Dedolarisasi BRICS Terancam Jadi Pepesan Kosong, Penyebabnya dari Dalam Sendiri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Langkah dedolarisasi yang digemakan BRICS bisa terancam jadi pepesan kosong. Paling bagus, meski terlaksana tak akan sekencang gaungnya.
Sumber ancaman dedolarisasi itu bukan dari Amerika dan sekutunya, tapi dari dalam kelompok negara-negara berkembang itu sendiri. Apakah sumber malapetaka dedolarisasi oleh BRICS?
Mengutip Businessinsider, Rabu (4/10/2023), penyebab terhambatnya dedolarisasi adalah hubungan antara China dan Inda, dua dedengkot BRICS karena memiliki skala ekonomi paling jumbo di antara anggota yang lain.
“Anda bahkan tidak bisa menempatkan India dan China dalam satu ruangan. Jadi pernyataan mereka akan berkomitmen pada mata uang bersama dan mengabaikan kebijakan moneter dalam negeri mereka sendiri adalah hal yang gila,” kata Jim O'Neill kepada Insider.
Jim O'Neill adalah mantan kepala ekonom Goldman Sachs yang mencetuskan akronim BRIC pada tahun 2001. Afrika Selatan (South Africa) sendiri baru bergabung pada 2010.
O'Neill menambahkan, China dan India adalah pemain terbesar dalam BRICS. Jadi jika keduanya tidak mencapai titik temu, sulit untuk mewujudkan mata uang bersama.
Menurut IMF, China adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, memiliki PDB USD19,4 triliun. Sementara, India merupakan negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia, dengan PDB USD3,7 triliun.
Meski saat ini masih kalah, ada sedikit indikasi bahwa PDB India akan melampaui China dalam lima dekade mendatang. Tidak dapat disangkal bahwa dua negara emerging market terbesar di dunia itu merupakan rival yang sengit.
India telah menyalip China tahun ini sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Penduduk India mencapai 1.426.409.584, sedangkan China 1.425.731.257.
Sebagai negara besar dengan populasi muda--usia rata-rata adalah 28 tahun--India merupakan daya tarik yang kuat bagi perusahaan yang ingin mendiversifikasi risiko mereka di luar China, yang telah menjadi pabrik dunia selama 40 tahun.
Abishur Prakash, pendiri The Geopolitik Business (sebuah firma penasihat yang berbasis di Toronto, Kanada) melengkapi, di antara lima anggota BRICS, “masalah terbesar” adalah perselisihan India-China. Menurutnya, kedua negara akan saling menunjukkan superioritasnya.
"Sangat tidak mungkin salah satu negara akan bergantung pada mata uang yang didominasi oleh pihak lain," kata Prakash.
Sejumlah analis lain juga menggambarkan hubungan antara China dan India sedang tegang. Hubungan keduanya sebagai 'titik lemah' di blok BRICS.
Memang, Beijing dan New Delhi tampak aktif terlibat satu sama lain, namun sejatinya hubungan kedua negara tersebut "bak sandiwara", karena yang terjadi sesungguhnya adalah ketegangan. Singkatnya, mereka tampak seperti musuh.
Hubungan China dan India sudah terjalin sejak berabad-abad yang lalu, namun keduanya pernah terlibat dalam sengketa wilayah di sepanjang perbatasan Himalaya dalam sejarah kontemporer, dan bahkan terlibat perang pada tahun 1962. Meskipun beberapa dekade terakhir lebih bersahabat, namun konflik keduanya kembali memanas sejak 2020 di tengah sengketa perbatasan dan meningkatnya nasionalisme di China dan India.
Kedua belah pihak berupaya berbaikan pada Agustus di KTT BRICS di Johannesburg, ketika Xi Jinping dan Narendra Modi sepakat untuk mengurangi ketegangan di perbatasan yang disengketakan.
Sayangnya, sebulan kemudian, hubungan tersebut kembali dipertanyakan ketika Xi Jinping tak nongol di KTT G20 New Delhi--pertama kalinya sejak tahun 2008 ketika Xi tidak menghadiri konferensi tersebut. Beijing tidak menjelaskan ketidakhadiran Xi, dan Perdana Menteri Li Qiang malah memimpin delegasi China.
Lalu bagaimana dengan mata uang BRICS? Menciptakan mata uang bersama tidaklah mudah, dan negara-negara BRICS yang beragam harus bersatu dalam beberapa isu, termasuk pembentukan bank sentral dan penghapusan mata uang mereka secara bertahap.
Euro memerlukan waktu persiapan puluhan tahun di Eropa, dan penggunaan mata uang tersebut secara global juga masih kalah dibandingkan dolar. Pada Agustus, greenback menyumbang 48% pembayaran global melalui sistem pesan SWIFT, jauh lebih tinggi dibandingkan euro yang hanya 23%.
KTT BRICS baru-baru ini juga berakhir tanpa adanya mata uang baru dan kelima anggota mengeluarkan komentar yang kontradiktif mengenai de-dolarisasi. Tampaknya hanya Rusia dan Brasil yang benar-benar mendorong mata uang bersama BRICS. China belum mengomentari gagasan tersebut, sementara India dan Afrika Selatan mengatakan isu itu tidak ada dalam agenda KTT.
Mata uang BRICS, jika memang terjadi hanya memiliki kegunaan yang sempit. Amitendu Palit, kepala peneliti ekonomi di National University of Singapore, mengatakan ada permasalahan lebih besar yang menghalangi mata uang BRICS. Di antaranya, lingkungan peraturan yang beragam dan mata uang semua anggotanya tidak dapat dengan mudah diperdagangkan di pasar valuta asing.
