MAKI Minta Persamaan Larangan Seluruh Impor di Bawah USD100
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta persamaan pembatasan atau pelarangan seluruh importasi barang sebesar di bawah USD100 melalui seluruh jalur udara, laut dan darat. Bila larangan hanya berlaku untuk angkutan penerbangan, maka gugatan akan dilayangkan berupa judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Saat ini, pemerintah sedang menggodok revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Pemerintah akan melarang penjualan barang impor sebesar di bawah USD 100 atau di bawah Rp 1,5 juta efektif hanya untuk produk yang dikirim secara cross border atau melalui perdagangan lintas batas.
"MAKI akan menempuh upaya Judicial Review (Uji Materi) ke Mahkamah Agung atas rencana perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 apabila hanya berlaku atau menitikberatkan pengangkutan barang melalui udara. Apabila rencana perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 telah disahkan dan hanya mengatur pelarangan via udara maka MAKI akan mengajukan uji materi dengan petitum 'ketentuan pelarangan import barang di bawah 100 dollar AS berlaku untuk semua jenis pengangkutan udara, laut dan darat'," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (8/9/2023).
MAKI menyatakan, memahami pelarangan tersebut adalah dalam rangka melindungi produk-produk UMKM sebagaimana rekomendasi dari Kementerian Koperasi dan UMKM. Prinsipnya MAKI mendukung perlindungan kepada UMKM sehingga mampu bersaing termasuk menyerap tenaga kerja lokal.
"Atas masih berlangsungnya importasi barang-barang di bawah 100 dolar AS melalui laut dan darat akan menjadikan harga barang sangat murah yang akibatnya lebih menghancurkan UMKM dalam negeri. Barang-barang importasi di bawah 100 dolar AS melalui laut dan darat dalam prakteknya dijual dalam platfon marketplace (penjualan online) dalam negeri sehingga harga makin murah. Importasi melalui udara dikarenakan biaya logistic mahal maka menjadikan harga lebih mahal dibandingkan importasi laut sehingga pelarangan hanya import barang via udara tidak cukup membantu UMKM," papar Boyamin.
Satu-satunya jalan, kata Boyamin, membantu UMKM adalah melarang secara tegas dan konsekuen importasi barang-barang dibawah 100 dolar AS melalui udara, laut dan darat.
"Pengangkutan barang impor tanpa proses resmi, seperti crossborder lewat udara, maka opsi lain adalah pengangkutan barang akan melalui importasi yg sulit diawasi dan sulit dikendalikan alias penyelundupan. Sebagai gambaran crossborder itu berbasis transportasi udara (air-freight) dan melibatkan ongkos (cost logistics) yg tinggi sehingga 10 dollar AS per kg dari awal pengangkufan (firstmile) hingga ke akhir pengangkutan (lastmile)," ungkap Boyamin.
Biaya logistik crossborder yang mahal menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual, dan biaya ini juga yang telah membuat pergeseran pola bisnis para penjual luar negeri. Pedagang dari luar negeri saat ini cenderung berkerjasama dengan penjual lokal melakukan importasi lewat laut (sea freight). Dan setiba barang di Indonesia maka kemudian dijual di platform lokal dengan harga murah sehingga justru ini yang mematikan bisnis UKM.
"Pada waktu terjadi pembatasan 18 jenis barang pada tahun 2020 oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan UKM sistem crossborder dan diantara 18 item tersebut termasuk busana muslim, faktanya di ecommerce lokal barang yang sama masih dijual sampai saat ini dan tidak dilarang, harganya jualnya pun jauh lebih murah dari harga crossborder (via udara), artinya tanpa crossborder barang itu tetap di-import karena tingginya permintaan, bahkan saat ini harga barang ex import itu bisa makin murah karena dikirim via laut (sea-freight) dan tentunya menjadi makin laris," ungkapnya.
Menurut Boyamin, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan UKM harus cermat membedakan antara crossborder dan barang import yang telah dijual lokalz di sinilah letak masalahnya yaitu presepsi crossborder adalah pembunuh umkm padahal sejatinya importasi tidak terkontrol atau black market adalah musuh utama umkm.
"Kebijakan pelarangan saja yg tidak di-iringi dng pengawasan tidak akan efektif, apalagi rencana mematikan crossborder yang transparan dan patuh pajak tentu akan secara tidak langsung mengarahkan semua importasi menjadi sulit dikontrol, dan cenderung ilegal, sejatinya musuh bersama penyebab bangkutnya umkm dan industri lain sejak dulu adalah importasi ilegal atau black market yang berakibat 'predatory pricing'," pungkasnya.
