Mengintip Krisis Properti China: Terbelit Utang Rp180.000 Triliun hingga 3 Miliar Apartemen Hantu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Beberapa hari lalu Reuters menurunkan sebuah tulisan yang mengejutkan. Percaya atau tidak, jumlah apartemen kosong di China mencapai 3 miliar unit. Jumlah itu lebih dari dua kali lipat populasi Negeri Tirai Bambu yang sebanyak 1,4 miliar jiwa.
Jadi, jumlah penduduk China tak akan mampu mengisi semua hunian kosong yang berserakan di negara itu. Artinya, jumlah hunian atau apartemen yang dibangun di China melebihi jumlah penduduknya sendiri.
Kondisi itu jelas sungguh kontradiktif dengan negara-negara lain, semisal Indonesia. Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa backlog di Indonesia masih sebesar 12,1 juta unit.
Informasi soal jumlah apartemen di China meledak lantaran pasar properti negara itu tengah dibelit krisis, sebuah krisis yang dianggap jarang terjadi. Informasi itu diungkap oleh seorang mantan pejabat badan statistik dalam sebuah kritiknya.
Sektor properti China yang pernah menjadi pilar perekonomian telah merosot sejak tahun 2021 ketika raksasa real estate China Evergrande Group gagal membayar kewajiban utangnya menyusul pembatasan pinjaman baru. Utang Evergrande sendiri diperkirakan mencapai Rp5.000 triliun, mendekati dua kali lebih besar dari APBN Indonesia.
Pengembang ternama seperti Country Garden Holdings juga terus terhuyung-huyung, bahkan sampai hari ini mendekati default. Situasi itu membuat sentimen pembeli rumah tetap tertekan.
Analis Goldman Sachs memperkirakan utang properti China saat ini sebesar atau USD12 triliun atau setara Rp180.000 triliun. Bayangkan!! Angka itu setara 48% PDB China.
Data terbaru dari Biro Statistik Nasional China melaporkan, pada akhir Agustus total luas lantai rumah yang tidak terjual mencapai 648 juta m2. Jumlah tersebut setara dengan 7,2 juta rumah, berdasarkan rata-rata ukuran rumah sebesar 90 m2. Kalau ukurannya lebih kecil lagi, yaitu 36m2, maka jumlah mencapai 18 juta rumah.
Para ahli mememperkirakan, angka itu belum termasuk sejumlah proyek perumahan yang telah terjual namun belum selesai karena masalah arus kas. Pun beberapa rumah yang dibeli oleh spekulan pada kenaikan pasar terakhir di tahun 2016 yang masih kosong, yang secara keseluruhan merupakan sebagian besar rumah yang tidak terpakai.
“Berapa banyak rumah kosong yang ada saat ini? Masing-masing ahli memberikan angka yang berbeda-beda, dan yang paling ekstrim percaya bahwa jumlah rumah kosong saat ini cukup untuk 3 miliar orang,” kata He Keng, mantan Wakil Kepala Biro Statistik China.
“Perkiraan itu mungkin agak berlebihan, tetapi 1,4 miliar orang mungkin tidak dapat memenuhinya,” katanya di sebuah forum di Kota Dongguan, China selatan, menurut sebuah video yang dirilis oleh media resmi China News Service.
Berserakannya properti kosong di China memang tak lepas dari pertumbuhan ekonomi negara itu yang stabil setelah periode 1990, selalu di atas 7% bahkan sempat menyentuh 14% di 1992 dan 2007. Plus, target pemerintah daerah untuk menyediakan hunian dan properti menjadi ladangn investasi yang menguntungkan.
Seiring bubblenya properti di China adalah terkuaknya praktik shadow banking yang mulai meresahkan. Sektor properti di China terjebak dalam aktivitas shadow banking yang nilainya mencapai USD3 triliun, kira-kira sebesar ekonomi Inggris.
