Pemerintah Bebal Kebijakan, Bikin Ekonomi Rontok -5,32%
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi semakin kritis di level minus 5,32% pada kuartal kedua tahun ini. Penyebabnya ialah pemerintah dan tim ekonomi bebal terhadap kebijakan karena banyak peluang yang bisa digenjot supaya ekonomi tidak terperosok semakin jauh.
"Peluangnya dibiarkan begitu saja dan tidak dikembangkan karena respons kebijakan tidak memadai," ujar Ekonom Senior sekaligus Pendiri Indef Didik J. Rachbini di Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Menurut dia sektor transportasi, jasa pergudangan, akomodasi dan makanan-minuman dan jasa-jasa laiannya terkena dampak paling parah sehingga tumbuh minus antara -15% sampai -22%. Tetapi peluang pada sektor lainnya dibiarkan tidak berkembang, seperti sektor informasi dan komunikasi hanya tumbuh 3,44%.
Padahal peluang pertumbuhan sektor ini luar biasa besar karena hampir keseluruhan yang tidak bisa dilakukan dengan transportasi mestinya bisa digantikan oleh sektor informasi dan komunikasi. Namun peluang seperti itu hilang karena kebijakan diam di tempat dan tidak muncul inovasi dari dalam yang memberi jalan dan peluang agar sektor informasi dan komunikasi tumbuh pesat. "Beberapa perusahaan informasi dan komunikasi saya amati mendapat rejeki luar biasa dengan pandemi ini karena transportasi mandeg, teknologi IT sebagai gantinya. Jadi wajar jika perusahaan IT bisa tumbuh sampai 300%," kata dia.
Namun mengapa sektor ini secara keseluruhan hanya tumbuh 3,44% karena miskin ide inovasi, dan tuna kebijakan. Pihaknya meminta agar pemerintahmengatifkan palapa ring secara maksimal dan tiang-tiang listrik diberikan gratis untuk sementara kepada telkom dan telkomsel serta perusahaan swasta agar segera mengembangkan jaringan di seluruh penjuru negeri. "Jika hal sederhana ini bisa dilakukan, maka sektor infokom akan berkembang pesat. Karena tuna kebijakan maka sektor ini tumbuh sangat rendah, tumbuh seadanya seperti sekarang karena tidak punya daya pikir dalam," kata dia.
Sebagai catatan, tingkat elektrifikasi sudah di atas 90% sehingga siap menjadi penopang sektor infokom. Namun jika saran kebijakan tersebut tidak laku, maka saya pastikan ada penyakit bebal kebijakan. Tidak hanya itu, pemerintah sehausnya bisa memanfaatkan peluang sektor drakula penghisap devisa, yaitu sektor kesehatan. Kebutuhan sektor kesehatan hampir tersebut mutlak didatangkan dari luar negeri, sektor pengimpor mutlak dari negara lain, yang juga ditingkahi setan monopoli dan rente yang luar biasa
besar.
Padalah sektor ini adalah sektor neraka bagi ekonomi karena menghisap devisa, melemahkan rupiah, menggerus perolehan ekspor, dan memelihara hutan rente ekonomi, yang menyakitkan. "Krisis ini adalah peluang untuk merontokkan drakula dan setan rente tersebut, yang menyebabkan biaya kesehatan dan harga obat mahal," kata dia.
Selain sektor kesehatan peluang krisis ini ada pada sektor pendidikan, kuncinya adalah mekanisme pendidikan normal baru secara daring. Tetapi pendidikan di kota dan Jakarta berbeda dengan pendidikan di desa dan luar jawa, yang macet karena tidak ada jaringan internet karena pemerintah kurang daya pikir padahal di sini peluang itu ada.
Parahnya lagi, pemerintah bergelut dengan permasalahan internalnya sendiri, koordinasi dan komunikasi yang buruk, kemarahan presiden yang tidak perlu, serta anggaran yang tidak terealisasi dengan memadai, tidak wajar. Hal itu bisa dilihat dari buruknya komunikasi pemerintah dari awal yang sangat kacau di mana ada puluhan blunder komunikasi yang membingungkan dalam kebijakan Covid-19.
Akhirnya meskipun kasus covid-19 terus meningkat, pemerintah pusat dipimpin Presiden Jokowi tetap membuka PSBB sehingga kasus Covid-19 sudah di atas 100 ribu. Tidak lama lagi, kasus itu akan mencapai 200 ribu bahkan sampai 3 kali dari kasus yang terjadin di China, tempat asal virus ini.
Apabila ini terus terjadi, tim pemerintah kacau dalam komunikasi, pemimpinnya gusar terhadap anak buah, tim tidak solid, maka covid-19 mustahil bisa diatasi dengan baik. "Jika covid-19 tidak bisa diatasi, jangan bermimpi bisa mengatasi resesi. Jika pandemi terus berkembang seperti sekarang, maka resesi akan berkepanjangan. Pemerintah akan kesulitan mengembalikan ekonomi tumbuh kembali," kata dia.
