Setelah Pandemi, Ini Ancaman Baru Ekonomi Indonesia
Jum'at, 13 Mei 2022 - 16:38 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Kebijakan Fiskal ( BKF ) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan bahwa kondisi perekonomian terkini sudah semakin membaik, seiring terkendalinya pandemi Covid-19 di Indonesia.
Dibandingkan dengan kondisi perekonomian di tahun 2019, dia mengatakan Indonesia adalah salah satu negara yang sudah keluar dan berada di atas kondisi pra-pandemi. Sebagai contoh, di kuartal I 2022 ini, capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah berada di atas rata-rata produk domestik bruto (PDB) di tahun 2019.
“Ini tentunya sangat menggembirakan. Artinya perekonomian kita terus pulih, terus semakin tinggi di atas level PDB 2019,” ujar Febrio dalam acara Tanya BKF di Jakarta, Jumat (13/5/2022).
Lebih lanjut, Febrio menyampaikan, beberapa negara juga sudah menunjukkan arah pemulihan. Kondisi tersebut merupakan hal yang baik karena akan berdampak positif bagi Indonesia. Namun, masih terdapat risiko yang mungkin harus dihadapi, misalnya kebijakan zero covid policy dari Tiongkok dan geopolitik di Rusia.
“Risiko mungkin yang harus kita hadapi adalah beberapa negara, seperti Tiongkok yang menerapkan zero covid policy itu mengakibatkan kontraksi di aktivitas manufakturnya. Sementara Rusia yang terkait dengan geopolitik itu masih dalam konteks kontraksi. Ini risiko yang masih harus kita hadapi dalam konteks perekonomian globalnya,” terang Febrio.
Selain itu, inflasi juga menjadi hal yang harus diperhatikan dan diantisipasi dengan baik. Menurut dia, beberapa negara sudah melakukan kebijakan moneter yang cukup kuat. Misalnya Brazil, Rusia, Meksiko, dan Afrika Selatan dalam merespons inflasi dengan kenaikan suku bunga acuannya. Sebaliknya, Amerika, walaupun inflasinya sudah di 8% ke atas, tingkat suku bunga kebijakannya belum disesuaikan dengan cepat.
“Ini menjadi antisipatif bagi kita karena kita juga harus melihat bahwa kemungkinan kenaikan suku bunga ini akan semakin cepat dalam beberapa bulan ke depan, sehingga dampaknya bagi perekonomian global dan domestik harus diantisipasi dengan baik,” lanjutnya.
Sementara, saat ini kondisi inflasi di Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan dengan banyak negara, yaitu sebesar 3,5% di bulan April atau masih sejalan dengan outlook pemerintah. Meski begitu, pemerintah akan terus memitigasi dampak inflasi terhadap harga-harga komoditas, baik energi maupun bahan pangan, sehingga inflasi yang tertransmisi ke rumah tangga masih relatif bisa dikelola dengan baik.
“APBN sebagai shock absorber memastikan bahwa dampaknya terhadap daya beli masyarakat juga dapat dikelola dengan baik,” pungkasnya.
Dibandingkan dengan kondisi perekonomian di tahun 2019, dia mengatakan Indonesia adalah salah satu negara yang sudah keluar dan berada di atas kondisi pra-pandemi. Sebagai contoh, di kuartal I 2022 ini, capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah berada di atas rata-rata produk domestik bruto (PDB) di tahun 2019.
“Ini tentunya sangat menggembirakan. Artinya perekonomian kita terus pulih, terus semakin tinggi di atas level PDB 2019,” ujar Febrio dalam acara Tanya BKF di Jakarta, Jumat (13/5/2022).
Lebih lanjut, Febrio menyampaikan, beberapa negara juga sudah menunjukkan arah pemulihan. Kondisi tersebut merupakan hal yang baik karena akan berdampak positif bagi Indonesia. Namun, masih terdapat risiko yang mungkin harus dihadapi, misalnya kebijakan zero covid policy dari Tiongkok dan geopolitik di Rusia.
“Risiko mungkin yang harus kita hadapi adalah beberapa negara, seperti Tiongkok yang menerapkan zero covid policy itu mengakibatkan kontraksi di aktivitas manufakturnya. Sementara Rusia yang terkait dengan geopolitik itu masih dalam konteks kontraksi. Ini risiko yang masih harus kita hadapi dalam konteks perekonomian globalnya,” terang Febrio.
Selain itu, inflasi juga menjadi hal yang harus diperhatikan dan diantisipasi dengan baik. Menurut dia, beberapa negara sudah melakukan kebijakan moneter yang cukup kuat. Misalnya Brazil, Rusia, Meksiko, dan Afrika Selatan dalam merespons inflasi dengan kenaikan suku bunga acuannya. Sebaliknya, Amerika, walaupun inflasinya sudah di 8% ke atas, tingkat suku bunga kebijakannya belum disesuaikan dengan cepat.
“Ini menjadi antisipatif bagi kita karena kita juga harus melihat bahwa kemungkinan kenaikan suku bunga ini akan semakin cepat dalam beberapa bulan ke depan, sehingga dampaknya bagi perekonomian global dan domestik harus diantisipasi dengan baik,” lanjutnya.
Sementara, saat ini kondisi inflasi di Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan dengan banyak negara, yaitu sebesar 3,5% di bulan April atau masih sejalan dengan outlook pemerintah. Meski begitu, pemerintah akan terus memitigasi dampak inflasi terhadap harga-harga komoditas, baik energi maupun bahan pangan, sehingga inflasi yang tertransmisi ke rumah tangga masih relatif bisa dikelola dengan baik.
Baca Juga
“APBN sebagai shock absorber memastikan bahwa dampaknya terhadap daya beli masyarakat juga dapat dikelola dengan baik,” pungkasnya.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda