Menkop Teten Ungkap Pengusaha yang Tolak Larangan Impor di Bawah Rp1,5 Juta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki buka suara soal penolakan dari asosiasi pengusaha terkait revisi Permendag No. 50 Tahun 2020 yang akan melarang importir menjual barang dengan nilai kurang dari USD100 atau setara Rp1,5 juta per unit di marketplace. Menurut Teten, asosiasi pengusaha yang menolak merupakan penjual barang impor .
"Itu pasti yang keberatan yang jual produk dari luar. Kalo kebijakan kita harga minimal Rp1,5 juta untuk lindungi produk-produk dalam negeri," kata Teten ketika ditemui di French Market Emerald, Bintaro, Tangerang Selatan, Minggu (6/8/20223).
Teten mengatakan bahwa jika tidak ada aturan tersebut, maka Indonesia akan dipenuhi dengan produk-produk murahan.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) Sonny Harsono menilai kebijakan baru ini tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan. Sebagai contoh, jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti aksesoris ponsel dan/atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, justru menimbulkan risiko terjadinya kegiatan impor llegal.
"Jika permintaan masih ada, penawaran pun akan berlangsung. Kondisi ini sebenarnya sudah tergambar pada e-commerce lokal yang menunjukkan sebagian besar barang impor ditawarkan oleh penjual non-importirnon-importir," katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa platform yang memfasilitasi transaksi cross-border semacam ini tidak hanya ditemukan di Indonesia, melainkan di berbagai negara. Namun demikian, di negara-negara lain berlaku pula kebijakan yang sama, yaitu berupa pengenaan pajak pada harga tertentu, bukan pelarangan di bawah harga tertentu.
APLE juga menyebut ada platform besar yang melakukan transaksi ekspor cross-border UMKM ke enam negara dengan volume melebihi angka impor. Artinya, transaksi ini sesungguhnya meningkatkan current account atau selisih antara ekspor dan impor di suatu negara.
Oleh karena itu, penutupan keran transaksi impor lintas negara tersebut justru akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM apabila platform belanja menghentikan semua transaksi cross-border ke Indonesia. Para pengusaha yang tergabung dalam APLE menjelaskan, proses impor cross-border ke Indonesia dewasa ini sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
APLE pun mengajukan empat solusi terhadap persoalan ini. Pertama, pemerintah diharapkan mewajibkan platform pelaku transaksi impar cross-border untuk memfasilitasi ekspor lintas negara, dengan volume yang lebih tinggi. Kedua, pemerintah meningkatkan besaran komponen biaya impor berupa peningkatan bea masuk dari 7,5% menjadi 10% ditambah PPN 10% dan PPh.
Ketiga, pemerintah melakukan screening atau penyaringan terhadap e-commerce lokal yang tidak melakukan transaksi cross-border. Keempat, pemerintah sebaiknya melakukan kunjungan ke kampus-kampus.
"Itu pasti yang keberatan yang jual produk dari luar. Kalo kebijakan kita harga minimal Rp1,5 juta untuk lindungi produk-produk dalam negeri," kata Teten ketika ditemui di French Market Emerald, Bintaro, Tangerang Selatan, Minggu (6/8/20223).
Teten mengatakan bahwa jika tidak ada aturan tersebut, maka Indonesia akan dipenuhi dengan produk-produk murahan.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) Sonny Harsono menilai kebijakan baru ini tidak merefleksikan kondisi nyata di lapangan. Sebagai contoh, jika pemerintah menghentikan impor barang-barang seperti aksesoris ponsel dan/atau elektronik yang tidak diproduksi di dalam negeri, justru menimbulkan risiko terjadinya kegiatan impor llegal.
"Jika permintaan masih ada, penawaran pun akan berlangsung. Kondisi ini sebenarnya sudah tergambar pada e-commerce lokal yang menunjukkan sebagian besar barang impor ditawarkan oleh penjual non-importirnon-importir," katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa platform yang memfasilitasi transaksi cross-border semacam ini tidak hanya ditemukan di Indonesia, melainkan di berbagai negara. Namun demikian, di negara-negara lain berlaku pula kebijakan yang sama, yaitu berupa pengenaan pajak pada harga tertentu, bukan pelarangan di bawah harga tertentu.
APLE juga menyebut ada platform besar yang melakukan transaksi ekspor cross-border UMKM ke enam negara dengan volume melebihi angka impor. Artinya, transaksi ini sesungguhnya meningkatkan current account atau selisih antara ekspor dan impor di suatu negara.
Oleh karena itu, penutupan keran transaksi impor lintas negara tersebut justru akan mengancam eksistensi dari pelaku UMKM apabila platform belanja menghentikan semua transaksi cross-border ke Indonesia. Para pengusaha yang tergabung dalam APLE menjelaskan, proses impor cross-border ke Indonesia dewasa ini sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
APLE pun mengajukan empat solusi terhadap persoalan ini. Pertama, pemerintah diharapkan mewajibkan platform pelaku transaksi impar cross-border untuk memfasilitasi ekspor lintas negara, dengan volume yang lebih tinggi. Kedua, pemerintah meningkatkan besaran komponen biaya impor berupa peningkatan bea masuk dari 7,5% menjadi 10% ditambah PPN 10% dan PPh.
Ketiga, pemerintah melakukan screening atau penyaringan terhadap e-commerce lokal yang tidak melakukan transaksi cross-border. Keempat, pemerintah sebaiknya melakukan kunjungan ke kampus-kampus.
(uka)