"Peluangnya dibiarkan begitu saja dan tidak dikembangkan karena respons kebijakan tidak memadai," ujar Ekonom Senior sekaligus Pendiri Indef Didik J. Rachbini di Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Menurut dia sektor transportasi, jasa pergudangan, akomodasi dan makanan-minuman dan jasa-jasa laiannya terkena dampak paling parah sehingga tumbuh minus antara -15% sampai -22%. Tetapi peluang pada sektor lainnya dibiarkan tidak berkembang, seperti sektor informasi dan komunikasi hanya tumbuh 3,44%.
Padahal peluang pertumbuhan sektor ini luar biasa besar karena hampir keseluruhan yang tidak bisa dilakukan dengan transportasi mestinya bisa digantikan oleh sektor informasi dan komunikasi. Namun peluang seperti itu hilang karena kebijakan diam di tempat dan tidak muncul inovasi dari dalam yang memberi jalan dan peluang agar sektor informasi dan komunikasi tumbuh pesat. "Beberapa perusahaan informasi dan komunikasi saya amati mendapat rejeki luar biasa dengan pandemi ini karena transportasi mandeg, teknologi IT sebagai gantinya. Jadi wajar jika perusahaan IT bisa tumbuh sampai 300%," kata dia.
Namun mengapa sektor ini secara keseluruhan hanya tumbuh 3,44% karena miskin ide inovasi, dan tuna kebijakan. Pihaknya meminta agar pemerintahmengatifkan palapa ring secara maksimal dan tiang-tiang listrik diberikan gratis untuk sementara kepada telkom dan telkomsel serta perusahaan swasta agar segera mengembangkan jaringan di seluruh penjuru negeri. "Jika hal sederhana ini bisa dilakukan, maka sektor infokom akan berkembang pesat. Karena tuna kebijakan maka sektor ini tumbuh sangat rendah, tumbuh seadanya seperti sekarang karena tidak punya daya pikir dalam," kata dia.
Sebagai catatan, tingkat elektrifikasi sudah di atas 90% sehingga siap menjadi penopang sektor infokom. Namun jika saran kebijakan tersebut tidak laku, maka saya pastikan ada penyakit bebal kebijakan. Tidak hanya itu, pemerintah sehausnya bisa memanfaatkan peluang sektor drakula penghisap devisa, yaitu sektor kesehatan. Kebutuhan sektor kesehatan hampir tersebut mutlak didatangkan dari luar negeri, sektor pengimpor mutlak dari negara lain, yang juga ditingkahi setan monopoli dan rente yang luar biasa
besar.
Padalah sektor ini adalah sektor neraka bagi ekonomi karena menghisap devisa, melemahkan rupiah, menggerus perolehan ekspor, dan memelihara hutan rente ekonomi, yang menyakitkan. "Krisis ini adalah peluang untuk merontokkan drakula dan setan rente tersebut, yang menyebabkan biaya kesehatan dan harga obat mahal," kata dia.
Selain sektor kesehatan peluang krisis ini ada pada sektor pendidikan, kuncinya adalah mekanisme pendidikan normal baru secara daring. Tetapi pendidikan di kota dan Jakarta berbeda dengan pendidikan di desa dan luar jawa, yang macet karena tidak ada jaringan internet karena pemerintah kurang daya pikir padahal di sini peluang itu ada.
Parahnya lagi, pemerintah bergelut dengan permasalahan internalnya sendiri, koordinasi dan komunikasi yang buruk, kemarahan presiden yang tidak perlu, serta anggaran yang tidak terealisasi dengan memadai, tidak wajar. Hal itu bisa dilihat dari buruknya komunikasi pemerintah dari awal yang sangat kacau di mana ada puluhan blunder komunikasi yang membingungkan dalam kebijakan Covid-19.
Akhirnya meskipun kasus covid-19 terus meningkat, pemerintah pusat dipimpin Presiden Jokowi tetap membuka PSBB sehingga kasus Covid-19 sudah di atas 100 ribu. Tidak lama lagi, kasus itu akan mencapai 200 ribu bahkan sampai 3 kali dari kasus yang terjadin di China, tempat asal virus ini.
Apabila ini terus terjadi, tim pemerintah kacau dalam komunikasi, pemimpinnya gusar terhadap anak buah, tim tidak solid, maka covid-19 mustahil bisa diatasi dengan baik. "Jika covid-19 tidak bisa diatasi, jangan bermimpi bisa mengatasi resesi. Jika pandemi terus berkembang seperti sekarang, maka resesi akan berkepanjangan. Pemerintah akan kesulitan mengembalikan ekonomi tumbuh kembali," kata dia.
(nng)