Pensiun Dini PLTU Batu Bara, Pengamat: Perlu Strategi Mitigasi Dampak Negatifnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mempercepat transisi energi , dimana salah satunya dengan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap ( PLTU ) batu bara, menurut pengamat diperlukan juga langkah mitigasi untuk mengurangi dampak negatifnya. Dari sisi manfaat, pembatalan proyek PLTU batubara baru dan penghentiannya disebut dapat menekan biaya kesehatan sebesar USD100 miliar atau Rp1.500 triliun dalam beberapa dekade ke depan.
Bahkan berdasarkan penelitian terbaru dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia, diterangkan dapat mencegah 180.000 kematian akibat polusi udara.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menekankan bahwa pemerintah harus mendesak perusahaan listrik untuk mengevaluasi kembali rencana mereka untuk membangun pembangkit listrik baru dan segera mengambil tindakan untuk beralih ke pembangkit energi terbarukan. Peralihan ini akan menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan kesehatan yang signifikan.
"Pada pertemuan puncak G20 tahun lalu, Indonesia menandatangani pernyataan bersama Just Energy Transition Partnership (JETP), yang berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dengan nilai absolut 290 juta ton CO2e. Untuk mencapai target ini, Indonesia harus menghentikan sekitar 9 GW pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam satu dekade ini," ungkapnya.
"Namun demikian, diperlukan kepastian strategi mitigasi untuk mengurangi dampak negatifnya untuk PLTU batubara yang belum mencapai waktu penonaktifannya. Penerapan strategi ini harus menjadi bagian integral dari solusi untuk transisi energi yang berkeadilan," ujar Fabby.
Penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2040 diperlukan untuk memenuhi target Persetujuan Paris, berdasarkan Badan Energi Internasional (IEA). Indonesia saat ini menargetkan penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2050, dengan beberapa pengecualian.
Penelitian CREA dan IESR mengembangkan jalur pengakhiran operasional PLTU batubara berbasis kesehatan yang pertama di Indonesia, berdasarkan pemodelan atmosfer yang terperinci dan penilaian dampak kesehatan per pembangkit listrik (health impact assessments, HIA). Jalur ini memaksimalkan manfaat kesehatan dari peralihan PLTU batubara ke energi bersih dengan mengakhiri operasional PLTU batubara yang paling berpolusi terlebih dahulu.
Emisi polutan udara dari PLTU batubara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di Indonesia pada tahun 2022 dan biaya kesehatan sebesar USD7,4 miliar, menurut hasil penelitian tersebut. Dampak kesehatan ini akan terus meningkat dengan beroperasinya PLTU batu bara yang baru. Pembangkitan energi dari PLTU batu bara akan meningkat selama satu dekade ke depan, kecuali jika pertumbuhan pembangkit listrik bersih dipercepat untuk memenuhi pertumbuhan permintaan.
Penghentian PLTU batu bara membutuhkan investasi awal. Biaya kesehatan yang dihindari dari penghentian PLTU batu bara yang lebih cepat pada tahun 2040, akan mencapai USD130 miliar (Rp1.930 triliun), sementara investasi sebesar USD32 miliar (Rp 450 triliun) diperlukan untuk merealisasikan penghentian pengoperasian PLTU batu bara, sehingga investasi ini akan sangat menguntungkan bagi seluruh masyarakat.
"Penelitian ini memberikan daftar PLTU batu bara yang diurutkan berdasarkan dampaknya terhadap biaya kesehatan per unit pembangkit, yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai metrik tambahan untuk dipertimbangkan dalam membuat prioritas penghentian pembangkit listrik," ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR, yang juga merupakan salah satu kontributor dalam laporan ini.
"Hal ini merupakan masukan yang sangat penting karena sekretariat JETP saat ini sedang menyusun Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP), di mana pemensiunan pembangkit listrik tenaga batubara merupakan salah satu bidang investasi yang termasuk dalam dokumen tersebut," lanjutnya.
Besarnya dampak kesehatan masyarakat terjadi karena seluruh PLTU batu bara tidak memiliki alat pengendali emisi polusi udara yang efisien untuk polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan merkuri, mengingat standar emisi nasional yang lemah.
Standar yang lebih kuat membutuhkan investasi dalam pengendalian polusi udara, dapat mencegah hingga 8.300 kematian akibat polusi udara per tahun pada tahun 2035, dengan biaya kesehatan yang dapat dihindari jauh melebihi biaya yang terkait dengan teknologi tersebut.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa mengurangi emisi dari PLTU batu bara tidak hanya baik untuk kesehatan dan kesejahteraan, tetapi juga dapat menguntungkan masyarakat Indonesia secara ekonomi. Biaya kesehatan yang dihindari dapat lebih dari sekadar mengkompensasi investasi yang diperlukan untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan membangun pembangkit listrik bersih sebagai penggantinya," ujar Lauri Myllyvirta, salah satu penulis laporan tersebut dan Analis Utama CREA.
