Rapor Merah Kinerja Asuransi Jiwa Nasional Gerus Kepercayaan Nasabah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Industri asuransi nasional sedang menghadapi persoalan kepercayaan (trust) terkait kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya dan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera.
Ini menjadi persoalan serius karena kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan industri asuransi berangkat dari trust atau kepercayaan masyarakat (nasabah). Kasus ini semakin menekan kinerja industri asuransi, setelah sebelumnya ditekan oleh perlambatan ekonomi dan impact pandemi Covid-19. (Baca juga: Setor Polis 17 Tahun Jadi Korban Gagal Bayar, Nasabah Bumiputera Ngadu ke Dewan )
Chairman Infobank Institute Eko B. Supriyanto mengatakan, industri asuransi jiwa nasional bahkan sudah dua tahun terakhir mengalami masa-masa berat. Pada 2019 kinerja industri ini melanjutkan kemerosotan yang terjadi sejak 2018.
Sebagian perusahaan asuransi jiwa fokus memasarkan produk-produk asuransi berbalut investasi seperti unit link. Bahkan, unit link menjadi tulang punggung bisnis asuransi jiwa.
Namun, karena terlalu dipenuhi oleh produk-produk berbasis investasi bergaransi, perusahaan asuransi jiwa menjadi agresif masuk ke saham dan reksa dana.
“Begitu pasar saham anjlok, banyak yang akhirnya bermasalah. Ditambah lagi, ada problem lain, yakni tidak sedikit terjadi pelanggaran good corporate governance (GCG),” ujar Eko dalam acara Infobank Talk 'Insurtech: Peluang dan Tantangan Asuransi di Era Digital' di Jakarta, Kamis (30/7/2020). (Baca juga: Di Tengah Pandemi Covid-19, KBRI London Dorong Startup Inggris Investasi di Indonesia )
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2019 perolehan premi bruto industri asuransi jiwa yang dihuni oleh 61 perusahaan, tumbuh negatif 0,38% atau menjadi Rp185,33 triliun.
"Pertumbuhan tersebut melanjutkan tren penurunan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Pada 2018 premi industri asuransi jiwa tumbuh 1,20%, anjlok sangat dalam dari capaian tahun sebelumnya yang tercatat tumbuh 16,23%," tambahnya.
Rapor merah industri asuransi jiwa pada 2019 juga ditunjukkan oleh pos laba. Tahun lalu laba sebelum pajak industri ini negatif Rp6,59 triliun. Pada 2018, meski laba industri merosot sangat dalam, dari Rp13,08 triliun pada 2017 menjadi Rp194,09 miliar, namun masih tumbuh positif. (Baca juga: Pembatasan Ibadah Haji, Perekonomian Masyarakat Arab Saudi Terpukul )
“Perolehan laba per Mei 2020 membaik, naik 128,26% menjadi Rp1,21 triliun dari total 54 perusahaan asuransi jiwa,” ungkap Eko. Namun, imbuh dia, indikator keuangan lainnya semakin menurun.
Per Mei 2020, pendapatan premi bruto mengalami minus 12,54% menjadi Rp64,01 triliun. Investasi minus 8,12% menjadi Rp426,24 triliun, dan aset minus 5,52% menjadi Rp531,14 triliun.
Ini menjadi persoalan serius karena kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan industri asuransi berangkat dari trust atau kepercayaan masyarakat (nasabah). Kasus ini semakin menekan kinerja industri asuransi, setelah sebelumnya ditekan oleh perlambatan ekonomi dan impact pandemi Covid-19. (Baca juga: Setor Polis 17 Tahun Jadi Korban Gagal Bayar, Nasabah Bumiputera Ngadu ke Dewan )
Chairman Infobank Institute Eko B. Supriyanto mengatakan, industri asuransi jiwa nasional bahkan sudah dua tahun terakhir mengalami masa-masa berat. Pada 2019 kinerja industri ini melanjutkan kemerosotan yang terjadi sejak 2018.
Sebagian perusahaan asuransi jiwa fokus memasarkan produk-produk asuransi berbalut investasi seperti unit link. Bahkan, unit link menjadi tulang punggung bisnis asuransi jiwa.
Namun, karena terlalu dipenuhi oleh produk-produk berbasis investasi bergaransi, perusahaan asuransi jiwa menjadi agresif masuk ke saham dan reksa dana.
“Begitu pasar saham anjlok, banyak yang akhirnya bermasalah. Ditambah lagi, ada problem lain, yakni tidak sedikit terjadi pelanggaran good corporate governance (GCG),” ujar Eko dalam acara Infobank Talk 'Insurtech: Peluang dan Tantangan Asuransi di Era Digital' di Jakarta, Kamis (30/7/2020). (Baca juga: Di Tengah Pandemi Covid-19, KBRI London Dorong Startup Inggris Investasi di Indonesia )
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2019 perolehan premi bruto industri asuransi jiwa yang dihuni oleh 61 perusahaan, tumbuh negatif 0,38% atau menjadi Rp185,33 triliun.
"Pertumbuhan tersebut melanjutkan tren penurunan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Pada 2018 premi industri asuransi jiwa tumbuh 1,20%, anjlok sangat dalam dari capaian tahun sebelumnya yang tercatat tumbuh 16,23%," tambahnya.
Rapor merah industri asuransi jiwa pada 2019 juga ditunjukkan oleh pos laba. Tahun lalu laba sebelum pajak industri ini negatif Rp6,59 triliun. Pada 2018, meski laba industri merosot sangat dalam, dari Rp13,08 triliun pada 2017 menjadi Rp194,09 miliar, namun masih tumbuh positif. (Baca juga: Pembatasan Ibadah Haji, Perekonomian Masyarakat Arab Saudi Terpukul )
“Perolehan laba per Mei 2020 membaik, naik 128,26% menjadi Rp1,21 triliun dari total 54 perusahaan asuransi jiwa,” ungkap Eko. Namun, imbuh dia, indikator keuangan lainnya semakin menurun.
Per Mei 2020, pendapatan premi bruto mengalami minus 12,54% menjadi Rp64,01 triliun. Investasi minus 8,12% menjadi Rp426,24 triliun, dan aset minus 5,52% menjadi Rp531,14 triliun.
(ind)