Dolar AS Berjaya Dekati Level Tertinggi 11 Bulan, Rupiah Loyo di Rp15.730/USD
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) untuk kesekian kalinya terus melemah, dimana pada sesi perdagangan tengah pekan ini masih sulit keluar dari zona merah. Kurs rupiah hari ini jatuh 14 poin ke level Rp15.730 setelah sebelumnya sempat menguat tipis Rp15.716/USD.
Pelemahan rupiah juga terlihat pada data terbaru JISDOR BI, dimana hari ini masih berkutat di level Rp15.731 per USD. Pergerakan mata uang Garuda terus merosot, apabila dibandingkan dengan sesi sebelumnya Rp15.718/USD.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS sedikit melemah, namun tetap mendekati posisi puncak dalam 11 bulan setelah ekonomi China lebih baik dari perkiraan. Ditambah serta data yang dirilis semalam menunjukkan penjualan ritel AS tumbuh.
"Namun, ledakan di sebuah rumah sakit di Gaza membuat pergerakan tidak terlalu besar dan para pedagang khawatir akan kemungkinan konflik yang semakin meluas. Presiden AS Joe Biden dijadwalkan mengunjungi Israel pada hari Rabu, Shekel disematkan pada sisi yang lebih lemah yaitu 4 terhadap dolar," tulis Ibrahim dalam risetnya, Rabu (18/10/2023).
Hal ini yang menjadi sorotan adalah arah kebijakan The Fed minggu ini, terutama saat Ketua Jerome Powell bakal berpidato pada hari Kamis, waktu setempat. Pasar tetap mewaspadai sinyal hawkish dari Powell, setelah ia mengisyaratkan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama pada pertemuan The Fed di bulan September.
Di asia, data resmi menunjukkan perekonomian China tumbuh 1,3% pada kuartal ketiga, meningkat dari 0,5% pada kuartal sebelumnya dan melampaui perkiraan pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 1%. Output industri meningkat dan pengangguran menurun.
Dari sisi internal, para ekonom memperkirakan neraca transaksi berjalan Indonesia akan mencatat defisit sebesar 0,65 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023, dibandingkan dengan surplus 0,99 persen dari PDB tahun 2022.
Neraca transaksi berjalan deposit disebabkan karena kinerja ekspor hingga akhir tahun diperkirakan akan terus menurun akibat harga komoditas yang rendah. Selain itu juga didorong oleh permintaan global yang belum kuat, di tengah inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga kebijakan yang sedang berlangsung.
Pelemahan rupiah juga terlihat pada data terbaru JISDOR BI, dimana hari ini masih berkutat di level Rp15.731 per USD. Pergerakan mata uang Garuda terus merosot, apabila dibandingkan dengan sesi sebelumnya Rp15.718/USD.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS sedikit melemah, namun tetap mendekati posisi puncak dalam 11 bulan setelah ekonomi China lebih baik dari perkiraan. Ditambah serta data yang dirilis semalam menunjukkan penjualan ritel AS tumbuh.
"Namun, ledakan di sebuah rumah sakit di Gaza membuat pergerakan tidak terlalu besar dan para pedagang khawatir akan kemungkinan konflik yang semakin meluas. Presiden AS Joe Biden dijadwalkan mengunjungi Israel pada hari Rabu, Shekel disematkan pada sisi yang lebih lemah yaitu 4 terhadap dolar," tulis Ibrahim dalam risetnya, Rabu (18/10/2023).
Hal ini yang menjadi sorotan adalah arah kebijakan The Fed minggu ini, terutama saat Ketua Jerome Powell bakal berpidato pada hari Kamis, waktu setempat. Pasar tetap mewaspadai sinyal hawkish dari Powell, setelah ia mengisyaratkan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama pada pertemuan The Fed di bulan September.
Di asia, data resmi menunjukkan perekonomian China tumbuh 1,3% pada kuartal ketiga, meningkat dari 0,5% pada kuartal sebelumnya dan melampaui perkiraan pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 1%. Output industri meningkat dan pengangguran menurun.
Dari sisi internal, para ekonom memperkirakan neraca transaksi berjalan Indonesia akan mencatat defisit sebesar 0,65 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023, dibandingkan dengan surplus 0,99 persen dari PDB tahun 2022.
Neraca transaksi berjalan deposit disebabkan karena kinerja ekspor hingga akhir tahun diperkirakan akan terus menurun akibat harga komoditas yang rendah. Selain itu juga didorong oleh permintaan global yang belum kuat, di tengah inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga kebijakan yang sedang berlangsung.