Indonesia Jadi Faktor Penentu Pembentukan Harga CPO Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia masih menjadi episentrum negara produsen dan konsumen minyak sawit dunia. Indonesia juga menjadi faktor penentu pembentukan harga CPO dunia karena mempunyai magnitudedari sisi supply dan demand.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) Khadikin mengatakan kondisi aktual pasar minyak nabati dunia menunjukkan kerawanan tinggi dan sensitif terhadap perubahan lingkungan strategis. Khadiki mencontohkan, pada saat mulainya invasi Rusia ke Ukraina, April 2022 lalu, harga CPO internasional meningkat RM 1.000/MT dalam kurun waktu tiga hari.
“Hal ini disebabkan Ukraina merupakan produsen utama minyak biji bunga matahari (sunflower oil), yang menjadi barang kompetitor CPO asal negara tropis, utamanya Indonesia dan Malaysia,” katanya dalam acara dalam acara forum group discussion (FGD) bertajuk “Minyak Sawit: Sumber Pangan dan Bioenergi Berkelanjutan” di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
(Baca juga:Sawit Penyelamat Saat Krisis)
Demikian juga pada periode awal 2023, di mana pasokan minyak nabati kompetitor CPO dunia, sudah mulai membaik, maka harga CPO global yang diharapkan terdongkrak pada awal tahun, lantaran masuk musim dingin di negara sub tropis, serta adanya hari besar keagamaan, ternyata tidak menunjukan kenaikan signifikan.
“Hal ini perlu disikapi dengan memperkuat kebijakan sisi supply dan sisi demand pada level nasional, supaya dinamika harga tidak berpengaruh terhadap penerimaan penjualan tandan buah segar (TBS) sawit petani,” tutur Khadikin.
Sebab itu saat ini, ungkap Khadikin, pemerintah sedang mendorong supaya Indonesia menjadi penentu harga CPO di dunia. Apalagi Indonesia telah menjadi produsen utama minyak sawit global, dengan membentuk bursa komoditas.
(Baca juga:Dana Bagi Hasil Sawit)
Kepala Divisi Pengembangan Biodiesel Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Nugroho Adi Wibowo mengatakan BPDPKS merupakan Badan Layanan Umum yang diberi tugas mengelola dan menyalurkan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Penyaluran Dana yang dilaksanakan BPDPKS berdasarkan kebijakan dan kewenangan yang ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga.
Keberhasilan penyaluran termasuk dampaknya, sangat tergantung dari desain dan implementasi program tersebut. “Untuk insentif biodiesel (B30) merupakan kebijakan dan kewenangan Kementerian ESDM. Desain pelaksanaan serta panduan pelaksanaan program ditetapkan oleh Kementerian ESDM sesuai Permen ESDM Nomor No.24 Tahun 2021,” katanya.
Lebih lanjut, tutur Nugroho, pemberian insentif biodiesel semenjak 2015 hingga Maret 2023 telah mencapai Rp144,7 triliun. Di mana pemberian insentif tertinggi terjadi pada 2021 yang mencapai Rp51 triliun, dan di 2022 turun menjadi Rp34,5 triliun.
“Namun yang perlu diketahui kontribusi pajak dari biodiesel yang dibayarkan melalui PPn yang dibayarkan mencapai Rp13,15 trilin,” katanya.
(Baca juga:Ini Negara Kosumen Terbesar Minyak Sawit)
Tak hanya biodiesel, dukungan pendanaan insentif juga diberikan kepada industri minyak goreng sawit. Terkait pembayaran insentif tersebut, kata Nugroho, untuk minyak goreng curah, hingga Oktober 2022 telah dilaksanakan pembayaran percepatan migor curah sebesar 80% dengan jumlah pembayaran Rp62 miliar untuk 12.479.534 kilogram kepada 10 pelaku usaha.
Sementera untuk minyak goreng kemasan, masih dalam proses penerbitan hasil verifikasi oleh Kementerian Perdagangan yang akan digunakan BPDPKS sebagai dasar dalam proses pembayaran dana pembiayaan Minyak Goreng Kemasan dan kemasan sederhana.
“Termasuk masih menunggu pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung guna menjaga prinsip akuntabilitas dan good governance serta mengantisipasi potensi adanya konsekuensi hukum yang dapat terjadi dimasa yang akan datang,” katanya.
Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) Dwi Sutoro mengungkapkan, permasalahan dasar atau fundamental minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia adalah bukan dalam hal supply dan kapasitas produksi, namun dalam masalah harga dan distribusi. “Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan,” kata Dwi Sutoro.
Di mana statistik pemakaian CPO di Indonesia sebanyak 15% produksi CPO nasional atau sekitar 6,8 juta ton digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit, dibanding 55% yang diekspor, di mana penggunaan untuk kebutuhan rumah tangga mencapai 62% dan non rumah tangga sebanyak 38%.
