Program Bagi-bagi Rice Cooker Dinilai Malah Bebani Warga Miskin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai program bagi-bagi alat masak listrik (AML) atau rice cooker yang dilakukan Kementerian ESDM tidak masuk akal. Apalagi dilakukan ketika harga beras sedang mahal.
"Jadi bantuan AML ini pemborosan anggaran, orang masalahnya lagi krisis beras (malah) dikasih AML," tegasnya ketika dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (10/10/2023).
Dikatakan Bhima, kalaupun program ini untuk menyerap kelebihan pasokan listrik, maka upaya itu tidak tepat sasaran. Menurutnya, solusi terbaik yaitu penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, bukan dengan mendorong transisi ke AML.
"Kenapa? Karena ini sebuah langkah pemborosan. Dari sisi RT (rumah tangga), mereka sebenernya masyarakat miskin terbiasa memasak menggunakan LPG 3kg, terus ketika didorong untuk pindah ke rice cooker, timbul pertanyaan yaitu alat masak yang ada berarti tidak terpakai karena ada rice cooker?" tuturnya.
Bhima menambahkan, apabila rice cooker itu mengalami kerusakan, apakah pemerintah menyedikan sparepart dari alat tersebut. Sehingga menurutnya, masyarakat miskin tetap harus menyiapkan uang lebih lantaran hanya pindah dari yang sebelumnya pakai LPG ke listrik.
"Jadi sama sekali ini tidak menyelesaikan masalah apa pun sebenarnya. Soal masalah transisi energi juga tidak dapat. Malah menambah beban pengeluaran baru bagi RT miskin meskipun awalnya diberikan secara cuma-cuma. Jadi konyol sebenarnya kebijakan ini," tegasnya.
Selain penutupan PLTU, Bhima pun menilai, langkah yang harusnya dilakukan pemerintah yaitu melakukan pengetatan subsidi LPG yang sejatinya hanya untuk masyarakat miskin. Saat ini masih banyak restoran atau masyarakat menengah ke atas yang menggunakan gas melon tersebut.
"Itu yang harusnya kemudian dilakukan punishment atau sanksi karena dia sudah melanggar ketentuan penggunaan subsidi LPG 3 kg. (Jadi) logika saya tidak dapat karena orang miskin yang akan dikasih AML itu mereka selama ini memang berhak menggunakan LPG 3 kg, mau diubah kemana lagi? Ngapain harus punya alat listrik baru lagi? Toh mereka bukan tidak tepat sasaran kan?" jelasnya.
Menurut Bhima, akan lebih baik apabila pemerintah dapat mengubah kebiasaan masyarakar menengah ke atas yang masih menggunakan LPG 3kg. "Jadi banyak kebijakan yang harusnya diselesaikan di hulu, tapi sekarang ini justru pemerintah mencoba menyelesaikan masalah-msalah kecil di hilir," pungkasnya.
"Jadi bantuan AML ini pemborosan anggaran, orang masalahnya lagi krisis beras (malah) dikasih AML," tegasnya ketika dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (10/10/2023).
Dikatakan Bhima, kalaupun program ini untuk menyerap kelebihan pasokan listrik, maka upaya itu tidak tepat sasaran. Menurutnya, solusi terbaik yaitu penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, bukan dengan mendorong transisi ke AML.
"Kenapa? Karena ini sebuah langkah pemborosan. Dari sisi RT (rumah tangga), mereka sebenernya masyarakat miskin terbiasa memasak menggunakan LPG 3kg, terus ketika didorong untuk pindah ke rice cooker, timbul pertanyaan yaitu alat masak yang ada berarti tidak terpakai karena ada rice cooker?" tuturnya.
Bhima menambahkan, apabila rice cooker itu mengalami kerusakan, apakah pemerintah menyedikan sparepart dari alat tersebut. Sehingga menurutnya, masyarakat miskin tetap harus menyiapkan uang lebih lantaran hanya pindah dari yang sebelumnya pakai LPG ke listrik.
"Jadi sama sekali ini tidak menyelesaikan masalah apa pun sebenarnya. Soal masalah transisi energi juga tidak dapat. Malah menambah beban pengeluaran baru bagi RT miskin meskipun awalnya diberikan secara cuma-cuma. Jadi konyol sebenarnya kebijakan ini," tegasnya.
Selain penutupan PLTU, Bhima pun menilai, langkah yang harusnya dilakukan pemerintah yaitu melakukan pengetatan subsidi LPG yang sejatinya hanya untuk masyarakat miskin. Saat ini masih banyak restoran atau masyarakat menengah ke atas yang menggunakan gas melon tersebut.
"Itu yang harusnya kemudian dilakukan punishment atau sanksi karena dia sudah melanggar ketentuan penggunaan subsidi LPG 3 kg. (Jadi) logika saya tidak dapat karena orang miskin yang akan dikasih AML itu mereka selama ini memang berhak menggunakan LPG 3 kg, mau diubah kemana lagi? Ngapain harus punya alat listrik baru lagi? Toh mereka bukan tidak tepat sasaran kan?" jelasnya.
Menurut Bhima, akan lebih baik apabila pemerintah dapat mengubah kebiasaan masyarakar menengah ke atas yang masih menggunakan LPG 3kg. "Jadi banyak kebijakan yang harusnya diselesaikan di hulu, tapi sekarang ini justru pemerintah mencoba menyelesaikan masalah-msalah kecil di hilir," pungkasnya.
(uka)