Pandemi, Bikin Bisnis Buku Ajar Kian Berat di Awal Tahun Ajaran Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Rosidayati Rozalina mengatakan, usaha penerbitan buku ajar sekolah akan semakin berat di tengah kebijakan belajar online . Menurutnya, penerbit buku yang melengkapi bukunya dengan konten digital akan diuntungkan. Bagaimanapun, guru tetap membutuhkan buku dalam proses belajar mengajar.
"Kami belum pernah melakukan survei khusus tentang ini. Secara logikanya penerbit tidak diuntungkan. Kecuali penerbit buku yang memiliki konten digital," ujar Rosidayatidi Jakarta (4/8/2020).
Senada, Wakil Ketua Umum IKAPI Djadja Subagja juga mengatakan, pihaknya belum dapat menjelaskan secara detail soal tren penjualan buku pendidikan di masa covid ini. Karena belum dilakukan survei lagi kepada para penerbit.
"Namun tentu ada pengurangan omzet, terkait keterbatasan dalam berpromosi. Saat ini yang dapat dilakukan para penerbit hanya promosi secara daring," ujar Djadja. ( Baca juga:Perlu Konten Digital Buku Sekolah Tahun Ajaran Baru )
Lebih lanjut dia juga mengatakan, yang dibutuhkan bukan insentif buku digital, tapi pembinaan SDM editorial. Tujuannya demi bisa menghasilkan konten digital yang memperkaya buku cetak.
"Kebutuhan saat ini pembinaan SDM editorial agar mampu menghasilkan konten digital," ujarnya.
Mengenai harga buku ajar dirinya menjelaskan harga akan mengikuti mutu buku. Karena itu masyarakat jangan bermimpi bisa menghasilkan buku bermutu tapi murah.
Secara regulasi dia menyebutkan dibutuhkan ekosistem perbukuan. Dalam UU Sistem Perbukuan, sudah diatur tentang ekosistem perbukuan. Ekosistem ini komponennya adalah 10 pelaku perbukuan yang disebut di UU tersebut.
"Kesepuluh pelaku perbukuan ini harus hidup agar ekosistemnya berjalan sehat," ujar dia.
Ada sebuah prinsip yang dianut oleh International Publishers Association (IPA) terkait kelangsungan hidup para pelaku perbukuan dengan kebutuhan masyarakat akan buku yang terjangkau.
Prinsip ini kurang lebih mengatakan bahwa penulis dan penerbit berhak atas hak moral dan hak ekonomi atas buku yang ditulis dan diterbitkannya. Namun masyarakat juga memiliki hak untuk mengakses informasi dan pengetahuan dari buku.
"Solusinya adalah perpustakaan. Harga buku tidak hanya dihitung dari biaya cetak. Ada nilai pengkreasian dan nilai bisnis dalam sebuah buku," ujarnya.
Dengan demikian beban negara disebutnya juga lebih ringan. Karena pemerintah cukup menyediakan buku bagi mereka yang tidak memiliki kelebihan finansial saja.
"Masyarakat yang mampu, tentu saja tidak akan kesulitan membeli buku. Nah, bagi yang tidak berkecukupan, dapat meminjam dari perpustakaan," ujarnya.
"Kami belum pernah melakukan survei khusus tentang ini. Secara logikanya penerbit tidak diuntungkan. Kecuali penerbit buku yang memiliki konten digital," ujar Rosidayatidi Jakarta (4/8/2020).
Senada, Wakil Ketua Umum IKAPI Djadja Subagja juga mengatakan, pihaknya belum dapat menjelaskan secara detail soal tren penjualan buku pendidikan di masa covid ini. Karena belum dilakukan survei lagi kepada para penerbit.
"Namun tentu ada pengurangan omzet, terkait keterbatasan dalam berpromosi. Saat ini yang dapat dilakukan para penerbit hanya promosi secara daring," ujar Djadja. ( Baca juga:Perlu Konten Digital Buku Sekolah Tahun Ajaran Baru )
Lebih lanjut dia juga mengatakan, yang dibutuhkan bukan insentif buku digital, tapi pembinaan SDM editorial. Tujuannya demi bisa menghasilkan konten digital yang memperkaya buku cetak.
"Kebutuhan saat ini pembinaan SDM editorial agar mampu menghasilkan konten digital," ujarnya.
Mengenai harga buku ajar dirinya menjelaskan harga akan mengikuti mutu buku. Karena itu masyarakat jangan bermimpi bisa menghasilkan buku bermutu tapi murah.
Secara regulasi dia menyebutkan dibutuhkan ekosistem perbukuan. Dalam UU Sistem Perbukuan, sudah diatur tentang ekosistem perbukuan. Ekosistem ini komponennya adalah 10 pelaku perbukuan yang disebut di UU tersebut.
"Kesepuluh pelaku perbukuan ini harus hidup agar ekosistemnya berjalan sehat," ujar dia.
Ada sebuah prinsip yang dianut oleh International Publishers Association (IPA) terkait kelangsungan hidup para pelaku perbukuan dengan kebutuhan masyarakat akan buku yang terjangkau.
Prinsip ini kurang lebih mengatakan bahwa penulis dan penerbit berhak atas hak moral dan hak ekonomi atas buku yang ditulis dan diterbitkannya. Namun masyarakat juga memiliki hak untuk mengakses informasi dan pengetahuan dari buku.
"Solusinya adalah perpustakaan. Harga buku tidak hanya dihitung dari biaya cetak. Ada nilai pengkreasian dan nilai bisnis dalam sebuah buku," ujarnya.
Dengan demikian beban negara disebutnya juga lebih ringan. Karena pemerintah cukup menyediakan buku bagi mereka yang tidak memiliki kelebihan finansial saja.
"Masyarakat yang mampu, tentu saja tidak akan kesulitan membeli buku. Nah, bagi yang tidak berkecukupan, dapat meminjam dari perpustakaan," ujarnya.
(uka)