Sebab itu regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan untuk difokuskan pada volume yang terkait industri minyak goreng sawit. Lantas kebijakan minyak goreng, harus menjawab permasalahan terkait harga dan distribusi serta mekanismenya.
Pelaksanaan kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan resiko dari kontinuitas ketersediaan migor bersubsidi, lantaran harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin) terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industri CPO.
Sementara harga olein internasional yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga CPO domestik menyebabkan tidak adanya kompensasi terhadap hilangnya margin pengusaha migor. Ini berbanding terbalik dengan harga olein domestik yang justru lebih menguntungkan menyebabkan insentif yang berupa izin ekspor tidak lagi menarik sehingga produsen memilih tidak memproduksi migor bersubsidi.
Lantas untuk skema distribusi saat ini masih didominasi swasta dan afiliasi dari produsen migor swasta dan menggunakan jalur distribusi normal. “Sebab itu ke depan sebaiknya distributor diambil alih oleh perusahaan/badan usaha negara dan menggunakan jalur distribusi khusus migor bersubsidi,” usul Dwi.
Bagaimana peran PTPN? Kata Dwi, pihaknya saat ini sedang membangun kapasitas serta kapabilitas perusahaan dalam meningkatkan peran dan keterlibatan negara, caranya pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak goreng, yang mana PTPN saat ini sedang menyiapkan kapasitas industri minyak goreng sebagai bagian dari proyek strategis nasional dengan kapasitas 3 juta ton/tahun, serta kedua, menyiapkan pilot project minyak makan merah dengan kapasitas 10 ton/hari.
Head of Industry & Government Relations Apical, Manumpak Manurung, saat ini Apical menjadi salah satu produsen dengan penugasan untuk memproduksi Minyakita dari pemerintah dengan volume tertinggi dari 10 produsen minyak goreng lainnya, mencapai 89.072.000 ton per bulan atau sekitar 22% dari alokasi DMO Minyakita sebanyak 450.000.000 ton sebulan.
Sebab itu, kata Manumpak, guna memastikan produk Minyakita yang diproduksi Apical sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, pihaknya melakukan edukasi HET kepada masyarakat dengan mendorong masyarakat untuk melaporkan bila ada Minyakita dijual dengan harga di atas HET ke saluran layanan yang telah disediakan perusahaan. “Supaya dapat dipantau lebih lanjut oleh pihak regulator,” tadas Manumpak.
Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) Khadikin mengatakan kondisi aktual pasar minyak nabati dunia menunjukkan kerawanan tinggi dan sensitif terhadap perubahan lingkungan strategis. Khadiki mencontohkan, pada saat mulainya invasi Rusia ke Ukraina, April 2022 lalu, harga CPO internasional meningkat RM 1.000/MT dalam kurun waktu tiga hari.
“Hal ini disebabkan Ukraina merupakan produsen utama minyak biji bunga matahari (sunflower oil), yang menjadi barang kompetitor CPO asal negara tropis, utamanya Indonesia dan Malaysia,” katanya dalam acara dalam acara forum group discussion (FGD) bertajuk “Minyak Sawit: Sumber Pangan dan Bioenergi Berkelanjutan” di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
(Baca juga:Sawit Penyelamat Saat Krisis)
Demikian juga pada periode awal 2023, di mana pasokan minyak nabati kompetitor CPO dunia, sudah mulai membaik, maka harga CPO global yang diharapkan terdongkrak pada awal tahun, lantaran masuk musim dingin di negara sub tropis, serta adanya hari besar keagamaan, ternyata tidak menunjukan kenaikan signifikan.
“Hal ini perlu disikapi dengan memperkuat kebijakan sisi supply dan sisi demand pada level nasional, supaya dinamika harga tidak berpengaruh terhadap penerimaan penjualan tandan buah segar (TBS) sawit petani,” tutur Khadikin.
Sebab itu saat ini, ungkap Khadikin, pemerintah sedang mendorong supaya Indonesia menjadi penentu harga CPO di dunia. Apalagi Indonesia telah menjadi produsen utama minyak sawit global, dengan membentuk bursa komoditas.
(Baca juga:Dana Bagi Hasil Sawit)
Kepala Divisi Pengembangan Biodiesel Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Nugroho Adi Wibowo mengatakan BPDPKS merupakan Badan Layanan Umum yang diberi tugas mengelola dan menyalurkan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Penyaluran Dana yang dilaksanakan BPDPKS berdasarkan kebijakan dan kewenangan yang ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga.
