Evaluasi Harga BBM Nonsubsidi Diusulkan Tiap Pekan, Pengamat: Sejalan dengan Aturan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belakangan, usulan evaluasi harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi setiap pekan ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Padahal, sejatinya hal itu sudah sejalan dengan regulasi penentuan harga BBM nonsubsidi yang selama ini diterapkan di dalam negeri.
Untuk diketahui, badan usaha memiliki hak dan kewenangan untuk menetapkan sendiri harga BBM nonsubsidi atau BBM non-public service obligation (PSO) sesuai ketentuan yang berlaku. Penentuan harga BBM nonsubsidi sejatinya merupakan sebuah kegiatan operasi yang lumrah terjadi dalam bisnis global.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, Indonesia sebenarnya sudah menganut sistem tersebut, yaitu badan usaha diberikan hak dan kewenangan untuk menentukan harga BBM non-PSO dengan memperhitungkan banyak aspek. Sedangkan di negara lain, harga BBM umunnya mengikuti harga minyak dunia dengan periode evaluasi dan metode perhitungan yang berbeda antara masing-masing negara.
Hingga saat ini, Pertamina adalah badan usaha terbesar yang mendistribusikan dua jenis BBM, yaitu subsidi (PSO) dan nonsubsidi (non-PSO). BBM yang masuk kategori PSO adalah Pertamax Series seperti Pertamax, Pertamax Turbo, serta Dexlite dan Pertamina Dex. Adapun BBM subsidi adalah minyak tanah dan Pertalite.
"Di Asia Tenggara (evaluasinya) paling lama di Indonesia. Kalau di Malaysia dan Thailand sekitar 10 hari. Ada juga yang penentuan harga baru BBM setiap satu minggu dievaluasi, salah satunya Singapura. Kalau waktunya pendek ketika harga minyak turun jadi masyarakat konsumen lebih ingat satu minggu lalu habis turun (harga minyak) sehingga kalau turun (harga minyak) diturunkan harga BBM, jadi logis. Begitu juga kalau naik," kata Komaidi di Jakarta, Senin (30/1/2022).
Komaidi menambahkan, dari sisi regulasi sebenarnya sudah diatur bagaimana secara berkala badan usaha, termasuk Pertamina, berhak melakukan evaluasi harga BBM nonsubsidi. Namun, dalam hal ini pemerintah menetapkan batas atas maupun batas bawah sebagai pedoman bagi badan usaha.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede menilai kebijakan penyesuaian BBM nonsubsidi secara fkultuasi mengikuti penurunan harga minyak dunia sudah tepat. Dengan demikian, Pertamina dan badan usaha lainnya tidak perlu menunggu instruksi dari pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM nonsubsidi yang dijualnya. "Badan usaha memiliki kewenangan dalam menentukan harga karena BBM tersebut sama sekali tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah," tandasnya.
Menurut dia, faktor-faktor yang mempengaruhi naik turunnya harga BBM nonsubsidi tentu saja terkait dengan harga minyak mentah dan nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD), distribusi, dan biaya angkut. Selain itu, juga mempertimbangkan aspek persaingan dengan badan usaha hilir migas lainnya. Josua menilai evaluasi bulanan terhadap harga BBM nonsubsidi sudah tepat. Namun, periode evaluasi yang lebih singkat menurutnya akan lebih baik.
"Jika memungkinkan, review mingguan akan lebih baik. Review mingguan berpotensi membuat fluktuasi harga tidak terlalu besar, dan membiasakan masyarakat terhadap perubahan harga BBM," ujarnya.
Terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengakui bahwa Pertamina memang bisa melakukan evaluasi dan menetapkan harga BBM nonsubsidi. Dia menegaskan, hak dan kewenangan itu dijamin oleh regulasi.
"Secara peraturan diserahkan ke badan usaha niaga. Kementerian hanya menetapkan harga jual eceran batas atasnya, jadi memang dinamik. Saat ini penentuan harga BBM mengikuti harga minyak. Begitu harga minyak turun, kita juga evaluasi. Nanti badan usaha yang menentukan," papar Tutuka.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa harga BBM nonsubsidi bersifat fluktuatif sehingga perlu dievaluasi secara berkala mengikuti tren dan mekanisme pasar. Pada dasarnya, kata dia, harga BBM nonsubsidi sudah seharusnya mengikuti harga pasar. Namun, imbuh dia, pemerintah tetap hadir dalam penentuan harga komoditas penting ini.
"Pada kebijakan sebelumnya ketika harga minyak dunia tinggi pemerintah meminta Pertamina untuk tidak menaikkan harga. Saat harga minyak di bawah USD80 per barel, saya bersama menteri ESDM, menteri keuangan, dan direktur utama Pertamina menggelar rapat untuk memproyeksikan dan menentukan harga BBM yang baru ke masyarakat," ujarnya.
Saat ini, usulan mengenai pemberlakukan evaluasi harga BBM nonsubsidi setiap pekan menurutnya sudah bergulir dan tengah dibahas. Erick menjelaskan, hal itu dilakukan agar persoalan harga BBM nonsubsidi tidak terjebak birokrasi. "Jangan ketika harganya turun, aturannya belum keluar. Kalau tiap minggu kan enak, oh minggu depan kira-kira harga sekian, karena minyak dunia harganya sekian," tuturnya.
