Praktik Ekonomi Sirkular di Lingkar Tambang, Bengkel Sarop do Mulana Ubah Limbah Kayu Jadi Cuan
loading...
A
A
A
BATANGTORU - Tumpukan palet kayu yang mulai diselubungi jamur menggunung di bengkel (workshop) milik Koperasi 'Sarop do Mulana' di Jalan Lintas Sumatera, Desa Sumuran, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Suara desingan mesin terdengar sayup-sayup di balik tumpukan palet kayu itu.
Suara desingan berasal dari mesin gergaji potong, mesin bor, mesin ketam hingga mesin serut kayu. Mesin-mesin itu digunakan para pekerja untuk mengolah palet kayu berbahan kayu jenis Jati Belanda dan kayu sembarang.
Hampir tidak ada limbah kayu yang tersisa dari proses pengolahan itu. Limbah palet kayu dari jenis Jati Belanda yang dikenal berkualitas baik, dipotong dan dirapikan agar bisa dibentuk menjadi beragam furniture seperti sofa, gerobak jualan, meja makan, hingga barang-barang kecil seperti kotak tisu. Sementara limbah dari jenis kayu sembarang, diserut hingga menjadi bubuk kayu (sawdust). Bubuk kayu itu kemudian bisa dimanfaatkan menjadi media tanam tumbuhan.
Ketua Koperasi Sarop do Mulana, Okto Anggara Sitompul, mengatakan kegiatan mengolah limbah di tempat mereka sudah berlangsung sejak 2016. Praktik ekonomi sirkular mereka awalnya hanya mengolah sampah menjadi pupuk organik (kompos). Saat itu mereka mendapatkan limbah sampah basah dari Pasar Batang Toru yang tak jauh dari lokasi bengkel dan hasil produksinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan Tambang Emas Martabe yang juga berlokasi di Batangtoru.
"Itu lah kenapa kemudian koperasi yang kita dirikan saat ini bernama Sarop do Mulana. Nama itu merupakan kalimat dalam bahasa batak angkola yang artinya bermula dari sampah," kata Okto saat ditemui akhir Januari 2023 lalu.
Dua tahun menjalankan praktik pengolahan limbah menjadi kompos, usaha Okto dan teman-temannya sesama warga Batang Toru itu kemudian mencoba naik kelas. Bersama PT Agincourt Resources, pengelola Tambang Emas Martabe yang telah bermitra dengan mereka dalam pengolahan kompos, kemudian mendirikan koperasi dan bengkel untuk pengolahan limbah palet kayu menjadi serbuk kayu.
Mereka mendapatkan palet kayu secara gratis dari Tambang Emas Martabe. Palet kayu kemudian dicacah menjadi serbuk kayu untuk dijadikan media tanam pohon yang akan digunakan untuk merehabilitasi areal Tambang Martabe
"Palet kayunya gratis. Kita juga difasilitasi gudang dan mesin-mesin pengolahan serbuk kayu. Kemudian produk serbuk kayunya dibeli lagi oleh Tambang Martabe seharga Rp 2 ribu per kilogram. Produksi kita bisa mencapai 4 ton. Jadi nilai ekonominya bisa mencapai Rp 8 juta per bulan. Belum lagi pendapatan kita dari pengolahan kompos yang juga terus berjalan," kata Okto.
Setelah mampu memproduksi serbuk kayu, Okto dan kawan-kawan kemudian mencoba naik kelas. Palet kayu berbahan kayu Jati Belanda yang tergolong berkualitas baik tidak lagi dicacah menjadi serbuk kayu, namun diolah menjadi berbagai jenis furniture. Untuk kegiatan produksi itu, Okto dan kawan-kawan juga dibekali Tambang Martabe dengan pelatihan membuat furniture dari salah satu produsen gerobak kaki lima dari Kota Medan.
"Tahun 2019 kita mulai belajar produksi furniture dan peralatan rumah tangga dari limbah palet kayu ini. Tahun 2020 mulai kita pasarkan. Harganya beragam. Kalau kotak tisu mulai dari 20ribu. Ada juga peralatan rumah yang mulai Rp 30 ribu. Kemudian meja kafe itu Rp 800 ribu, empat kursi satu meja. Kalau meja makan Rp 1,5 juta. Ada sofa itu sampai Rp 3 jutaan," sebutnya.
