RPP Zat Adiktif Produk Tembakau Perlu Pertimbangkan Aspek Ekonomi

Senin, 02 Oktober 2023 - 18:30 WIB
loading...
RPP Zat Adiktif Produk Tembakau Perlu Pertimbangkan Aspek Ekonomi
RPP yang mengatur pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau perlu mempertimbangkan aspek ekonomi. FOTO/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pakar hukum internasional Prof. Hikmahanto Juwana berpendapat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagai aturan pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan perlu mempertimbangkan berbagai aspek.

Merujuk draf RPP yang beredar di publik, terdapat beberapa aturan untuk produk tembakau. Aturan ini di antaranya larangan iklan produk tembakau, larangan promosi dan sponsorship, larangan penjualan produk secara ketengan, larangan kegiatan CSR, larangan display produk, dan aturan kemasan minimal 20 batang/bungkus.



Hikmahanto menegaskan, jika draf RPP ini dipaksakan akan punya implikasi banyak terhadap berbagai peraturan lain baik yang setara atau turunannya. Akibatnya industri hasil tembakau (IHT) nasional bisa mati.

Lalu bagaimana dengan nasib petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada tembakau. Ia melanjutkan, apabila RPP ini disahkan akan marak penyelundupan hasil tembakau dari luar negeri dan rokok ilegal.

Belum lagi pemerintah harus mampu mengganti sumber pemasukan negara, yang jumlahnya berkisar 9%—13% dari total penerimaan pajak negara.

"Saya mensinyalir LSM luar negeri berada dibalik draf RPP Kesehatan. LSM ini sudah lama memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)," ujar Hikmahanto di Jakarta, Senin (2/10/2023).

Lebih lanjut, Hikmahanto mengatakan Pemerintah sudah tepat untuk tidak meratifikasi FCTC, namun sebagai kompromi pemerintah diminta untuk mengadopsi poin-poin FCTC dalam draf RPP tanpa memberikan solusi nyata.

"Poin-poin FCTC yang diadopsi akan berdampak negatif pada perekonomian negara dan masyarakat luas," imbuhnya

Menurut Prof. Hikmahanto, kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kemandirian pemerintah selayaknya secara mandiri mengambil kebijakan yang dibutuhkan. Pasalnya, pemerintah Indonesia lah yang paling tahu kondisi Indonesia. Bukan pemerintah negara lain, terlebih lagi LSM dari luar negeri.

"Ini yang ditegaskan oleh Bapak Presiden bahwa kita tidak mau hanya sekedar ikut-ikutan trend, kita harus betul-betul melihat kepentingan nasional Indonesia," tegas Hikmahanto.



Hikmahanto menjelaskan, saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja. Dalam kasus pembahasan draf RPP, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek ekonomi seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor IHT nasional, hingga penerimaan negara.

Lebih lanjut, Hikmahanto menegaskan, isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan.

Menurutnya, draf RPP ini tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan, namun merupakan titik temu berbagai kepentingan. Maka itu, kementerian/lembaga terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif.

"Selain itu, naskah akademik RPP sebagai dasar revisi harus dibuka ke publik untuk mendapatkan masukan," imbuhnya.

Polemik berkepanjangan draf RPP yang menguras energi pemerintah semestinya tidak perlu terjadi. Untuk itu sebagai bangsa yang berdaulat penting untuk kita mampu mengambil sikap dan tidak tunduk kepada desakan lembaga asing yang memiliki kepentingan atas draf RPP ini.

Prof. Hikmahanto mengingatkan, secara umum hukum internasional melarang suatu negara atau pihak asing lainnya untuk campur tangan dalam urusan negara lain. Namun kerap kepentingan tersebut dititpkan oleh para proxy di suatu negara.

Ia menegaskan, pemerintah Indonesia selalu diawasi oleh masyarakatnya. Rakyat berdaulat dan merekalah pemilik suara di negeri ini. Suara rakyat wajib didengar oleh Pemerintah Indonesia, utamanya mereka yang hajat hidupnya bergantung pada IHT.

"Oleh karenanya tidak ada tempat bagi siapapun di luar Indonesia yang dapat mendikte pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan, termasuk memaksakan draf RPP yang menjadi polemik ini," pungkasnya.
(nng)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1938 seconds (0.1#10.140)