Untuk diketahui, badan usaha memiliki hak dan kewenangan untuk menetapkan sendiri harga BBM nonsubsidi atau BBM non-public service obligation (PSO) sesuai ketentuan yang berlaku. Penentuan harga BBM nonsubsidi sejatinya merupakan sebuah kegiatan operasi yang lumrah terjadi dalam bisnis global.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, Indonesia sebenarnya sudah menganut sistem tersebut, yaitu badan usaha diberikan hak dan kewenangan untuk menentukan harga BBM non-PSO dengan memperhitungkan banyak aspek. Sedangkan di negara lain, harga BBM umunnya mengikuti harga minyak dunia dengan periode evaluasi dan metode perhitungan yang berbeda antara masing-masing negara.
Hingga saat ini, Pertamina adalah badan usaha terbesar yang mendistribusikan dua jenis BBM, yaitu subsidi (PSO) dan nonsubsidi (non-PSO). BBM yang masuk kategori PSO adalah Pertamax Series seperti Pertamax, Pertamax Turbo, serta Dexlite dan Pertamina Dex. Adapun BBM subsidi adalah minyak tanah dan Pertalite.
"Di Asia Tenggara (evaluasinya) paling lama di Indonesia. Kalau di Malaysia dan Thailand sekitar 10 hari. Ada juga yang penentuan harga baru BBM setiap satu minggu dievaluasi, salah satunya Singapura. Kalau waktunya pendek ketika harga minyak turun jadi masyarakat konsumen lebih ingat satu minggu lalu habis turun (harga minyak) sehingga kalau turun (harga minyak) diturunkan harga BBM, jadi logis. Begitu juga kalau naik," kata Komaidi di Jakarta, Senin (30/1/2022).
Komaidi menambahkan, dari sisi regulasi sebenarnya sudah diatur bagaimana secara berkala badan usaha, termasuk Pertamina, berhak melakukan evaluasi harga BBM nonsubsidi. Namun, dalam hal ini pemerintah menetapkan batas atas maupun batas bawah sebagai pedoman bagi badan usaha.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede menilai kebijakan penyesuaian BBM nonsubsidi secara fkultuasi mengikuti penurunan harga minyak dunia sudah tepat. Dengan demikian, Pertamina dan badan usaha lainnya tidak perlu menunggu instruksi dari pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM nonsubsidi yang dijualnya. "Badan usaha memiliki kewenangan dalam menentukan harga karena BBM tersebut sama sekali tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah," tandasnya.
Menurut dia, faktor-faktor yang mempengaruhi naik turunnya harga BBM nonsubsidi tentu saja terkait dengan harga minyak mentah dan nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD), distribusi, dan biaya angkut. Selain itu, juga mempertimbangkan aspek persaingan dengan badan usaha hilir migas lainnya. Josua menilai evaluasi bulanan terhadap harga BBM nonsubsidi sudah tepat. Namun, periode evaluasi yang lebih singkat menurutnya akan lebih baik.
"Jika memungkinkan, review mingguan akan lebih baik. Review mingguan berpotensi membuat fluktuasi harga tidak terlalu besar, dan membiasakan masyarakat terhadap perubahan harga BBM," ujarnya.
Terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengakui bahwa Pertamina memang bisa melakukan evaluasi dan menetapkan harga BBM nonsubsidi. Dia menegaskan, hak dan kewenangan itu dijamin oleh regulasi.
Baca Juga
"Secara peraturan diserahkan ke badan usaha niaga. Kementerian hanya menetapkan harga jual eceran batas atasnya, jadi memang dinamik. Saat ini penentuan harga BBM mengikuti harga minyak. Begitu harga minyak turun, kita juga evaluasi. Nanti badan usaha yang menentukan," papar Tutuka.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa harga BBM nonsubsidi bersifat fluktuatif sehingga perlu dievaluasi secara berkala mengikuti tren dan mekanisme pasar. Pada dasarnya, kata dia, harga BBM nonsubsidi sudah seharusnya mengikuti harga pasar. Namun, imbuh dia, pemerintah tetap hadir dalam penentuan harga komoditas penting ini.
"Pada kebijakan sebelumnya ketika harga minyak dunia tinggi pemerintah meminta Pertamina untuk tidak menaikkan harga. Saat harga minyak di bawah USD80 per barel, saya bersama menteri ESDM, menteri keuangan, dan direktur utama Pertamina menggelar rapat untuk memproyeksikan dan menentukan harga BBM yang baru ke masyarakat," ujarnya.
Saat ini, usulan mengenai pemberlakukan evaluasi harga BBM nonsubsidi setiap pekan menurutnya sudah bergulir dan tengah dibahas. Erick menjelaskan, hal itu dilakukan agar persoalan harga BBM nonsubsidi tidak terjebak birokrasi. "Jangan ketika harganya turun, aturannya belum keluar. Kalau tiap minggu kan enak, oh minggu depan kira-kira harga sekian, karena minyak dunia harganya sekian," tuturnya.
(fai)