Panas Bumi Vital bagi Program Dekarbonisasi dan Energi Bersih Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masa depan energi panas bumi di Indonesia diyakini cukup cerah di tengah masifnya transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT) saat ini. Energi panas bumi yang bersih, berlimpah dari sisi pasokan, dan harganya terjangkau menjadikan energi ini salah satu alternatif terbaik bagi Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, potensi panas bumi Indonesia mencapai 23,7 gigawatt (GW). Dengan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) 2.276 megawatt (MW), pemanfaatan panas bumi di Indonesia juga menempati posisi kedua terbesar dunia setelah AS.
"Di sisi lain Indonesia juga dituntut untuk melakukan peralihan menuju energi bersih," ungkap Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rachmat Hidayat kepada pers, Jumat (10/6/2022).
Panas bumi, kata dia, merupakan energi bersih yang berkelanjutan apabila dilakukan manajemen reservoir dengan baik. Rachmat meyakini, panas bumi akan memegang peranan yang semakin penting bagi program dekarbonisasi untuk mendukung energi bersih ke depan. Terlebih, Indonesia juga telah berpengalaman mengembangkan dan mengoperasikan lapangan panas bumi, yakni selama 39 tahun, dimulai dengan PLTP Kamojang pada 1983.
Rachmat menambahkan, PGE saat ini mengoperasikan sendiri lapangan panas bumi dengan kapasitas terpasang 672 MW dan dengan skema Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/JOC) sebesar 1.205 MW. "Dengan demikian, 83% kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia berasal dari WKP PGE yang dikelola sendiri maupun yang dikerjasamakan dalam skema JOC," jelasnya.
Selanjutnya, PGE merencanakan pengembangan sebesar 600 MW yang akan menjadikan kapasitas terpasang own operation menjadi 1.272 MW di 2027. Rencana pengembangan tersebut setara dengan 32% target penambahan kapasitas terpasang PLTP dalam RUPTL 2021-2030.
"PGE juga sedang melakukan studi pengembangan terhadap pemanfaatan langsung panas bumi dan dan derivatif dari pemanfaatan energi panas bumi dalam program Beyond Energy," kata Rachmat.
Senada, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Perwakilan Industri Herman Darnel Ibrahim menilai Indonesia harus memaksimalkan pemanfaatan panas bumi untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan 23% pada 2025, dan target karbon netral (Net Zero Emission) pada 2060.
"Dibandingkan dengan EBT yang lain, panas bumi memang memiliki banyak kelebihan. Salah satu yang utama adalah pasokannya stabil dan capacity factor-nya tinggi," paparnya.
Dengan sifat itu, panas bumi menurutnya berpotensi menjadi pembangkit beban dasar (base-load). Sampai saat ini, hanya pembangkit berbasis fosil saja yang dapat menjadi pembangkit beban dasar, terutama PLTU berbahan bakar batu bara (PLTU). PLTP juga memiliki kelebihan lain, yakni pasokan listriknya stabil dan harganya yang termasuk murah. Itu pula yang menjadi pembeda dengan pembangkit EBT lain seperti air, tenaga surya, dan angin yang sangat bergantung pada cuaca.
Menurut Herman, PLTP bisa menjadi pembangkit beban dasar meski tidak bisa menggantikan PLTU sepenuhnya. Sebagai contoh, berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, beban puncak di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pada 2021 mencapai 29,5 GW, sementara potensi panas bumi di kawasan ini hanya 8 GW. "Pada 2060, prediksi saya produksi listrik panas bumi berkisar 150 TWh, sementara produksi listrik secara nasional akan mencapai 2.600 TWh," kata Herman.
Herman mengusulkan strategi pengembangan yang berbeda antara Sumatera-Jawa dengan daerah lain yang memiliki potensi panas bumi. Untuk Sumatera dan Jawa, kata dia, listrik dari panas bumi bisa masuk ke grid PLN untuk mengurangi pasokan listrik dari pe,bangkit berbasis fosil. Selain itu, masih ada tambahan EBT yang cukup besar dari energi air, surya dan angin.
Sementara, untuk luar Sumatera dan Jawa, optimalisasi panas bumi bisa dilakukan dengan mempercepat pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Industrial Development/REBID) dan Kawasan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Economic Development/REBED). "Agar pasokan listrik energi terbarukan match dengan pemintaan listriknya, dan sekaligus untuk pengembangan ekonomi di luar Jawa dan Sumatera," jelasnya.
Selama ini, kata Herman, potensi panas bumi di luar Sumatera dan Jawa tersebar dan kecil-kecil. Karena itu, pembangunan pembangkit panas bumi harus diselaraskan dengan permintaan di sekitar wilayah kerja panas bumi. "Atau, sebaliknya adanya potensi panas bumi di suatu daerah bisa mendorong pengembangan pusat-pusat industri atau pusat ekonomi dengan mempertimbangkan potensi industri atau ekonomi di wilayah tersebut," tuturnya.
Data di Kementerian ESDM menunjukkan, pemerintah berencana mengembangkan pembangkit listrik panas bumi dengan skema REBID di sejumlah daerah. Di Halmahera, misalnya, Pemerintah akan membangun PLTP Hamiding (200 MW), PLTP Jailolo (30 MW), dan PLTP Songa Wayaua (10 MW).
