Breaking: Inflasi AS Tembus 9,1%, Rupiah Bakal Tenggelam?
Rabu, 13 Juli 2022 - 19:56 WIB
JAKARTA - Indeks harga konsumen (CPI) Amerika Serikat mengalami inflasi sebesar 9,1% (yoy) di bulan Juni 2022. Nilai tersebut meningkat dari bulan Mei sebesar 8,6%, tertinggi selama lebih dari empat dekade.
Demikian data yang diterbitkan oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS, Rabu (13/7/2022). Angka ini lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 8,8%.
Core CPI, yang tidak termasuk harga makanan dan energi yang bergejolak, turun tipis menjadi 5,9% pada periode yang sama sebesar 6%, meskipun masih melampaui perkiraan analis sebesar 5,8%.
Seperti diketahui, inflasi AS merupakan salah satu faktor untuk melihat seberapa agresif Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga di akhir bulan Juli ini.
Sejumlah analis dan pengamat ekonomi sebelumnya memprediksi data CPI akan mengalami inflasi sebesar 8,8% (yoy) untuk bulan Juni. Nilai tersebut lebih tinggi dibanding 8,6% di bulan Mei kemarin.
Apabila angka CPI sesuai dengan prediksi para analis dan pengamat ekonomi atau lebih kuat daripada persentase di bulan Mei, maka kemungkinan kuat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin lagi pada pertemuan bulan Juli ini.
"Pertanyaan paling bernilai saat ini adalah seberapa kuat cara The Fed mengerem ini," kata ekonom University of Cincinnati, Hernan Moscoso Boedo, dilansir ABC News, Rabu (13/7/2022).
Suku bunga yang tinggi akan mendongkrak mata uang USD di perdagangan, terutama setelah didorong rilis data non farm payroll pada Jumat kemarin (8/7/2022) yang melonjak di atas prediksi para pelaku pasar. Kenaikan USD juga akan semakin meningkat berkat sifatnya sebagai safe haven investor dari aset berisiko di pasar ekuitas.
Dolar yang tinggi bakal semakin menenggelamkan rupiah lebih dalam, dan dapat menjadi katalis negatif bagi makro dalam negeri.
Demikian data yang diterbitkan oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS, Rabu (13/7/2022). Angka ini lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 8,8%.
Core CPI, yang tidak termasuk harga makanan dan energi yang bergejolak, turun tipis menjadi 5,9% pada periode yang sama sebesar 6%, meskipun masih melampaui perkiraan analis sebesar 5,8%.
Seperti diketahui, inflasi AS merupakan salah satu faktor untuk melihat seberapa agresif Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga di akhir bulan Juli ini.
Sejumlah analis dan pengamat ekonomi sebelumnya memprediksi data CPI akan mengalami inflasi sebesar 8,8% (yoy) untuk bulan Juni. Nilai tersebut lebih tinggi dibanding 8,6% di bulan Mei kemarin.
Apabila angka CPI sesuai dengan prediksi para analis dan pengamat ekonomi atau lebih kuat daripada persentase di bulan Mei, maka kemungkinan kuat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin lagi pada pertemuan bulan Juli ini.
"Pertanyaan paling bernilai saat ini adalah seberapa kuat cara The Fed mengerem ini," kata ekonom University of Cincinnati, Hernan Moscoso Boedo, dilansir ABC News, Rabu (13/7/2022).
Suku bunga yang tinggi akan mendongkrak mata uang USD di perdagangan, terutama setelah didorong rilis data non farm payroll pada Jumat kemarin (8/7/2022) yang melonjak di atas prediksi para pelaku pasar. Kenaikan USD juga akan semakin meningkat berkat sifatnya sebagai safe haven investor dari aset berisiko di pasar ekuitas.
Baca Juga
Dolar yang tinggi bakal semakin menenggelamkan rupiah lebih dalam, dan dapat menjadi katalis negatif bagi makro dalam negeri.
(uka)
tulis komentar anda