Produk furniture hasil produksi bengkel Koperasi Sarop do Mulana itu diakui Okto cukup diminati. Mereka pun berhasil memasarkan produk mereka di wilayah Tapanuli Selatan dan sekitarnya. "Paling banyak itu kita pasarkan ke Kota Padangsidimpuan. Ada juga sampai ke Medan. Tapi enggak banyak," papar Okto.
Okto mengaku saat ini masih kesulitan untuk memasarkan produknya ke daerah lain. Berbagai cara pun sudah dilakukan termasuk melakukan pemasaran secara online. "Kita sudah coba juga jual online di marketplace. Tapi memang belum maksimal. Pembeli terbanyak masih dari daerah sekitar bengkel kita ini," pungkasnya.
Ifan Farianda, Superintendent untuk Pengembangan Ekonomi Masyarakat Lokal di PT Agincourt Resources, mengaku kemitraan mereka dengan Koperasi Sarop do Mulana, berangkat dari kondisi yang ada di tambang. Pertama kebutuhan akan pupuk untuk tanaman yang mereka gunakan merehabilitasi areal tambang sisa produksi. Mereka kemudian bermitra memproduksi kompos dengan Okto dan kawan-kawan.
Kemudian dalam operasionalnya, Tambang Martabe menghasilkan sekitar ribuan keping palet kayu per bulannya. Palet itu berasal dari barang-barang yang dibeli untuk kebutuhan operasional tambang yang biasanya dikirimkan menggunakan palet kayu. Jumlahnya yang banyak membuat palet kayu itu menggunung di areal tambang.
"Lalu kita berpikir ini palet kayu mau diapakan. Hingga akhirnya kita putuskan melanjutkan kemitraan dengan Sarop do Mulana namun dalam pemanfaatan limbah palet kayu ini. Kita berikan mereka peralatan dan pelatihan. Paletnya kita kasih gratis lalu hasil olahannya berupa sawdust kita beli. Sebulannya kita bisa pasok 1.063 pieces palet ke mereka. Kalau serbuk kayu yang kita beli tergantung kebutuhan kita. Tapi mereka juga bisa menjual ke pihak lain," jelasnya.
"Awalnya hanya beberapa orang mereka, saat ini sudah ada 6 orang anggota koperasi dan 8 orang pekerja di Koperasi Sarop do Mulana. Semuanya orang lokal dari sekitaran Batangtoru. Masyarakat lingkar tambang kita," tambahnya.
Menurut Ifan, Tambang Martabe akan terus meningkatkan kemitraan dengan seluruh kelompok masyarakat di areal lingkar tambang mereka, termasuk dengan Koperasi Sarop do Mulana. Selain untuk mendorong operasional tambang berkelanjutan dengan penerapan ekonomi sirkular, pendampingan akan terus dilakukan hingga Okto dan kawan-kawan menjadi kelompok mandiri dan berkelanjutan.
Di tahun 2022 penguatan kelompok, organisasi, produksi dan pemasaran produk hasil produksi Okto dan kawan-kawan sudah dilakukan. Tambang Martabe mendatangkan konsultan dari Jakarta untuk mendampingi Okto dan kawan-kawan agar kelompok yang mandiri dan berkelanjutan.
"Jadi kedepannya, kita akan mendaftarkan mereknya, supaya keluar dari pabrik sudah ada mereknya tidak lagi polosan. Kita upayakan dengan Kemenkumham (pendaftaran merek). Kemudian kita akan melakukan pengembangan produk. Kita berikan pelatihan lagi. Agar palet ini tidak sekedar jadi produk itu-itu saja. Kita juga upayakan pemasaran secara online," tuturnya.
Ifan juga berharap kedepannya akan lebih banyak orang menggunakan produk hasil penerapan ekonomi sirkular ini. Termasuk pemerintah daerah melalui e-katalog baik untuk mobiler kantor maupun mobiler sekolah yang dikelola pemerintah daerah.
"Saat ini kita sudah siapkan katalog produk dari Sarop do Mulana. Kita pasarkan melalui online dan mudah-mudahan ke depannya penjualan 50 persen bisa melalui online. Kita berharap produk ini bisa tersebar di regional Sumatera Utara. Makanya kita cari produk-produk apa yang saat ini sedang digemari masyarakat," tukasnya.