Keberhasilan penyaluran termasuk dampaknya, sangat tergantung dari desain dan implementasi program tersebut. “Untuk insentif biodiesel (B30) merupakan kebijakan dan kewenangan Kementerian ESDM. Desain pelaksanaan serta panduan pelaksanaan program ditetapkan oleh Kementerian ESDM sesuai Permen ESDM Nomor No.24 Tahun 2021,” katanya.
Lebih lanjut, tutur Nugroho, pemberian insentif biodiesel semenjak 2015 hingga Maret 2023 telah mencapai Rp144,7 triliun. Di mana pemberian insentif tertinggi terjadi pada 2021 yang mencapai Rp51 triliun, dan di 2022 turun menjadi Rp34,5 triliun.
“Namun yang perlu diketahui kontribusi pajak dari biodiesel yang dibayarkan melalui PPn yang dibayarkan mencapai Rp13,15 trilin,” katanya.
(Baca juga:Ini Negara Kosumen Terbesar Minyak Sawit)
Tak hanya biodiesel, dukungan pendanaan insentif juga diberikan kepada industri minyak goreng sawit. Terkait pembayaran insentif tersebut, kata Nugroho, untuk minyak goreng curah, hingga Oktober 2022 telah dilaksanakan pembayaran percepatan migor curah sebesar 80% dengan jumlah pembayaran Rp62 miliar untuk 12.479.534 kilogram kepada 10 pelaku usaha.
Sementera untuk minyak goreng kemasan, masih dalam proses penerbitan hasil verifikasi oleh Kementerian Perdagangan yang akan digunakan BPDPKS sebagai dasar dalam proses pembayaran dana pembiayaan Minyak Goreng Kemasan dan kemasan sederhana.
“Termasuk masih menunggu pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung guna menjaga prinsip akuntabilitas dan good governance serta mengantisipasi potensi adanya konsekuensi hukum yang dapat terjadi dimasa yang akan datang,” katanya.
Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) Dwi Sutoro mengungkapkan, permasalahan dasar atau fundamental minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia adalah bukan dalam hal supply dan kapasitas produksi, namun dalam masalah harga dan distribusi. “Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan,” kata Dwi Sutoro.
Di mana statistik pemakaian CPO di Indonesia sebanyak 15% produksi CPO nasional atau sekitar 6,8 juta ton digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit, dibanding 55% yang diekspor, di mana penggunaan untuk kebutuhan rumah tangga mencapai 62% dan non rumah tangga sebanyak 38%.
Sebab itu regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan untuk difokuskan pada volume yang terkait industri minyak goreng sawit. Lantas kebijakan minyak goreng, harus menjawab permasalahan terkait harga dan distribusi serta mekanismenya.
Pelaksanaan kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan resiko dari kontinuitas ketersediaan migor bersubsidi, lantaran harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin) terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industri CPO.
Sementara harga olein internasional yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga CPO domestik menyebabkan tidak adanya kompensasi terhadap hilangnya margin pengusaha migor. Ini berbanding terbalik dengan harga olein domestik yang justru lebih menguntungkan menyebabkan insentif yang berupa izin ekspor tidak lagi menarik sehingga produsen memilih tidak memproduksi migor bersubsidi.
Lantas untuk skema distribusi saat ini masih didominasi swasta dan afiliasi dari produsen migor swasta dan menggunakan jalur distribusi normal. “Sebab itu ke depan sebaiknya distributor diambil alih oleh perusahaan/badan usaha negara dan menggunakan jalur distribusi khusus migor bersubsidi,” usul Dwi.
Bagaimana peran PTPN? Kata Dwi, pihaknya saat ini sedang membangun kapasitas serta kapabilitas perusahaan dalam meningkatkan peran dan keterlibatan negara, caranya pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak goreng, yang mana PTPN saat ini sedang menyiapkan kapasitas industri minyak goreng sebagai bagian dari proyek strategis nasional dengan kapasitas 3 juta ton/tahun, serta kedua, menyiapkan pilot project minyak makan merah dengan kapasitas 10 ton/hari.
Head of Industry & Government Relations Apical, Manumpak Manurung, saat ini Apical menjadi salah satu produsen dengan penugasan untuk memproduksi Minyakita dari pemerintah dengan volume tertinggi dari 10 produsen minyak goreng lainnya, mencapai 89.072.000 ton per bulan atau sekitar 22% dari alokasi DMO Minyakita sebanyak 450.000.000 ton sebulan.
Sebab itu, kata Manumpak, guna memastikan produk Minyakita yang diproduksi Apical sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, pihaknya melakukan edukasi HET kepada masyarakat dengan mendorong masyarakat untuk melaporkan bila ada Minyakita dijual dengan harga di atas HET ke saluran layanan yang telah disediakan perusahaan. “Supaya dapat dipantau lebih lanjut oleh pihak regulator,” tadas Manumpak.
(dar)