Taliban Larang Tanam Opium, Petani Afghanistan Kehilangan Pendapatan Rp15,5 Triliun
loading...
A
A
A
KABUL - Petani Afghanistan telah kehilangan pendapatan lebih dari USD1 miliar atau setara Rp15,5 triliun (Kurs Rp15.591 per USD) dari penjualan opium setelah Taliban melarang penanaman opium. Hal ini menurut sebuah laporan dari badan obat-obatan PBB yang diterbitkan, Minggu (5/11/2023).
Afghanistan dikenal sebagai produsen opium terbesar di dunia dan sumber utama heroin di Eropa dan Asia ketika Taliban merebut kekuasaan pada Agustus 2021. Namun mereka berjanji untuk menghapus industri budidaya bahan baku narkoba di negara itu dan memberlakukan larangan resmi pada April 2022.
Kebijakan dari Taliban memberikan pukulan berat bagi ratusan ribu petani dan buruh harian yang mengandalkan hasil panen untuk bertahan hidup. Budidaya opium jatuh 95% setelah larangan itu, kata laporan dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan.
Hingga 2023, nilai ekspor opiat Afghanistan sering melampaui nilai ekspor legalnya. Para pejabat PBB mengatakan, kontraksi kuat ekonomi opium diperkirakan akan memiliki konsekuensi yang luas bagi negara itu karena ekspor opiat sebelum larangan menyumbang antara 9-14% dari PDB nasional.
"Warga Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan yang mendesak untuk memenuhi kebutuhan mereka yang paling utama, menyerap guncangan pendapatan yang hilang dan menyelamatkan nyawa," kata Direktur Eksekutif UNODC, Ghada Waly.
"Afghanistan sangat membutuhkan investasi dalam mata pencaharian berkelanjutan untuk memberi warga Afghanistan peluang jauh dari opium," katanya.
Warga Afghanistan menghadapi kekeringan, kesulitan ekonomi yang parah dan konsekuensi lanjutan dari perang dan bencana alam selama beberapa dekade.
Penurunan, bersama dengan penghentian pembiayaan internasional yang menopang ekonomi mantan pemerintah yang didukung Barat, mendorong orang ke dalam kemiskinan, kelaparan, dan kecanduan.
Dalam sebuah laporan di September dari UNODC mengatakan, bahwa Afghanistan adalah pembuat metamfetamin dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan penyitaan obat sintetis meningkat ketika penanaman opium menyusut.
Pendapatan yang lebih rendah di sepanjang rantai pasokan opiat dapat merangsang kegiatan ilegal lainnya seperti perdagangan senjata, orang atau obat-obatan sintetis, kata laporan UNODC terbaru.
Afghanistan dikenal sebagai produsen opium terbesar di dunia dan sumber utama heroin di Eropa dan Asia ketika Taliban merebut kekuasaan pada Agustus 2021. Namun mereka berjanji untuk menghapus industri budidaya bahan baku narkoba di negara itu dan memberlakukan larangan resmi pada April 2022.
Kebijakan dari Taliban memberikan pukulan berat bagi ratusan ribu petani dan buruh harian yang mengandalkan hasil panen untuk bertahan hidup. Budidaya opium jatuh 95% setelah larangan itu, kata laporan dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan.
Hingga 2023, nilai ekspor opiat Afghanistan sering melampaui nilai ekspor legalnya. Para pejabat PBB mengatakan, kontraksi kuat ekonomi opium diperkirakan akan memiliki konsekuensi yang luas bagi negara itu karena ekspor opiat sebelum larangan menyumbang antara 9-14% dari PDB nasional.
"Warga Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan yang mendesak untuk memenuhi kebutuhan mereka yang paling utama, menyerap guncangan pendapatan yang hilang dan menyelamatkan nyawa," kata Direktur Eksekutif UNODC, Ghada Waly.
Baca Juga
"Afghanistan sangat membutuhkan investasi dalam mata pencaharian berkelanjutan untuk memberi warga Afghanistan peluang jauh dari opium," katanya.
Warga Afghanistan menghadapi kekeringan, kesulitan ekonomi yang parah dan konsekuensi lanjutan dari perang dan bencana alam selama beberapa dekade.
Penurunan, bersama dengan penghentian pembiayaan internasional yang menopang ekonomi mantan pemerintah yang didukung Barat, mendorong orang ke dalam kemiskinan, kelaparan, dan kecanduan.
Dalam sebuah laporan di September dari UNODC mengatakan, bahwa Afghanistan adalah pembuat metamfetamin dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan penyitaan obat sintetis meningkat ketika penanaman opium menyusut.
Pendapatan yang lebih rendah di sepanjang rantai pasokan opiat dapat merangsang kegiatan ilegal lainnya seperti perdagangan senjata, orang atau obat-obatan sintetis, kata laporan UNODC terbaru.
(akr)