Ekonom: Pembebasan Fiskal Bisa Untungkan Industri Emas Dalam Negeri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Langkah pemerintah membebaskan fiskal berupa Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) 11% terhadap komoditas emas dinilai sangat tepat. Mengingat emas termasuk dalam daftar komoditas strategis bebas fiskal khususnya PPN.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan Publik Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Arman Hakim Nasution menilai, kebijakan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah terhadap industri emas dalam negeri agar mampu bersaing dengan industri emas global.
"Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menerima usulan dari asosiasi dengan menetapkan emas masuk dalam komoditas strategis yang tidak kena pajak 11 persen," kata Arman dalam keterangannya, Kamis (8/6/2023).
Berdasarkan Undang-Undang No 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, emas batangan (ingot) dianggap bukan objek pajak.
Regulasi ini diperkuat dengan terbitnya Surat Keterangan Bebas (SKB) PPH Pasal 22 atas Impor Emas Batangan Untuk Ekspor Perhiasan Emas yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak serta pemberlakuan kode seperti HS Code 71.06 (perak) dan 71.08.12.10 (emas ingot) yang dikenakan bea masuk nihil berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Bea dan Cukai.
Berbagai kebijakan pemerintah tersebut dibuat untuk mendukung peningkatan ekspor perhiasan emas Indonesia yang telah menggabungkan kekuatan mesin dan keahlian manusia. Sebagai perbandingan, industri perhiasan emas di Italia lebih bergantung pada kekuatan mesin sedangkan industri perhiasan emas di Malaysia mengandalkan keahlian manusia
Menurut ekonom senior ini, Indonesia sebagai penghasil emas nomor enam di dunia dan komoditi untuk perhiasan nomor enam di dunia akan kalah bersaing jika ada penambahan pajak 11% di sektor hulu. Apalagi industri perhiasan emas dalam negeri, termasuk sekitar 30% perajin emas sektor UMKM, merupakan industri padat karya berbasis keahlian.
"Dibandingkan Singapura dan Inggris, harga emas kita lebih mahal," katanya.
Ketua Pusat Kajian Kebijakan Publik Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Arman Hakim Nasution menilai, kebijakan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah terhadap industri emas dalam negeri agar mampu bersaing dengan industri emas global.
"Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menerima usulan dari asosiasi dengan menetapkan emas masuk dalam komoditas strategis yang tidak kena pajak 11 persen," kata Arman dalam keterangannya, Kamis (8/6/2023).
Berdasarkan Undang-Undang No 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, emas batangan (ingot) dianggap bukan objek pajak.
Regulasi ini diperkuat dengan terbitnya Surat Keterangan Bebas (SKB) PPH Pasal 22 atas Impor Emas Batangan Untuk Ekspor Perhiasan Emas yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak serta pemberlakuan kode seperti HS Code 71.06 (perak) dan 71.08.12.10 (emas ingot) yang dikenakan bea masuk nihil berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Bea dan Cukai.
Berbagai kebijakan pemerintah tersebut dibuat untuk mendukung peningkatan ekspor perhiasan emas Indonesia yang telah menggabungkan kekuatan mesin dan keahlian manusia. Sebagai perbandingan, industri perhiasan emas di Italia lebih bergantung pada kekuatan mesin sedangkan industri perhiasan emas di Malaysia mengandalkan keahlian manusia
Menurut ekonom senior ini, Indonesia sebagai penghasil emas nomor enam di dunia dan komoditi untuk perhiasan nomor enam di dunia akan kalah bersaing jika ada penambahan pajak 11% di sektor hulu. Apalagi industri perhiasan emas dalam negeri, termasuk sekitar 30% perajin emas sektor UMKM, merupakan industri padat karya berbasis keahlian.
"Dibandingkan Singapura dan Inggris, harga emas kita lebih mahal," katanya.