Kalau dirupiahkan setara Rp45.000 triliun (kurs Rp15.000). Bandingkan dengan total PDB Indonesia yang sebesar Rp19.000 triliun.
Praktik shadow banking begitu marak di properti China lantaran dalam beberapa tahun ke belakang pertumbuhannya luar biasa. Pemerintah daerah dan pengembang mencari celah untuk mendapatkan pendanaan karena Pusat membatasi bank dalam penyaluran kredit ke sektor properti.
Financial Review, pada 25 Agustus 2023 melaporkan, properti telah menjadi pendorong utama perekonomian China sejak negara tersebut membuka pasarnya dan mengadopsi kapitalisme pada tahun 1980an di bawah kepemimpinan mantan pemimpin Deng Xiaoping. Sebelumnya, warga negara China tidak memiliki hak atas tanah dan biasanya ditampung oleh majikan.
Booming properti dimulai pada tahun 1998 ketika China mengizinkan warganya untuk membeli dan menjual apartemen. Pada saat yang sama, terjadi migrasi massal dari pedesaan ke kota-kota besar sehingga menyebababkan permintaan properti yang tinggi. Pemerintah daerah tiba-tiba memperoleh keuntungan dari penjualan tanah dan mendorong pengembangan properti.
Seperti warga Australia, banyak warga China yang terobsesi dengan properti karena banyaknya kekayaan yang mereka peroleh di masa lalu seiring dengan melonjaknya harga properti. Apartemen kecil di kota-kota seperti Shanghai tiba-tiba bernilai sama dengan apartemen di Sydney, London atau New York meskipun upah rata-rata di kota-kota tersebut jauh di bawah upah rata-rata di negara-negara maju.
China merupakan salah satu negara dengan tingkat kepemilikan rumah terbesar di dunia. Data pemerintah menunjukkan angka ini mencapai 90% pada tahun 2020, dan properti menyumbang 70% kekayaan rumah tangga China.
Harga properti kemudian naik lebih dari enam kali dalam 15 tahun. Pada puncaknya, properti menyumbang 25% PDB China pada tahun 2020.
Lihat Juga: 5 Drama China Terpopuler pada November 2024, Rekomendasi Terbaik untuk Pecinta Serial Asia
Baca Juga
Jadi, jumlah penduduk China tak akan mampu mengisi semua hunian kosong yang berserakan di negara itu. Artinya, jumlah hunian atau apartemen yang dibangun di China melebihi jumlah penduduknya sendiri.
Kondisi itu jelas sungguh kontradiktif dengan negara-negara lain, semisal Indonesia. Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa backlog di Indonesia masih sebesar 12,1 juta unit.
Informasi soal jumlah apartemen di China meledak lantaran pasar properti negara itu tengah dibelit krisis, sebuah krisis yang dianggap jarang terjadi. Informasi itu diungkap oleh seorang mantan pejabat badan statistik dalam sebuah kritiknya.
Sektor properti China yang pernah menjadi pilar perekonomian telah merosot sejak tahun 2021 ketika raksasa real estate China Evergrande Group gagal membayar kewajiban utangnya menyusul pembatasan pinjaman baru. Utang Evergrande sendiri diperkirakan mencapai Rp5.000 triliun, mendekati dua kali lebih besar dari APBN Indonesia.
Pengembang ternama seperti Country Garden Holdings juga terus terhuyung-huyung, bahkan sampai hari ini mendekati default. Situasi itu membuat sentimen pembeli rumah tetap tertekan.
Analis Goldman Sachs memperkirakan utang properti China saat ini sebesar atau USD12 triliun atau setara Rp180.000 triliun. Bayangkan!! Angka itu setara 48% PDB China.
Data terbaru dari Biro Statistik Nasional China melaporkan, pada akhir Agustus total luas lantai rumah yang tidak terjual mencapai 648 juta m2. Jumlah tersebut setara dengan 7,2 juta rumah, berdasarkan rata-rata ukuran rumah sebesar 90 m2. Kalau ukurannya lebih kecil lagi, yaitu 36m2, maka jumlah mencapai 18 juta rumah.
