Banyak Negara Disebut Terjebak Utang China, Mitos atau Fakta?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebagai pemberi pinjaman bilateral terbesar di dunia, China menghadapi tantangan dalam menghadapi masalah utang dari beberapa debiturnya di bawah Belt and Road Initiative . Apakah China dapat mendukung para debitur tersebut dan menghindari terjebak dalam utang yang tidak terbayar akan bergantung pada pilihan-pilihan kebijakannya.
Belt and Road Initiative telah memicu kritik dari beberapa negara Barat. Amerika Serikat (AS) tetap khawatir bahwa kebangkitan Tiongkok akan merusak nilai-nilai dan kepentingannya. Dugaan kurangnya transparansi dan syarat-syarat pinjaman yang mahal dari Belt and Road Initiative telah menjadi isu utama.
Narasi jebakan utang masih terus berlanjut meskipun penelitian terbaru menunjukkan bahwa ini adalah mitos yang tidak berdasar. Dikutip dari Asia Times, tidak ada pemenang dalam strategi jebakan utang, karena debitur, yang terjebak dengan utang yang tidak berkelanjutan, membuat krediturnya merugi.
Bangladesh berhutang 53% dari utang publik eksternal kepada kreditur multilateral dan hanya 7% kepada China. Sri Lanka berhutang 35% kepada pemegang obligasi internasional, sementara Laos berhutang 49% kepada China saja.
Memahami klaim debitur sangat penting untuk keberhasilan restrukturisasi utang ketika utang tersebut menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini terjadi pada beberapa negara Asia, seperti Sri Lanka yang mengumumkan penangguhan pembayaran utang pada April 2022 dan Laos yang masih mengalami kesulitan membayar utang.
Sri Lanka menerima pinjaman USD1,5 miliar dari China untuk pembangunan Pelabuhan Internasional Hambantota. Dalam kesepakatan utang tersebut, salah satu syaratnya adalah pemberian izin perusahaan konstruksi komunikasi China untuk melakukan pembangunan proyek tersebut.
Seiring berjalannya waktu, terjadi permasalahan internal di Sri Lanka, seperti korupsi dan tekanan politik dari Partai Komunis China. Hal ini mengakibatkan Sri Lanka terpaksa merelakan 99 tahun konsesi pengelolaan pelabuhan serta kepemilikan saham dominan sebesar 70 persen jatuh ke tangan China karena Sri Lanka gagal membayar utang.
Satu dekade lalu, Presiden China Xi Jinping menginisiasi proyek Belt and Road Initiative atau inisiatif sabuk dan jalan yang digadang-gadang akan menjadi Jalur Sutra Baru abad XXI.
Ada tiga ambisi dari proyek tersebut, yakni membangun inisiatif Jalur Sutra Ekonomi, Jalur Sutra Darat, dan Jalur Sutra Maritim meliputi Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik, Asia Selatan, serta Asia Tenggara. Melansir Asia Sentinel, negara-negara yang terjerat belitan utang seperti Uganda, Kenya, Sri Lanka, dan Pakistan.
The Belt On Road Initiative atau Klub Inisiatif Jalur Sutra berubah menjadi proyek penagihan utang bagi China. Puluhan negara menegosiasikan kembali pinjaman mereka kepada China.
Triliunan dolar menguap di jalur sutra karena banyak negara anggota yang tidak bisa membayar pinjaman. Bank-bank China menghadapi tekanan global untuk menegosiasikan ulang yang akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Seperti yang ditunjukkan oleh data tahunan yang dikompilasi oleh Rhodium Group berbasis AS, tingkat penegosiasian ulang, atau bahkan penghapusan utang, telah meningkat secara signifikan. Antara 2017 dan 2019, China menegosiasikan ulang atau menghapuskan utang senilai USD17 miliar.
Selanjutnya, antara 2020 dan Maret 2023, China menegosiasikan ulang atau menghapuskan pinjaman senilai USD78,5 miliar yang seharusnya diinvestasikan dalam proyek-proyek utama seperti jalan, kereta api, pelabuhan, bandara, dan lainnya.