Indonesia merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, potensi panas bumi Indonesia mencapai 23,7 gigawatt (GW). Dengan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) 2.276 megawatt (MW), pemanfaatan panas bumi di Indonesia juga menempati posisi kedua terbesar dunia setelah AS.
"Di sisi lain Indonesia juga dituntut untuk melakukan peralihan menuju energi bersih," ungkap Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rachmat Hidayat kepada pers, Jumat (10/6/2022).
Panas bumi, kata dia, merupakan energi bersih yang berkelanjutan apabila dilakukan manajemen reservoir dengan baik. Rachmat meyakini, panas bumi akan memegang peranan yang semakin penting bagi program dekarbonisasi untuk mendukung energi bersih ke depan. Terlebih, Indonesia juga telah berpengalaman mengembangkan dan mengoperasikan lapangan panas bumi, yakni selama 39 tahun, dimulai dengan PLTP Kamojang pada 1983.
Rachmat menambahkan, PGE saat ini mengoperasikan sendiri lapangan panas bumi dengan kapasitas terpasang 672 MW dan dengan skema Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/JOC) sebesar 1.205 MW. "Dengan demikian, 83% kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia berasal dari WKP PGE yang dikelola sendiri maupun yang dikerjasamakan dalam skema JOC," jelasnya.
Selanjutnya, PGE merencanakan pengembangan sebesar 600 MW yang akan menjadikan kapasitas terpasang own operation menjadi 1.272 MW di 2027. Rencana pengembangan tersebut setara dengan 32% target penambahan kapasitas terpasang PLTP dalam RUPTL 2021-2030.
"PGE juga sedang melakukan studi pengembangan terhadap pemanfaatan langsung panas bumi dan dan derivatif dari pemanfaatan energi panas bumi dalam program Beyond Energy," kata Rachmat.
Senada, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Perwakilan Industri Herman Darnel Ibrahim menilai Indonesia harus memaksimalkan pemanfaatan panas bumi untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan 23% pada 2025, dan target karbon netral (Net Zero Emission) pada 2060.
"Dibandingkan dengan EBT yang lain, panas bumi memang memiliki banyak kelebihan. Salah satu yang utama adalah pasokannya stabil dan capacity factor-nya tinggi," paparnya.
Dengan sifat itu, panas bumi menurutnya berpotensi menjadi pembangkit beban dasar (base-load). Sampai saat ini, hanya pembangkit berbasis fosil saja yang dapat menjadi pembangkit beban dasar, terutama PLTU berbahan bakar batu bara (PLTU). PLTP juga memiliki kelebihan lain, yakni pasokan listriknya stabil dan harganya yang termasuk murah. Itu pula yang menjadi pembeda dengan pembangkit EBT lain seperti air, tenaga surya, dan angin yang sangat bergantung pada cuaca.
Menurut Herman, PLTP bisa menjadi pembangkit beban dasar meski tidak bisa menggantikan PLTU sepenuhnya. Sebagai contoh, berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, beban puncak di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pada 2021 mencapai 29,5 GW, sementara potensi panas bumi di kawasan ini hanya 8 GW. "Pada 2060, prediksi saya produksi listrik panas bumi berkisar 150 TWh, sementara produksi listrik secara nasional akan mencapai 2.600 TWh," kata Herman.
Herman mengusulkan strategi pengembangan yang berbeda antara Sumatera-Jawa dengan daerah lain yang memiliki potensi panas bumi. Untuk Sumatera dan Jawa, kata dia, listrik dari panas bumi bisa masuk ke grid PLN untuk mengurangi pasokan listrik dari pe,bangkit berbasis fosil. Selain itu, masih ada tambahan EBT yang cukup besar dari energi air, surya dan angin.
Sementara, untuk luar Sumatera dan Jawa, optimalisasi panas bumi bisa dilakukan dengan mempercepat pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Industrial Development/REBID) dan Kawasan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan (Renewable Energy Based Economic Development/REBED). "Agar pasokan listrik energi terbarukan match dengan pemintaan listriknya, dan sekaligus untuk pengembangan ekonomi di luar Jawa dan Sumatera," jelasnya.
Selama ini, kata Herman, potensi panas bumi di luar Sumatera dan Jawa tersebar dan kecil-kecil. Karena itu, pembangunan pembangkit panas bumi harus diselaraskan dengan permintaan di sekitar wilayah kerja panas bumi. "Atau, sebaliknya adanya potensi panas bumi di suatu daerah bisa mendorong pengembangan pusat-pusat industri atau pusat ekonomi dengan mempertimbangkan potensi industri atau ekonomi di wilayah tersebut," tuturnya.
Data di Kementerian ESDM menunjukkan, pemerintah berencana mengembangkan pembangkit listrik panas bumi dengan skema REBID di sejumlah daerah. Di Halmahera, misalnya, Pemerintah akan membangun PLTP Hamiding (200 MW), PLTP Jailolo (30 MW), dan PLTP Songa Wayaua (10 MW).
(fai)