Panas Bumi Vital bagi Program Dekarbonisasi dan Energi Bersih Indonesia
Jum'at, 10 Juni 2022 - 14:50 WIB
"Dibandingkan dengan EBT yang lain, panas bumi memang memiliki banyak kelebihan. Salah satu yang utama adalah pasokannya stabil dan capacity factor-nya tinggi," paparnya.
Dengan sifat itu, panas bumi menurutnya berpotensi menjadi pembangkit beban dasar (base-load). Sampai saat ini, hanya pembangkit berbasis fosil saja yang dapat menjadi pembangkit beban dasar, terutama PLTU berbahan bakar batu bara (PLTU). PLTP juga memiliki kelebihan lain, yakni pasokan listriknya stabil dan harganya yang termasuk murah. Itu pula yang menjadi pembeda dengan pembangkit EBT lain seperti air, tenaga surya, dan angin yang sangat bergantung pada cuaca.
Menurut Herman, PLTP bisa menjadi pembangkit beban dasar meski tidak bisa menggantikan PLTU sepenuhnya. Sebagai contoh, berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, beban puncak di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pada 2021 mencapai 29,5 GW, sementara potensi panas bumi di kawasan ini hanya 8 GW. "Pada 2060, prediksi saya produksi listrik panas bumi berkisar 150 TWh, sementara produksi listrik secara nasional akan mencapai 2.600 TWh," kata Herman.
Herman mengusulkan strategi pengembangan yang berbeda antara Sumatera-Jawa dengan daerah lain yang memiliki potensi panas bumi. Untuk Sumatera dan Jawa, kata dia, listrik dari panas bumi bisa masuk ke grid PLN untuk mengurangi pasokan listrik dari pe,bangkit berbasis fosil. Selain itu, masih ada tambahan EBT yang cukup besar dari energi air, surya dan angin.
Sementara, untuk luar Sumatera dan Jawa, optimalisasi panas bumi bisa dilakukan dengan mempercepat pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Industrial Development/REBID) dan Kawasan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Economic Development/REBED). "Agar pasokan listrik energi terbarukan match dengan pemintaan listriknya, dan sekaligus untuk pengembangan ekonomi di luar Jawa dan Sumatera," jelasnya.
Selama ini, kata Herman, potensi panas bumi di luar Sumatera dan Jawa tersebar dan kecil-kecil. Karena itu, pembangunan pembangkit panas bumi harus diselaraskan dengan permintaan di sekitar wilayah kerja panas bumi. "Atau, sebaliknya adanya potensi panas bumi di suatu daerah bisa mendorong pengembangan pusat-pusat industri atau pusat ekonomi dengan mempertimbangkan potensi industri atau ekonomi di wilayah tersebut," tuturnya.
Data di Kementerian ESDM menunjukkan, pemerintah berencana mengembangkan pembangkit listrik panas bumi dengan skema REBID di sejumlah daerah. Di Halmahera, misalnya, Pemerintah akan membangun PLTP Hamiding (200 MW), PLTP Jailolo (30 MW), dan PLTP Songa Wayaua (10 MW).
Dengan sifat itu, panas bumi menurutnya berpotensi menjadi pembangkit beban dasar (base-load). Sampai saat ini, hanya pembangkit berbasis fosil saja yang dapat menjadi pembangkit beban dasar, terutama PLTU berbahan bakar batu bara (PLTU). PLTP juga memiliki kelebihan lain, yakni pasokan listriknya stabil dan harganya yang termasuk murah. Itu pula yang menjadi pembeda dengan pembangkit EBT lain seperti air, tenaga surya, dan angin yang sangat bergantung pada cuaca.
Menurut Herman, PLTP bisa menjadi pembangkit beban dasar meski tidak bisa menggantikan PLTU sepenuhnya. Sebagai contoh, berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, beban puncak di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pada 2021 mencapai 29,5 GW, sementara potensi panas bumi di kawasan ini hanya 8 GW. "Pada 2060, prediksi saya produksi listrik panas bumi berkisar 150 TWh, sementara produksi listrik secara nasional akan mencapai 2.600 TWh," kata Herman.
Herman mengusulkan strategi pengembangan yang berbeda antara Sumatera-Jawa dengan daerah lain yang memiliki potensi panas bumi. Untuk Sumatera dan Jawa, kata dia, listrik dari panas bumi bisa masuk ke grid PLN untuk mengurangi pasokan listrik dari pe,bangkit berbasis fosil. Selain itu, masih ada tambahan EBT yang cukup besar dari energi air, surya dan angin.
Sementara, untuk luar Sumatera dan Jawa, optimalisasi panas bumi bisa dilakukan dengan mempercepat pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Industrial Development/REBID) dan Kawasan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Economic Development/REBED). "Agar pasokan listrik energi terbarukan match dengan pemintaan listriknya, dan sekaligus untuk pengembangan ekonomi di luar Jawa dan Sumatera," jelasnya.
Selama ini, kata Herman, potensi panas bumi di luar Sumatera dan Jawa tersebar dan kecil-kecil. Karena itu, pembangunan pembangkit panas bumi harus diselaraskan dengan permintaan di sekitar wilayah kerja panas bumi. "Atau, sebaliknya adanya potensi panas bumi di suatu daerah bisa mendorong pengembangan pusat-pusat industri atau pusat ekonomi dengan mempertimbangkan potensi industri atau ekonomi di wilayah tersebut," tuturnya.
Data di Kementerian ESDM menunjukkan, pemerintah berencana mengembangkan pembangkit listrik panas bumi dengan skema REBID di sejumlah daerah. Di Halmahera, misalnya, Pemerintah akan membangun PLTP Hamiding (200 MW), PLTP Jailolo (30 MW), dan PLTP Songa Wayaua (10 MW).
(fai)
tulis komentar anda