Ekonomi sirkular merupakan model industri baru yang berfokus pada reducing, reusing dan recycling yang mengarah pada pengurangan konsumsi sumber daya primer dan produksi limbah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat berada di Universitas Gadjah Mada beberapa waktu lalu mengatakan konsep Ekonomi sirkular tentunya bukan hanya pengelolaan limbah tetapi juga selanjutnya menggunakan proses produksi dimana bahan baku dapat digunakan berulang-ulang sehingga tentu akan terjadi saving yang besar terutama untuk sumber daya alam.
Transformasi menuju ekonomi sirkular menjadi penting bagi Indonesia karena akan membawa banyak dampak positif, baik bagi lingkungan serta pertumbuhan berbagai sektor pembangunan di masa depan. Selain dapat meningkatkan pertumbuhan PDB Indonesia, penerapan konsep ekonomi hijau/sirkular juga dapat berpotensi menghasilkan 4,4 juta tambahan lapangan pekerjaan, dimana tiga perempatnya memberdayakan perempuan dengan kesempatan yang lebih baik pada tahun 2030.
"Ekonomi sirkular akan memberi kontribusi pada upaya pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Dimana kita berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca pada tahun 2030 sebesar 29% dan apabila ada kerjasama internasional, ini dapat ditingkatkan menjadi 41%,” jelas Menko Airlangga.
Pengarusutamaan konsep pembangunan rendah karbon telah tercantum dalam RPJMN 2020-2024 dan peta jalan pencapaian NDC Indonesia 2030. Terdapat lima sektor yang menjadi prioritas utama dalam dua dokumen tersebut diantaranya adalah pembangunan energi berkelanjutan, pengelolaan limbah terpadu, pengembangan industri hijau, pemulihan lahan berkelanjutan, serta inventarisasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan kelautan.
Dalam hal implementasi industri hijau, tercatat sejak tahun 2010 hingga 2019 terdapat 895 perusahaan yang telah meraih green industry awards. Sementara itu, 1.707 industri juga telah mendapatkan sertifikasi blue dan gold dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER), yang berdampak pada pengurangan Gas Rumah Kaca kurang lebih sebesar 93,83 juta ton dan pengurangan polutan sebesar 50,59 juta ton.
Suara desingan berasal dari mesin gergaji potong, mesin bor, mesin ketam hingga mesin serut kayu. Mesin-mesin itu digunakan para pekerja untuk mengolah palet kayu berbahan kayu jenis Jati Belanda dan kayu sembarang.
Hampir tidak ada limbah kayu yang tersisa dari proses pengolahan itu. Limbah palet kayu dari jenis Jati Belanda yang dikenal berkualitas baik, dipotong dan dirapikan agar bisa dibentuk menjadi beragam furniture seperti sofa, gerobak jualan, meja makan, hingga barang-barang kecil seperti kotak tisu. Sementara limbah dari jenis kayu sembarang, diserut hingga menjadi bubuk kayu (sawdust). Bubuk kayu itu kemudian bisa dimanfaatkan menjadi media tanam tumbuhan.
Ketua Koperasi Sarop do Mulana, Okto Anggara Sitompul, mengatakan kegiatan mengolah limbah di tempat mereka sudah berlangsung sejak 2016. Praktik ekonomi sirkular mereka awalnya hanya mengolah sampah menjadi pupuk organik (kompos). Saat itu mereka mendapatkan limbah sampah basah dari Pasar Batang Toru yang tak jauh dari lokasi bengkel dan hasil produksinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan Tambang Emas Martabe yang juga berlokasi di Batangtoru.
"Itu lah kenapa kemudian koperasi yang kita dirikan saat ini bernama Sarop do Mulana. Nama itu merupakan kalimat dalam bahasa batak angkola yang artinya bermula dari sampah," kata Okto saat ditemui akhir Januari 2023 lalu.
Dua tahun menjalankan praktik pengolahan limbah menjadi kompos, usaha Okto dan teman-temannya sesama warga Batang Toru itu kemudian mencoba naik kelas. Bersama PT Agincourt Resources, pengelola Tambang Emas Martabe yang telah bermitra dengan mereka dalam pengolahan kompos, kemudian mendirikan koperasi dan bengkel untuk pengolahan limbah palet kayu menjadi serbuk kayu.