Bahkan berdasarkan penelitian terbaru dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia, diterangkan dapat mencegah 180.000 kematian akibat polusi udara.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menekankan bahwa pemerintah harus mendesak perusahaan listrik untuk mengevaluasi kembali rencana mereka untuk membangun pembangkit listrik baru dan segera mengambil tindakan untuk beralih ke pembangkit energi terbarukan. Peralihan ini akan menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan kesehatan yang signifikan.
"Pada pertemuan puncak G20 tahun lalu, Indonesia menandatangani pernyataan bersama Just Energy Transition Partnership (JETP), yang berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 dengan nilai absolut 290 juta ton CO2e. Untuk mencapai target ini, Indonesia harus menghentikan sekitar 9 GW pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam satu dekade ini," ungkapnya.
"Namun demikian, diperlukan kepastian strategi mitigasi untuk mengurangi dampak negatifnya untuk PLTU batubara yang belum mencapai waktu penonaktifannya. Penerapan strategi ini harus menjadi bagian integral dari solusi untuk transisi energi yang berkeadilan," ujar Fabby.
Penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2040 diperlukan untuk memenuhi target Persetujuan Paris, berdasarkan Badan Energi Internasional (IEA). Indonesia saat ini menargetkan penghentian penggunaan PLTU batubara pada tahun 2050, dengan beberapa pengecualian.
Penelitian CREA dan IESR mengembangkan jalur pengakhiran operasional PLTU batubara berbasis kesehatan yang pertama di Indonesia, berdasarkan pemodelan atmosfer yang terperinci dan penilaian dampak kesehatan per pembangkit listrik (health impact assessments, HIA). Jalur ini memaksimalkan manfaat kesehatan dari peralihan PLTU batubara ke energi bersih dengan mengakhiri operasional PLTU batubara yang paling berpolusi terlebih dahulu.
Emisi polutan udara dari PLTU batubara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di Indonesia pada tahun 2022 dan biaya kesehatan sebesar USD7,4 miliar, menurut hasil penelitian tersebut. Dampak kesehatan ini akan terus meningkat dengan beroperasinya PLTU batu bara yang baru. Pembangkitan energi dari PLTU batu bara akan meningkat selama satu dekade ke depan, kecuali jika pertumbuhan pembangkit listrik bersih dipercepat untuk memenuhi pertumbuhan permintaan.
Penghentian PLTU batu bara membutuhkan investasi awal. Biaya kesehatan yang dihindari dari penghentian PLTU batu bara yang lebih cepat pada tahun 2040, akan mencapai USD130 miliar (Rp1.930 triliun), sementara investasi sebesar USD32 miliar (Rp 450 triliun) diperlukan untuk merealisasikan penghentian pengoperasian PLTU batu bara, sehingga investasi ini akan sangat menguntungkan bagi seluruh masyarakat.
"Penelitian ini memberikan daftar PLTU batu bara yang diurutkan berdasarkan dampaknya terhadap biaya kesehatan per unit pembangkit, yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai metrik tambahan untuk dipertimbangkan dalam membuat prioritas penghentian pembangkit listrik," ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR, yang juga merupakan salah satu kontributor dalam laporan ini.
"Hal ini merupakan masukan yang sangat penting karena sekretariat JETP saat ini sedang menyusun Comprehensive Investment Plan and Policy (CIPP), di mana pemensiunan pembangkit listrik tenaga batubara merupakan salah satu bidang investasi yang termasuk dalam dokumen tersebut," lanjutnya.
Besarnya dampak kesehatan masyarakat terjadi karena seluruh PLTU batu bara tidak memiliki alat pengendali emisi polusi udara yang efisien untuk polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan merkuri, mengingat standar emisi nasional yang lemah.
Standar yang lebih kuat membutuhkan investasi dalam pengendalian polusi udara, dapat mencegah hingga 8.300 kematian akibat polusi udara per tahun pada tahun 2035, dengan biaya kesehatan yang dapat dihindari jauh melebihi biaya yang terkait dengan teknologi tersebut.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa mengurangi emisi dari PLTU batu bara tidak hanya baik untuk kesehatan dan kesejahteraan, tetapi juga dapat menguntungkan masyarakat Indonesia secara ekonomi. Biaya kesehatan yang dihindari dapat lebih dari sekadar mengkompensasi investasi yang diperlukan untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan membangun pembangkit listrik bersih sebagai penggantinya," ujar Lauri Myllyvirta, salah satu penulis laporan tersebut dan Analis Utama CREA.
(akr)