Penyelesaian Kasus Kebakaran Lahan Salah Alamat

Minggu, 03 September 2017 - 15:20 WIB
Penyelesaian Kasus Kebakaran Lahan Salah Alamat
Penyelesaian Kasus Kebakaran Lahan Salah Alamat
A A A
JAKARTA - Hingga saat ini, kebakaran lahan masih didominasi oleh persoalan sosial di tengah masyarakat. Kebakaran yang menghanguskan 4.600 hektare sabana di Kupang, Nusa Tenggara Timur akibat tradisi masyarakat membakar lahan untuk mendapatkan rumput hijau bagi ternak. Dan kebakaran di sejumlah daerah lain dengan mengatasnamakan kearifan lokal, seharusnya bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah.

Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham mengingatkan, pemerintah perlu menyadari bahwa ada sejumlah regulasi yang salah alamat yakni mengaitkan kebakaran dengan persoalan lahan, terutama gambut.

“Seharusnya yang diselesaikan adalah persoalan sosial yakni bagaimana negara hadir untuk membantu kesejahteraan masyarakat agar persoalan kebakaran bisa terselesaikan,” kata Supiandi di Jakarta, Minggu (3/9).

Supiandi mengingatkan, pemerintah seharusnya secara tegas memberlakukan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Melarang Membakar. Penegasan itu ada dalam pasal 69 ayat (1) huruf h. Hanya disayangkan, pada ayat 2 memuat pasal karet yang membuka peluang untuk melakukan pembakaran dalam membuka lahan.

"Ketentuan diatur pada ayat (1) huruf h yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal didaerah masing-masing".

Supiandi berpendapat, bila ingin tetap memberlakukan kearifan lokal, seharusnya negara hadir dalam mengawasi kegiatan masyarakat. Malaysia juga memberlakukan kearifan lokal membuka lahan dengan cara membakar. Hanya saja, kegiatan itu dilaporkan dan diawasi negara sehingga api tidak meluas dan mengakibatkan kebakaran.

"Bayangkan jika ada seribu kepala keluarga maka ada 2.000 ha lahan dibakar dan berpotensi menjadi bencana kebakaran akibat tidak adanya kontrol pemerintah dan kemampuan masyarakat memadamkan api," katanya.

Lebih disayangkan lagi, ketika bencana sudah terjadi, penerapan aturan strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam UU 32/2009 hanya ditimpakan kepada satu pihak yakni korporasi. Padahal, seharusnya menjaga konsesi merupakan tanggung jawab yang sama.

Kesiagaan korporasi sawit dan HTI menetapkan desa bebas api seharusnya bisa menjadi contoh bahwa tanggung jawab pengawasan ada pada semua pihak.

"Di situ ada korporasi, masyarakat, pemerintah daerah yang bahu membahu punya tanggung jawab bersama untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan,” kata Supiandi.

Ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chaerul Huda mengatakan, pemahaman tanggung jawab adalah kelanjutan dari perbuatan. Tanggung jawab mutlak bisa diberlakukan bagi korporasi jika kebakaran itu diakibatkan oleh kegiatan korporasi dan memberi keuntungan pada korporasi. "Jadi yang bisa dipertanggung jawabkan adalah perbuatan,” kata Huda.

Kalau peristiwa itu disebabkan oleh sebab lain misalnya ada masyarakat yang memancing disekitar kawasan konsesi korporasi dan tanpa sengaja menjatuhkan puntung rokok sehingga mengakibatkan kebakaran hal ini tidak bisa menjadi tanggung jawab korporasi.

Pemahaman keliru juga terjadi ketika api dari konsesi masyarakat merembet ke konsesi korporasi. Pada satu sisi, korporasi telah berjibaku untuk memadamkan api, namun karena berbagai faktor seperti cuaca api sehingga mengakibatkan konsesi korporasi ikut terbakar, hal itu tidak bisa dikaitkan dengan tanggung jawab mutlak.

"Peristiwa itu tidak memberi keuntungan bagi korporasi, malah merugi akibat konsesinya ikut terbakar. Pemahaman ini perlu kita benahi bersama. Pemerintah tidak boleh mencari ‘kambing hitam’ seolah-olah siapapun yang berbuat, maka hal itu otomotis menjadi tanggung jawab korporasi," katanya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7818 seconds (0.1#10.140)