Faisal Basri Ungkap Hilirisasi Nikel hanya Untungkan China
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri menjelaskan pernyataannya terkait hilirisasi nikel hanya menguntungkan China. Penjelasan ini terkait dengan sanggahan Presiden Jokowi yang mempertanyakan metode penghitungannya.
Jokowi bahkan mengatakan bahwa hilirisasi nikel membuat perolehan pajak lebih besar dibanding ekspor bahan mentah. Ekspor hilirisasi nikel mencapai Rp510 triliun, sedangkan ekspor bahan mentah nikel hanya Rp17 triliun.
Dikutip dari FaisalBasri.com, Jumat (11/8/2023), ekonom UI itu mempertanyakan sumber dan hitung-hitungan angka di atas. Menurut Faisal, Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Angka itu didapat dari ekspor senilai USD85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per USD.
"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah USD27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per USD, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun," jelas Faisal.
"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," tambahnya.
Namun, menurut Faisal, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Jadi adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil, alias nol besar.
"Jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati 'karpet merah' karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Kementerian Keuangan-lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat peraturan pemerintah dilimpahkan kepada BKPM," tegas Faisal.
Apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
"Kita mendukung sepenuhnya industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang," tambah Faisal.
Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia.
Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1% tahun 2014 menjadi hanya 18,3% tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis . Yang dikatakan oleh Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.
Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.
Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products. Sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi batere untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.
"Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen," papar Faisal.
Faisal juga menjelaskan hitung-hitungan soal hilirisasi ini. Nilai tambah smelter = produk smelter – bijih nikel.
Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa. Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.
Hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.
Banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan.
Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan namun nilainya amatlah kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China.
"Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional," tandas Faisal.
Lihat Juga: Riset INDEF Sebut Indonesia Punya Momentum Strategis untuk Jadi Pemain Global dalam Hilirisasi Tembaga
Jokowi bahkan mengatakan bahwa hilirisasi nikel membuat perolehan pajak lebih besar dibanding ekspor bahan mentah. Ekspor hilirisasi nikel mencapai Rp510 triliun, sedangkan ekspor bahan mentah nikel hanya Rp17 triliun.
Dikutip dari FaisalBasri.com, Jumat (11/8/2023), ekonom UI itu mempertanyakan sumber dan hitung-hitungan angka di atas. Menurut Faisal, Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Angka itu didapat dari ekspor senilai USD85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per USD.
"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah USD27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per USD, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun," jelas Faisal.
"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," tambahnya.
Namun, menurut Faisal, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Jadi adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil, alias nol besar.
"Jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel. Perusahan-perusahaan smelter China menikmati 'karpet merah' karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Kementerian Keuangan-lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat peraturan pemerintah dilimpahkan kepada BKPM," tegas Faisal.
Apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
"Kita mendukung sepenuhnya industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang," tambah Faisal.
Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia.
Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1% tahun 2014 menjadi hanya 18,3% tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis . Yang dikatakan oleh Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.
Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.
Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products. Sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi batere untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.
"Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen," papar Faisal.
Faisal juga menjelaskan hitung-hitungan soal hilirisasi ini. Nilai tambah smelter = produk smelter – bijih nikel.
Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa. Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.
Hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.
Banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan.
Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan namun nilainya amatlah kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China.
"Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional," tandas Faisal.
Lihat Juga: Riset INDEF Sebut Indonesia Punya Momentum Strategis untuk Jadi Pemain Global dalam Hilirisasi Tembaga
(uka)