Perppu Cipta Kerja Disahkan jadi UU, Simak Perbedaannya dengan yang Lama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU).
Perppu tersebut sekaligus menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis,” ujar Menaker dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (22/3/2023).
Ida mengatakan, terdapat lima substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perppu tersebut. Pertama, mengenai ketentuan alih daya (outsourcing).
Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perpu ini jenis pekerjaan alih daya dibatasi.
“Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui peraturan pemerintah,” paparnya.
Kedua, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Dengan demikian, Perppu ini menegaskan gubernur untuk wajib menetapkan upah minimum provinsi (UMP) serta dapat menetapkan upah minimum UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi daripada UMP.
“Kata ‘dapat’ yang dimaksud dalam Perppu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP,” tambah Menaker.
Ketiga, penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih.
Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Menaker menjelaskan, perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah.
Antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta. Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.
“Berdasarkan hal-hal tersebut pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, perlindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha,” tutup Ida.
Perppu tersebut sekaligus menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis,” ujar Menaker dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (22/3/2023).
Ida mengatakan, terdapat lima substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perppu tersebut. Pertama, mengenai ketentuan alih daya (outsourcing).
Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perpu ini jenis pekerjaan alih daya dibatasi.
“Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui peraturan pemerintah,” paparnya.
Kedua, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Dengan demikian, Perppu ini menegaskan gubernur untuk wajib menetapkan upah minimum provinsi (UMP) serta dapat menetapkan upah minimum UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi daripada UMP.
“Kata ‘dapat’ yang dimaksud dalam Perppu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP,” tambah Menaker.
Ketiga, penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih.
Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Menaker menjelaskan, perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah.
Antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta. Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.
“Berdasarkan hal-hal tersebut pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, perlindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha,” tutup Ida.
(ind)