Mereka mendapatkan palet kayu secara gratis dari Tambang Emas Martabe. Palet kayu kemudian dicacah menjadi serbuk kayu untuk dijadikan media tanam pohon yang akan digunakan untuk merehabilitasi areal Tambang Martabe
"Palet kayunya gratis. Kita juga difasilitasi gudang dan mesin-mesin pengolahan serbuk kayu. Kemudian produk serbuk kayunya dibeli lagi oleh Tambang Martabe seharga Rp 2 ribu per kilogram. Produksi kita bisa mencapai 4 ton. Jadi nilai ekonominya bisa mencapai Rp 8 juta per bulan. Belum lagi pendapatan kita dari pengolahan kompos yang juga terus berjalan," kata Okto.
Setelah mampu memproduksi serbuk kayu, Okto dan kawan-kawan kemudian mencoba naik kelas. Palet kayu berbahan kayu Jati Belanda yang tergolong berkualitas baik tidak lagi dicacah menjadi serbuk kayu, namun diolah menjadi berbagai jenis furniture. Untuk kegiatan produksi itu, Okto dan kawan-kawan juga dibekali Tambang Martabe dengan pelatihan membuat furniture dari salah satu produsen gerobak kaki lima dari Kota Medan.
"Tahun 2019 kita mulai belajar produksi furniture dan peralatan rumah tangga dari limbah palet kayu ini. Tahun 2020 mulai kita pasarkan. Harganya beragam. Kalau kotak tisu mulai dari 20ribu. Ada juga peralatan rumah yang mulai Rp 30 ribu. Kemudian meja kafe itu Rp 800 ribu, empat kursi satu meja. Kalau meja makan Rp 1,5 juta. Ada sofa itu sampai Rp 3 jutaan," sebutnya.
Produk furniture hasil produksi bengkel Koperasi Sarop do Mulana itu diakui Okto cukup diminati. Mereka pun berhasil memasarkan produk mereka di wilayah Tapanuli Selatan dan sekitarnya. "Paling banyak itu kita pasarkan ke Kota Padangsidimpuan. Ada juga sampai ke Medan. Tapi enggak banyak," papar Okto.
Okto mengaku saat ini masih kesulitan untuk memasarkan produknya ke daerah lain. Berbagai cara pun sudah dilakukan termasuk melakukan pemasaran secara online. "Kita sudah coba juga jual online di marketplace. Tapi memang belum maksimal. Pembeli terbanyak masih dari daerah sekitar bengkel kita ini," pungkasnya.
Ifan Farianda, Superintendent untuk Pengembangan Ekonomi Masyarakat Lokal di PT Agincourt Resources, mengaku kemitraan mereka dengan Koperasi Sarop do Mulana, berangkat dari kondisi yang ada di tambang. Pertama kebutuhan akan pupuk untuk tanaman yang mereka gunakan merehabilitasi areal tambang sisa produksi. Mereka kemudian bermitra memproduksi kompos dengan Okto dan kawan-kawan.
Kemudian dalam operasionalnya, Tambang Martabe menghasilkan sekitar ribuan keping palet kayu per bulannya. Palet itu berasal dari barang-barang yang dibeli untuk kebutuhan operasional tambang yang biasanya dikirimkan menggunakan palet kayu. Jumlahnya yang banyak membuat palet kayu itu menggunung di areal tambang.
"Lalu kita berpikir ini palet kayu mau diapakan. Hingga akhirnya kita putuskan melanjutkan kemitraan dengan Sarop do Mulana namun dalam pemanfaatan limbah palet kayu ini. Kita berikan mereka peralatan dan pelatihan. Paletnya kita kasih gratis lalu hasil olahannya berupa sawdust kita beli. Sebulannya kita bisa pasok 1.063 pieces palet ke mereka. Kalau serbuk kayu yang kita beli tergantung kebutuhan kita. Tapi mereka juga bisa menjual ke pihak lain," jelasnya.
