Indonesia Butuh Rp4.002 Triliun untuk Bikin Udara Bersih
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk mendukung komitmen net-zero emission . Bahkan baru-baru ini, Indonesia telah mengirimkan enhanced national determined contribution (NDC) ke Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
"Pada awalnya, ditargetkan pengurangan emisi karbon hingga 29% dengan usaha kita sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional dan global. Sekarang telah direvisi, pengurangan emisi karbon dari yang tadinya 29% menjadi 31,89% dengan usaha kita sendiri, kemudian pengurangan emisi dari yang tadinya 41% menjadi 43,2% dengan dukungan global," ujar Sri dalam Southeast Asia Development Symposium (SEADS) 2023: Imagining A Net-Zero ASEAN di Nusa Dua, Kamis (30/3/2023).
Enhanced NDC adalah transisi menuju NDC Indonesia yang diperbarui yang telah diutamakan ke strategi pertumbuhan rendah karbon dan ketahanan iklim jangka panjang.
"Ini bukan hanya satu dokumen terpisah. Komitmen kami sudah terintegrasi dengan strategi pertumbuhan rendah karbon dan ketahanan iklim jangka panjang pada tahun 2050. Ini adalah visi kami agar Indonesia mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat dari itu," tegas Sri.
Seperti yang dikatakan oleh Presiden Asian Development Bank (ADB) Masatsugu Asakawa, untuk mencapai komitmen tersebut, pembiayaan sangatlah penting, karena tidak bisa hanya memiliki komitmen tanpa sumber daya yang cukup untuk mendukungnya.
"Menurut perkiraan, total pendanaan iklim yang diperlukan untuk mencapai NDC kita adalah Rp4.002 triliun atau USD281 miliar hingga tahun 2030," tambah Sri.
Jumlah ini diproyeksikan akan terpenuhi dengan adanya investasi publik dan swasta. APBN tak mampu sendirian membiayai anggaran sebanyak itu,
"Kumulatif belanja dari budget kita sendiri, APBN hingga 2021 adalah Rp313 triliun. Itu hanya 8% dari total kebutuhan investasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk dapat merancang kerangka kebijakan dan peraturan yang tepat, serta iklim investasi sehingga kita dapat menarik lebih banyak partisipasi swasta baik domestik maupun global," jelas Sri.
Indonesia pun juga mengundang banyak dermawan untuk berpartisipasi dalam komitmen penting semacam ini. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah insentif fiskal, serta inovasi pembiayaan untuk menjembatani kesenjangan dan menciptakan dana katalis untuk investasi dalam proyek hijau dan mengembangkan industri hijau.
"Insentif tersebut antara lain tax holiday, tax allowance, fasilitas PPN, bahkan pajak properti. Kami juga menemukan instrumen, seperti menerbitkan sukuk hijau dan obligasi SDG di tingkat global dan domestik. Obligasi SDG dan obligasi sukuk hijau kami diharapkan akan mengurangi 10,6 juta emisi CO2," pungkas Sri.
"Pada awalnya, ditargetkan pengurangan emisi karbon hingga 29% dengan usaha kita sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional dan global. Sekarang telah direvisi, pengurangan emisi karbon dari yang tadinya 29% menjadi 31,89% dengan usaha kita sendiri, kemudian pengurangan emisi dari yang tadinya 41% menjadi 43,2% dengan dukungan global," ujar Sri dalam Southeast Asia Development Symposium (SEADS) 2023: Imagining A Net-Zero ASEAN di Nusa Dua, Kamis (30/3/2023).
Enhanced NDC adalah transisi menuju NDC Indonesia yang diperbarui yang telah diutamakan ke strategi pertumbuhan rendah karbon dan ketahanan iklim jangka panjang.
"Ini bukan hanya satu dokumen terpisah. Komitmen kami sudah terintegrasi dengan strategi pertumbuhan rendah karbon dan ketahanan iklim jangka panjang pada tahun 2050. Ini adalah visi kami agar Indonesia mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau bahkan lebih cepat dari itu," tegas Sri.
Seperti yang dikatakan oleh Presiden Asian Development Bank (ADB) Masatsugu Asakawa, untuk mencapai komitmen tersebut, pembiayaan sangatlah penting, karena tidak bisa hanya memiliki komitmen tanpa sumber daya yang cukup untuk mendukungnya.
"Menurut perkiraan, total pendanaan iklim yang diperlukan untuk mencapai NDC kita adalah Rp4.002 triliun atau USD281 miliar hingga tahun 2030," tambah Sri.
Jumlah ini diproyeksikan akan terpenuhi dengan adanya investasi publik dan swasta. APBN tak mampu sendirian membiayai anggaran sebanyak itu,
"Kumulatif belanja dari budget kita sendiri, APBN hingga 2021 adalah Rp313 triliun. Itu hanya 8% dari total kebutuhan investasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk dapat merancang kerangka kebijakan dan peraturan yang tepat, serta iklim investasi sehingga kita dapat menarik lebih banyak partisipasi swasta baik domestik maupun global," jelas Sri.
Indonesia pun juga mengundang banyak dermawan untuk berpartisipasi dalam komitmen penting semacam ini. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah insentif fiskal, serta inovasi pembiayaan untuk menjembatani kesenjangan dan menciptakan dana katalis untuk investasi dalam proyek hijau dan mengembangkan industri hijau.
"Insentif tersebut antara lain tax holiday, tax allowance, fasilitas PPN, bahkan pajak properti. Kami juga menemukan instrumen, seperti menerbitkan sukuk hijau dan obligasi SDG di tingkat global dan domestik. Obligasi SDG dan obligasi sukuk hijau kami diharapkan akan mengurangi 10,6 juta emisi CO2," pungkas Sri.
(uka)