China juga secara signifikan memotong laju pendanaan proyek-proyek Belt and Road Initiative, terutama karena krisis Covid-19 telah berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi global. Kebijakan negosiasi ulang atau penghapusan utang ini ditambah dengan kebijakan baru dengan memberikan pinjaman penyelamatan untuk membantu penerima Belt and Road Initiative menghindari kegagalan pembayaran utang.
Belt and Road Initiative telah memicu kritik dari beberapa negara Barat. Amerika Serikat (AS) tetap khawatir bahwa kebangkitan Tiongkok akan merusak nilai-nilai dan kepentingannya. Dugaan kurangnya transparansi dan syarat-syarat pinjaman yang mahal dari Belt and Road Initiative telah menjadi isu utama.
Narasi jebakan utang masih terus berlanjut meskipun penelitian terbaru menunjukkan bahwa ini adalah mitos yang tidak berdasar. Dikutip dari Asia Times, tidak ada pemenang dalam strategi jebakan utang, karena debitur, yang terjebak dengan utang yang tidak berkelanjutan, membuat krediturnya merugi.
Bangladesh berhutang 53% dari utang publik eksternal kepada kreditur multilateral dan hanya 7% kepada China. Sri Lanka berhutang 35% kepada pemegang obligasi internasional, sementara Laos berhutang 49% kepada China saja.
Memahami klaim debitur sangat penting untuk keberhasilan restrukturisasi utang ketika utang tersebut menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini terjadi pada beberapa negara Asia, seperti Sri Lanka yang mengumumkan penangguhan pembayaran utang pada April 2022 dan Laos yang masih mengalami kesulitan membayar utang.
Sri Lanka menerima pinjaman USD1,5 miliar dari China untuk pembangunan Pelabuhan Internasional Hambantota. Dalam kesepakatan utang tersebut, salah satu syaratnya adalah pemberian izin perusahaan konstruksi komunikasi China untuk melakukan pembangunan proyek tersebut.
Seiring berjalannya waktu, terjadi permasalahan internal di Sri Lanka, seperti korupsi dan tekanan politik dari Partai Komunis China. Hal ini mengakibatkan Sri Lanka terpaksa merelakan 99 tahun konsesi pengelolaan pelabuhan serta kepemilikan saham dominan sebesar 70 persen jatuh ke tangan China karena Sri Lanka gagal membayar utang.
Satu dekade lalu, Presiden China Xi Jinping menginisiasi proyek Belt and Road Initiative atau inisiatif sabuk dan jalan yang digadang-gadang akan menjadi Jalur Sutra Baru abad XXI.
Ada tiga ambisi dari proyek tersebut, yakni membangun inisiatif Jalur Sutra Ekonomi, Jalur Sutra Darat, dan Jalur Sutra Maritim meliputi Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Kepulauan Pasifik, Asia Selatan, serta Asia Tenggara. Melansir Asia Sentinel, negara-negara yang terjerat belitan utang seperti Uganda, Kenya, Sri Lanka, dan Pakistan.
The Belt On Road Initiative atau Klub Inisiatif Jalur Sutra berubah menjadi proyek penagihan utang bagi China. Puluhan negara menegosiasikan kembali pinjaman mereka kepada China.
Triliunan dolar menguap di jalur sutra karena banyak negara anggota yang tidak bisa membayar pinjaman. Bank-bank China menghadapi tekanan global untuk menegosiasikan ulang yang akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Seperti yang ditunjukkan oleh data tahunan yang dikompilasi oleh Rhodium Group berbasis AS, tingkat penegosiasian ulang, atau bahkan penghapusan utang, telah meningkat secara signifikan. Antara 2017 dan 2019, China menegosiasikan ulang atau menghapuskan utang senilai USD17 miliar.
Selanjutnya, antara 2020 dan Maret 2023, China menegosiasikan ulang atau menghapuskan pinjaman senilai USD78,5 miliar yang seharusnya diinvestasikan dalam proyek-proyek utama seperti jalan, kereta api, pelabuhan, bandara, dan lainnya.
China juga secara signifikan memotong laju pendanaan proyek-proyek Belt and Road Initiative, terutama karena krisis Covid-19 telah berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi global. Kebijakan negosiasi ulang atau penghapusan utang ini ditambah dengan kebijakan baru dengan memberikan pinjaman penyelamatan untuk membantu penerima Belt and Road Initiative menghindari kegagalan pembayaran utang.
(nng)