Mengenai perbedaan politik, Palit berpendapat bahwa setiap negara pada akhirnya bersifat rasional. "Baik China maupun India sadar bahwa mereka adalah pesaing,” kata Palit.
Sumber ancaman dedolarisasi itu bukan dari Amerika dan sekutunya, tapi dari dalam kelompok negara-negara berkembang itu sendiri. Apakah sumber malapetaka dedolarisasi oleh BRICS?
Mengutip Businessinsider, Rabu (4/10/2023), penyebab terhambatnya dedolarisasi adalah hubungan antara China dan Inda, dua dedengkot BRICS karena memiliki skala ekonomi paling jumbo di antara anggota yang lain.
“Anda bahkan tidak bisa menempatkan India dan China dalam satu ruangan. Jadi pernyataan mereka akan berkomitmen pada mata uang bersama dan mengabaikan kebijakan moneter dalam negeri mereka sendiri adalah hal yang gila,” kata Jim O'Neill kepada Insider.
Jim O'Neill adalah mantan kepala ekonom Goldman Sachs yang mencetuskan akronim BRIC pada tahun 2001. Afrika Selatan (South Africa) sendiri baru bergabung pada 2010.
O'Neill menambahkan, China dan India adalah pemain terbesar dalam BRICS. Jadi jika keduanya tidak mencapai titik temu, sulit untuk mewujudkan mata uang bersama.
Menurut IMF, China adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, memiliki PDB USD19,4 triliun. Sementara, India merupakan negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia, dengan PDB USD3,7 triliun.
Meski saat ini masih kalah, ada sedikit indikasi bahwa PDB India akan melampaui China dalam lima dekade mendatang. Tidak dapat disangkal bahwa dua negara emerging market terbesar di dunia itu merupakan rival yang sengit.
India telah menyalip China tahun ini sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Penduduk India mencapai 1.426.409.584, sedangkan China 1.425.731.257.
Sebagai negara besar dengan populasi muda--usia rata-rata adalah 28 tahun--India merupakan daya tarik yang kuat bagi perusahaan yang ingin mendiversifikasi risiko mereka di luar China, yang telah menjadi pabrik dunia selama 40 tahun.
Abishur Prakash, pendiri The Geopolitik Business (sebuah firma penasihat yang berbasis di Toronto, Kanada) melengkapi, di antara lima anggota BRICS, “masalah terbesar” adalah perselisihan India-China. Menurutnya, kedua negara akan saling menunjukkan superioritasnya.
"Sangat tidak mungkin salah satu negara akan bergantung pada mata uang yang didominasi oleh pihak lain," kata Prakash.
Sejumlah analis lain juga menggambarkan hubungan antara China dan India sedang tegang. Hubungan keduanya sebagai 'titik lemah' di blok BRICS.
Memang, Beijing dan New Delhi tampak aktif terlibat satu sama lain, namun sejatinya hubungan kedua negara tersebut "bak sandiwara", karena yang terjadi sesungguhnya adalah ketegangan. Singkatnya, mereka tampak seperti musuh.
Hubungan China dan India sudah terjalin sejak berabad-abad yang lalu, namun keduanya pernah terlibat dalam sengketa wilayah di sepanjang perbatasan Himalaya dalam sejarah kontemporer, dan bahkan terlibat perang pada tahun 1962. Meskipun beberapa dekade terakhir lebih bersahabat, namun konflik keduanya kembali memanas sejak 2020 di tengah sengketa perbatasan dan meningkatnya nasionalisme di China dan India.
Kedua belah pihak berupaya berbaikan pada Agustus di KTT BRICS di Johannesburg, ketika Xi Jinping dan Narendra Modi sepakat untuk mengurangi ketegangan di perbatasan yang disengketakan.
Sayangnya, sebulan kemudian, hubungan tersebut kembali dipertanyakan ketika Xi Jinping tak nongol di KTT G20 New Delhi--pertama kalinya sejak tahun 2008 ketika Xi tidak menghadiri konferensi tersebut. Beijing tidak menjelaskan ketidakhadiran Xi, dan Perdana Menteri Li Qiang malah memimpin delegasi China.
Lalu bagaimana dengan mata uang BRICS? Menciptakan mata uang bersama tidaklah mudah, dan negara-negara BRICS yang beragam harus bersatu dalam beberapa isu, termasuk pembentukan bank sentral dan penghapusan mata uang mereka secara bertahap.
Euro memerlukan waktu persiapan puluhan tahun di Eropa, dan penggunaan mata uang tersebut secara global juga masih kalah dibandingkan dolar. Pada Agustus, greenback menyumbang 48% pembayaran global melalui sistem pesan SWIFT, jauh lebih tinggi dibandingkan euro yang hanya 23%.
KTT BRICS baru-baru ini juga berakhir tanpa adanya mata uang baru dan kelima anggota mengeluarkan komentar yang kontradiktif mengenai de-dolarisasi. Tampaknya hanya Rusia dan Brasil yang benar-benar mendorong mata uang bersama BRICS. China belum mengomentari gagasan tersebut, sementara India dan Afrika Selatan mengatakan isu itu tidak ada dalam agenda KTT.
Mata uang BRICS, jika memang terjadi hanya memiliki kegunaan yang sempit. Amitendu Palit, kepala peneliti ekonomi di National University of Singapore, mengatakan ada permasalahan lebih besar yang menghalangi mata uang BRICS. Di antaranya, lingkungan peraturan yang beragam dan mata uang semua anggotanya tidak dapat dengan mudah diperdagangkan di pasar valuta asing.
Mengenai perbedaan politik, Palit berpendapat bahwa setiap negara pada akhirnya bersifat rasional. "Baik China maupun India sadar bahwa mereka adalah pesaing,” kata Palit.
(uka)