Saat ini, pemerintah sedang menggodok revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Pemerintah akan melarang penjualan barang impor sebesar di bawah USD 100 atau di bawah Rp 1,5 juta efektif hanya untuk produk yang dikirim secara cross border atau melalui perdagangan lintas batas.
"MAKI akan menempuh upaya Judicial Review (Uji Materi) ke Mahkamah Agung atas rencana perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 apabila hanya berlaku atau menitikberatkan pengangkutan barang melalui udara. Apabila rencana perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 tahun 2020 telah disahkan dan hanya mengatur pelarangan via udara maka MAKI akan mengajukan uji materi dengan petitum 'ketentuan pelarangan import barang di bawah 100 dollar AS berlaku untuk semua jenis pengangkutan udara, laut dan darat'," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (8/9/2023).
MAKI menyatakan, memahami pelarangan tersebut adalah dalam rangka melindungi produk-produk UMKM sebagaimana rekomendasi dari Kementerian Koperasi dan UMKM. Prinsipnya MAKI mendukung perlindungan kepada UMKM sehingga mampu bersaing termasuk menyerap tenaga kerja lokal.
"Atas masih berlangsungnya importasi barang-barang di bawah 100 dolar AS melalui laut dan darat akan menjadikan harga barang sangat murah yang akibatnya lebih menghancurkan UMKM dalam negeri. Barang-barang importasi di bawah 100 dolar AS melalui laut dan darat dalam prakteknya dijual dalam platfon marketplace (penjualan online) dalam negeri sehingga harga makin murah. Importasi melalui udara dikarenakan biaya logistic mahal maka menjadikan harga lebih mahal dibandingkan importasi laut sehingga pelarangan hanya import barang via udara tidak cukup membantu UMKM," papar Boyamin.
Satu-satunya jalan, kata Boyamin, membantu UMKM adalah melarang secara tegas dan konsekuen importasi barang-barang dibawah 100 dolar AS melalui udara, laut dan darat.
"Pengangkutan barang impor tanpa proses resmi, seperti crossborder lewat udara, maka opsi lain adalah pengangkutan barang akan melalui importasi yg sulit diawasi dan sulit dikendalikan alias penyelundupan. Sebagai gambaran crossborder itu berbasis transportasi udara (air-freight) dan melibatkan ongkos (cost logistics) yg tinggi sehingga 10 dollar AS per kg dari awal pengangkufan (firstmile) hingga ke akhir pengangkutan (lastmile)," ungkap Boyamin.
Biaya logistik crossborder yang mahal menjadikan hanya barang spesifik yang dapat dijual, dan biaya ini juga yang telah membuat pergeseran pola bisnis para penjual luar negeri. Pedagang dari luar negeri saat ini cenderung berkerjasama dengan penjual lokal melakukan importasi lewat laut (sea freight). Dan setiba barang di Indonesia maka kemudian dijual di platform lokal dengan harga murah sehingga justru ini yang mematikan bisnis UKM.
"Pada waktu terjadi pembatasan 18 jenis barang pada tahun 2020 oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan UKM sistem crossborder dan diantara 18 item tersebut termasuk busana muslim, faktanya di ecommerce lokal barang yang sama masih dijual sampai saat ini dan tidak dilarang, harganya jualnya pun jauh lebih murah dari harga crossborder (via udara), artinya tanpa crossborder barang itu tetap di-import karena tingginya permintaan, bahkan saat ini harga barang ex import itu bisa makin murah karena dikirim via laut (sea-freight) dan tentunya menjadi makin laris," ungkapnya.
Menurut Boyamin, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan UKM harus cermat membedakan antara crossborder dan barang import yang telah dijual lokalz di sinilah letak masalahnya yaitu presepsi crossborder adalah pembunuh umkm padahal sejatinya importasi tidak terkontrol atau black market adalah musuh utama umkm.
"Kebijakan pelarangan saja yg tidak di-iringi dng pengawasan tidak akan efektif, apalagi rencana mematikan crossborder yang transparan dan patuh pajak tentu akan secara tidak langsung mengarahkan semua importasi menjadi sulit dikontrol, dan cenderung ilegal, sejatinya musuh bersama penyebab bangkutnya umkm dan industri lain sejak dulu adalah importasi ilegal atau black market yang berakibat 'predatory pricing'," pungkasnya.
(akr)