Para ahli mememperkirakan, angka itu belum termasuk sejumlah proyek perumahan yang telah terjual namun belum selesai karena masalah arus kas. Pun beberapa rumah yang dibeli oleh spekulan pada kenaikan pasar terakhir di tahun 2016 yang masih kosong, yang secara keseluruhan merupakan sebagian besar rumah yang tidak terpakai.
“Berapa banyak rumah kosong yang ada saat ini? Masing-masing ahli memberikan angka yang berbeda-beda, dan yang paling ekstrim percaya bahwa jumlah rumah kosong saat ini cukup untuk 3 miliar orang,” kata He Keng, mantan Wakil Kepala Biro Statistik China.
“Perkiraan itu mungkin agak berlebihan, tetapi 1,4 miliar orang mungkin tidak dapat memenuhinya,” katanya di sebuah forum di Kota Dongguan, China selatan, menurut sebuah video yang dirilis oleh media resmi China News Service.
Berserakannya properti kosong di China memang tak lepas dari pertumbuhan ekonomi negara itu yang stabil setelah periode 1990, selalu di atas 7% bahkan sempat menyentuh 14% di 1992 dan 2007. Plus, target pemerintah daerah untuk menyediakan hunian dan properti menjadi ladangn investasi yang menguntungkan.
Seiring bubblenya properti di China adalah terkuaknya praktik shadow banking yang mulai meresahkan. Sektor properti di China terjebak dalam aktivitas shadow banking yang nilainya mencapai USD3 triliun, kira-kira sebesar ekonomi Inggris.
Kalau dirupiahkan setara Rp45.000 triliun (kurs Rp15.000). Bandingkan dengan total PDB Indonesia yang sebesar Rp19.000 triliun.
Praktik shadow banking begitu marak di properti China lantaran dalam beberapa tahun ke belakang pertumbuhannya luar biasa. Pemerintah daerah dan pengembang mencari celah untuk mendapatkan pendanaan karena Pusat membatasi bank dalam penyaluran kredit ke sektor properti.
Financial Review, pada 25 Agustus 2023 melaporkan, properti telah menjadi pendorong utama perekonomian China sejak negara tersebut membuka pasarnya dan mengadopsi kapitalisme pada tahun 1980an di bawah kepemimpinan mantan pemimpin Deng Xiaoping. Sebelumnya, warga negara China tidak memiliki hak atas tanah dan biasanya ditampung oleh majikan.
Booming properti dimulai pada tahun 1998 ketika China mengizinkan warganya untuk membeli dan menjual apartemen. Pada saat yang sama, terjadi migrasi massal dari pedesaan ke kota-kota besar sehingga menyebababkan permintaan properti yang tinggi. Pemerintah daerah tiba-tiba memperoleh keuntungan dari penjualan tanah dan mendorong pengembangan properti.
Seperti warga Australia, banyak warga China yang terobsesi dengan properti karena banyaknya kekayaan yang mereka peroleh di masa lalu seiring dengan melonjaknya harga properti. Apartemen kecil di kota-kota seperti Shanghai tiba-tiba bernilai sama dengan apartemen di Sydney, London atau New York meskipun upah rata-rata di kota-kota tersebut jauh di bawah upah rata-rata di negara-negara maju.
China merupakan salah satu negara dengan tingkat kepemilikan rumah terbesar di dunia. Data pemerintah menunjukkan angka ini mencapai 90% pada tahun 2020, dan properti menyumbang 70% kekayaan rumah tangga China.
Harga properti kemudian naik lebih dari enam kali dalam 15 tahun. Pada puncaknya, properti menyumbang 25% PDB China pada tahun 2020.
Lihat Juga: 5 Drama China Terpopuler pada November 2024, Rekomendasi Terbaik untuk Pecinta Serial Asia
(uka)