Daftar Negara-negara yang Paling Menderita Saat Harga Minyak Sentuh USD100/Barel

Jum'at, 07 April 2023 - 15:29 WIB
loading...
Daftar Negara-negara yang Paling Menderita Saat Harga Minyak Sentuh USD100/Barel
Pemotongan produksi yang mengejutkan oleh OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) dan sekutunya membuat harga minyak mentah rally. Foto/Dok
A A A
NEW DELHI - Pemotongan produksi yang mengejutkan oleh OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) dan sekutunya membuat harga minyak mentah rally. Analis mengatakan, importir minyak utama seperti India, Jepang dan Korea Selatan akan merasakan dampak paling menyakitkan jika harga minyak dunia mencapai USD100 per barel.



Pada akhir pekan kemarin, OPEC+ mengumumkan pengurangan produksi 1,16 juta barel per hari dalam sebuah langkah yang tidak diharapkan pasar minyak dunia. "Ini adalah pajak atas setiap ekonomi pengimpor minyak," kata Pavel Molchanov, direktur pelaksana bank investasi swasta Raymond James.

"Bukan AS yang akan merasakan rasa sakit paling besar saat harga minyak USD100. Melainkan negara-negara yang tidak memiliki sumber daya minyak bumi domestik seperti Jepang, India, Jerman, Prancis ... untuk menyebutkan beberapa contoh besar," kata Molchanov.



Pemotongan produksi secara sukarela oleh negara-negara yang tergabung dalam OPEC bakal dimulai pada Mei, mendatang dan berlangsung hingga akhir 2023. Baik Arab Saudi dan Rusia akan memangkas produksi minyak sebesar 500.000 barel per hari hingga akhir tahun ini.

Sementara anggota OPEC lainnya seperti Kuwait, Oman, Irak, Aljazair dan Kazakhstan juga ikut mengurangi produksi.

Minyak mentah berjangka Brent terakhir diperdagangkan 0,57% lebih tinggi pada posisi USD85,41 per barel, sementara West Texas Intermediate berjangka AS berdiri 0,5% di level USD81,11 per barel.

Negara-negara Ketergantungan Impor Minyak

"Wilayah yang paling terpukul oleh pemotongan pasokan minyak dan lonjakan harga minyak mentah adalah mereka yang memiliki tingkat ketergantungan impor tinggi dan pangsa bahan bakar fosil yang juga tinggi dalam sistem energi primer mereka," kata direktur Eurasia Group, Henning Gloystein.

"Hal itu berarti yang paling terpapar adalah industri pasar berkembang yang bergantung pada impor, terutama di Asia Selatan dan Tenggara, serta industri berat yang bergantung pada impor seperti Jepang dan Korea Selatan," sambungnya.

- India

India adalah konsumen minyak terbesar ketiga di dunia, dan telah membeli minyak Rusia dengan diskon besar sejak sanksi dijatuhkan pada Rusia sebagai tanggapan atas invasinya ke Ukraina.

Menurut data pemerintah, impor minyak mentah India naik 8,5% pada Februari 2023 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

"Meskipun mereka masih mendapat untung dari diskon minyak Rusia, mereka juga terdampak dari harga batu bara dan gas yang tinggi," kata Gloystein.

"Jika minyak naik lebih jauh, bahkan minyak mentah Rusia yang didiskon akan mulai merugikan pertumbuhan India," bebernya.

- Jepang

Minyak adalah sumber energi paling signifikan di Jepang, dan menyumbang sekitar 40% dari total pasokan energinya.

"Karena tidak memiliki produksi dalam negeri yang menonjol, Jepang sangat bergantung pada impor minyak mentah, dengan antara 80% hingga 90% berasal dari kawasan Timur Tengah," kata Badan Energi Internasional.

- Korea Selatan

Demikian juga untuk Korea Selatan, minyak merupakan bagian utama dari kebutuhan energinya, menurut perusahaan riset independen Enerdata. "Korea Selatan dan Italia lebih dari 75% bergantung pada minyak impor," kata Molchanov.

Eropa dan China juga "sangat terekspos," menurut Gloystein.

Namun, ia menambahkan bahwa eksposur China sedikit lebih rendah karena produksi minyak dalam negeri, sementara Eropa secara keseluruhan bergantung terutama pada nuklir, batu bara dan gas alam daripada bahan bakar fosil dalam campuran energi utama mereka.

Dampak ke Negara Berkembang

Beberapa pasar negara berkembang yang "tidak memiliki kemampuan mata uang asing untuk mendukung impor bahan bakar ini," akan terkena dampak negatif oleh label harga USD100, kata Molchanov. Dia menyebut Argentina, Turki, Afrika Selatan dan Pakistan sebagai ekonomi potensial yang akan terpukul.

Sri Lanka, yang tidak memproduksi minyak di dalam negeri dan 100% bergantung pada impor, juga sangat rentan merasakan pukulan paling keras.

"Negara-negara dengan mata uang asing paling sedikit dan yang merupakan importir, akan paling dirugikan karena minyak dihargai dalam dolar AS," kata pendiri Aspek Energi, Amrita Sen, yang menambahkan bahwa biaya impor akan naik lebih jauh jika greenback terapresiasi.

USD100 per Barel Tidak Permanen

Ketika harga minyak sentuh USD100 per barel kemungkinan tidak bertahan lama dan permanen, kata Molchanov.

"Dalam jangka panjang, harga bisa lebih sesuai di sekitar USD80 hingga USD90 atau lebih," katanya.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1237 seconds (0.1#10.140)