Cukai Naik 10%, Nasib Pekerja di Sektor Tembakau Dipertaruhkan

Minggu, 06 November 2022 - 16:30 WIB
Nasib pekerja di sektor pertembakauan dipertaruhkan di tengah rencana kenaikan cukai hasil tembakau 10% di 2023 dan 2024. FOTO/dok.SINDOnews
JAKARTA - Keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10% pada 2023 dan 2024 menuai reaksi kekecewaan dari elemen ekosistem pertembakauan, hulu hingga hilir. Besaran dua digit tarif CHT akan memukul 6 juta tenaga kerja di dalam ekosistem pertembakauan. Ada 2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, pekerja pabrik sigaret kretek tangan (SKT) hingga industri yang terkena dampak keputusan ini.

"Sejak pandemi hingga sekarang di tengah sinyal resesi, ketika PHK di berbagai sektor terjadi, di ekosistem pertembakauan justru segmen SKT mampu menjaga keberlangsungan tenaga kerja dalam dua tahun terakhir. Dimana 95% adalah perempuan atau ibu-ibu yang mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Namun, dalam memutuskan menaikkan tarif CHT 2023 dan 2024, pemerintah sepertinya tidak mempertimbangkan hal ini," ujar Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono, Minggu (6/11/2022).



Dia menilai keputusan tarif CHT 2023 dan 2024 menunjukkan pemerintah tidak secara cermat menimbang nasib para pekerja di ekosistem pertembakauan. Khususnya ia menyoroti tarif CHT segmen SKT yang diputuskan naik 5% akan mengakibatkan kontraksi serapan tenaga kerja.

Ia menekankan bahwa pemerintah perlu menyadari ancaman resesi di depan mata juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi ekosistem pertembakauan. Dengan 6 juta tenaga kerja di ekosistem pertembakauan, berarti ada 24 juta penghidupan yang bergantung di dalamnya.



"Realitanya, elemen ekosistem pertembakauan yakni segmen SKT justru masih mampu berkontribusi menyerap tenaga kerja. Kami berharap pemerintah dapat membuka mata atas situasi ini dan menunjukkan komitmen keberpihakannya. dengan mempertimbangkan kembali besaran tarif CHT di segmen ini," tegas Hananto.

Di sisi hulu, petani tembakau dan cengkeh juga akan merasakan efek langsung dari keputusan tarif CHT 2023. Tahun ini, para petani menghadapi kondisi cuaca yang membuat kuantitas serta kualitas hasil tembakau dan cengkeh tidak optimal. Ditambah dengan kenaikan CHT 2023 dan 2024, maka dipastikan akan menambah beban para petani.

"Secara otomatis, ketika CHT naik, maka pabrikan akan berhitung, mengatur strategi yang berujung pada pengurangan jumlah serapan tembakau petani. Apalagi selama ini, segmen SKT lah yang menyerap paling banyak tembakau dan cengkeh petani," kata dia.

Tak sampai di situ, kondisi mahalnya berbagai barang kebutuhan, pencabutan pupuk subsidi, dan resesi di depan mata, menurut Hananto akan semakin mematikan mata pencaharian para petani. "Tembakau sebagai tanaman semusim yang masih terus menjadi andalan petani semakin terlindas oleh kebijakan yang tidak berpihak," ujarnya.



AMTI berharap pemerintah dapat meninjau ulang besaran kenaikan tarif CHT 2023 dan 2024 demi kemaslahatan jutaan tenaga kerja di dalamnya. Keputusan CHT yang eksesif di saat kondisi inflasi dan ancaman resesi, dikhawatirkan justru akan mematikan seluruh penghidupan di ekosistem pertembakauan. Adapun situasinya saat ini, 6 juta tenaga kerja di ekosistem pertembakauan saat ini dihantui oleh bayang-bayang pengurangan tenaga kerja, pabrikan dan industri yang sedang sekuat tenaga menjaga kestabilan operasional, pedagang UMKM skala kecil yang sedang bangkit hingga konsumen yang berupaya memulihkan daya beli akan merasakan dampak secara langsung dan menyeluruh akibat naiknya tarif CHT. "Kami mohon pemerintah dapat meninjau ulang dan memberi kesempatan agar ekosistem ini dapat pulih dan bertumbuh," tutup Hananto.
(nng)
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More