tidak sehingga harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Hal ini sangat memengaruhi APBN karena beban subsidi yang terus bertambah.
"Subsidi akan terus naik. Kalau tidak dikendalikan, bisa lebih parah lagi," ujarnya dalam diskusi dengan media secara virtual, Kamis (14/4/2022).
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, realisasi subsidi energi pada 2021 mencapai Rp131,5 triliun, naik 19% dari target yang ditetapkan sebesar Rp110,5 triliun. Kenaikan itu dikarenakan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat di saat pemulihan ekonomi akibat dampak pandemi.
Tercatat, lonjakan signifikan berasal dari subsidi BBM dan LPG yakni Rp83,7 triliun dari target awal sebesar Rp56,9 triliun. Jika dibandingkan tahun 2020, realisasi subsidi energi tahun 2021 melonjak 37,4%. Realisasi subsidi energi pada 2020 sebesar Rp95,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan LPG Rp47,7 triliun dan subsidi listrik Rp48 triliun.
Untuk tahun ini, subsidi energi dipatok sebesar menjadi Rp134 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan LPG Rp77,5 triliun dan subsidi listrik Rp56,5 triliun. Namun, seiring dengan melesatnya harga minyak dunia, angka ini diperkirakan bakal terlampaui. Jika tidak dikendalikan melalui penyesuaian harga BBM, LPG dan listrik, subsidi energi tahun ini menurutnya berpotensi membengkak sesuai dengan naiknya harga energi global.
Maxensius mengatakan, kendati subsidi energi perlu untuk meredam inflasi, menekan kemiskinan dan pengangguran, namun jika tak dikendalikan akan sangat memberatkan anggaran negara. Pakar ekonomi energi dan sumber daya alam lulusan Australian National University itu menambahkan, pemberian subsidi juga harus memperhatikan aspek keadilan. "Setiap satu rupiah yang digunakan untuk subsidi itu harus berimplikasi ke keadilan. Kita lihat, ada enggak efek itu," ujarnya.
Maxensius juga menyoroti fenomena penyalahgunaan subsidi oleh mereka yang tidak berhak. Kebijakan penyesuaian harga BBM menurutnya kerap membuat masyarakat berburu BBM yang murah. Untuk itu, dia menyarankan pemerintah memberbaiki strategi komunikasi tentang situasi harga minyak dan dampak yang ditimbulkannya.
Komunikasi itu menurutnya harus dibangun berbasis pada data. Komunikasi ini diperlukan untuk memberikan informasi mengenai besarnya subsidi yang ditanggung pemerintah dan beban badan usaha akibat kenaikan harga minyak. "Mudah-mudahan melalui literasi yang baik, kita bisa mengubah perilaku masyarakat. Ini subsidi sayang uangnya," kata dia.
Maxensius menilai, sangat disayangkan jika anggaran negara habis untuk memberikan subsidi energi. Padahal, anggaran tersebut seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif, semisal mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri. "Kalau mau kompromi, naikkan saja harga BBM dan lainnya secara gradual. Ini juga untuk mengurangi beban pemerintah dan badan usaha," tandasnya.
(fai)
tulis komentar anda