"Awalnya hanya beberapa orang mereka, saat ini sudah ada 6 orang anggota koperasi dan 8 orang pekerja di Koperasi Sarop do Mulana. Semuanya orang lokal dari sekitaran Batangtoru. Masyarakat lingkar tambang kita," tambahnya.
Menurut Ifan, Tambang Martabe akan terus meningkatkan kemitraan dengan seluruh kelompok masyarakat di areal lingkar tambang mereka, termasuk dengan Koperasi Sarop do Mulana. Selain untuk mendorong operasional tambang berkelanjutan dengan penerapan ekonomi sirkular, pendampingan akan terus dilakukan hingga Okto dan kawan-kawan menjadi kelompok mandiri dan berkelanjutan.
Di tahun 2022 penguatan kelompok, organisasi, produksi dan pemasaran produk hasil produksi Okto dan kawan-kawan sudah dilakukan. Tambang Martabe mendatangkan konsultan dari Jakarta untuk mendampingi Okto dan kawan-kawan agar kelompok yang mandiri dan berkelanjutan.
"Jadi kedepannya, kita akan mendaftarkan mereknya, supaya keluar dari pabrik sudah ada mereknya tidak lagi polosan. Kita upayakan dengan Kemenkumham (pendaftaran merek). Kemudian kita akan melakukan pengembangan produk. Kita berikan pelatihan lagi. Agar palet ini tidak sekedar jadi produk itu-itu saja. Kita juga upayakan pemasaran secara online," tuturnya.
Ifan juga berharap kedepannya akan lebih banyak orang menggunakan produk hasil penerapan ekonomi sirkular ini. Termasuk pemerintah daerah melalui e-katalog baik untuk mobiler kantor maupun mobiler sekolah yang dikelola pemerintah daerah.
"Saat ini kita sudah siapkan katalog produk dari Sarop do Mulana. Kita pasarkan melalui online dan mudah-mudahan ke depannya penjualan 50 persen bisa melalui online. Kita berharap produk ini bisa tersebar di regional Sumatera Utara. Makanya kita cari produk-produk apa yang saat ini sedang digemari masyarakat," tukasnya.
Ekonomi sirkular merupakan model industri baru yang berfokus pada reducing, reusing dan recycling yang mengarah pada pengurangan konsumsi sumber daya primer dan produksi limbah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat berada di Universitas Gadjah Mada beberapa waktu lalu mengatakan konsep Ekonomi sirkular tentunya bukan hanya pengelolaan limbah tetapi juga selanjutnya menggunakan proses produksi dimana bahan baku dapat digunakan berulang-ulang sehingga tentu akan terjadi saving yang besar terutama untuk sumber daya alam.
Transformasi menuju ekonomi sirkular menjadi penting bagi Indonesia karena akan membawa banyak dampak positif, baik bagi lingkungan serta pertumbuhan berbagai sektor pembangunan di masa depan. Selain dapat meningkatkan pertumbuhan PDB Indonesia, penerapan konsep ekonomi hijau/sirkular juga dapat berpotensi menghasilkan 4,4 juta tambahan lapangan pekerjaan, dimana tiga perempatnya memberdayakan perempuan dengan kesempatan yang lebih baik pada tahun 2030.
"Ekonomi sirkular akan memberi kontribusi pada upaya pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Dimana kita berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca pada tahun 2030 sebesar 29% dan apabila ada kerjasama internasional, ini dapat ditingkatkan menjadi 41%,” jelas Menko Airlangga.
Pengarusutamaan konsep pembangunan rendah karbon telah tercantum dalam RPJMN 2020-2024 dan peta jalan pencapaian NDC Indonesia 2030. Terdapat lima sektor yang menjadi prioritas utama dalam dua dokumen tersebut diantaranya adalah pembangunan energi berkelanjutan, pengelolaan limbah terpadu, pengembangan industri hijau, pemulihan lahan berkelanjutan, serta inventarisasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan kelautan.
Dalam hal implementasi industri hijau, tercatat sejak tahun 2010 hingga 2019 terdapat 895 perusahaan yang telah meraih green industry awards. Sementara itu, 1.707 industri juga telah mendapatkan sertifikasi blue dan gold dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER), yang berdampak pada pengurangan Gas Rumah Kaca kurang lebih sebesar 93,83 juta ton dan pengurangan polutan sebesar 50,59 juta ton.
(nng)