RUU Migas Tak Kunjung Rampung, Menteri ESDM: Tahun Ini Beresin RUU EBT Dulu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri ESDM Arifin Tasrif membeberkan alasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) tak kunjung rampung meski sudah didesak banyak pihak.
Dikatakannya, aturan anyar ini akan dirampungkan tahun depan. Sebab saat ini pihaknya masih membahas penyelesaian RUU lain yang akan dirampungkan tahun ini.
"Kami serius soal revisi UU Migas, cuma tahun ini beresin dulu RUU EBET (Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan)," ujar dia, dikutip Minggu (12/11/2023).
Adapun desakan penyelesaian RUU Migas salah satunya datang dari Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto lantaran melihat tren produksi migas nasional yang terus menurun.
Mulyanto menilai, banyak persoalan migas yang harus ditata ulang agar pengelolaannya efisien dan efektif. Salah satunya terkait peningkatan produksi migas di tengah transisi pelaksanaan dekarbonisasi energi.
"Seperti target lifting minyak 1 juta BPH, menurut saya, itu seperti mimpi. Faktanya target tahunan lifting ini terus turun dan realisasinya juga tidak 100 persen. Penyebabnya karena investasi dan daya dukung kita yang lemah untuk menarik investasi itu di era senjakala bisnis minyak," terangnya kepada MNC Portak Indonesia beberapa waktu lalu.
Diungkapkan Mulyanto, kompetitor investasi di sektor migas sekarang ini bukan hanya yang bersifat tradisional, yakni kompetisi antar negara tetapi juga kompetisi antara migas dan sumber EBT.
"Karenanya perlu kelembagaan yang kuat dan insentif yang atraktif. Apalagi adanya dampak negatif dari perang Rusia-Ukraina yang belum hilang. Kemudian juga, harga minyak dunia sekarang cenderung turun," lanjut Mulyanto.
"Harga minyak WTI, misalnya, terus turun. Sampai bulan Juli 2023 sudah menyentuh angka USD 67 per barel. Memanasnya kondisi Timur Tengah, ikut mengerek harga minyak ini. Puncaknya terjadi di Akhir September 2023 mencapai USD 97 per barel. Namun, setelah itu turun kembali menuju USD 80 per barel. Karenanya revisi RUU Migas perlu mengokohkan kelembagaan hulu migas agar badan ini semakin kuat, sesuai amanat MK, berfungsi sebagai doers sekaligus regulator," tegasnya.
Ia menjelaskan badan ini harus mudah berkoordinasi dgn kementerian lain untuk mempermudah infrastruktur investasi, terutama terkait perizinan dan lahan.
"Selanjutnya bersama kementerian terkait badan ini dapat mengembangkan insentif yg atraktif bagi investor migas," pungkas Mulyanto.
Dikatakannya, aturan anyar ini akan dirampungkan tahun depan. Sebab saat ini pihaknya masih membahas penyelesaian RUU lain yang akan dirampungkan tahun ini.
"Kami serius soal revisi UU Migas, cuma tahun ini beresin dulu RUU EBET (Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan)," ujar dia, dikutip Minggu (12/11/2023).
Adapun desakan penyelesaian RUU Migas salah satunya datang dari Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto lantaran melihat tren produksi migas nasional yang terus menurun.
Mulyanto menilai, banyak persoalan migas yang harus ditata ulang agar pengelolaannya efisien dan efektif. Salah satunya terkait peningkatan produksi migas di tengah transisi pelaksanaan dekarbonisasi energi.
"Seperti target lifting minyak 1 juta BPH, menurut saya, itu seperti mimpi. Faktanya target tahunan lifting ini terus turun dan realisasinya juga tidak 100 persen. Penyebabnya karena investasi dan daya dukung kita yang lemah untuk menarik investasi itu di era senjakala bisnis minyak," terangnya kepada MNC Portak Indonesia beberapa waktu lalu.
Diungkapkan Mulyanto, kompetitor investasi di sektor migas sekarang ini bukan hanya yang bersifat tradisional, yakni kompetisi antar negara tetapi juga kompetisi antara migas dan sumber EBT.
"Karenanya perlu kelembagaan yang kuat dan insentif yang atraktif. Apalagi adanya dampak negatif dari perang Rusia-Ukraina yang belum hilang. Kemudian juga, harga minyak dunia sekarang cenderung turun," lanjut Mulyanto.
"Harga minyak WTI, misalnya, terus turun. Sampai bulan Juli 2023 sudah menyentuh angka USD 67 per barel. Memanasnya kondisi Timur Tengah, ikut mengerek harga minyak ini. Puncaknya terjadi di Akhir September 2023 mencapai USD 97 per barel. Namun, setelah itu turun kembali menuju USD 80 per barel. Karenanya revisi RUU Migas perlu mengokohkan kelembagaan hulu migas agar badan ini semakin kuat, sesuai amanat MK, berfungsi sebagai doers sekaligus regulator," tegasnya.
Ia menjelaskan badan ini harus mudah berkoordinasi dgn kementerian lain untuk mempermudah infrastruktur investasi, terutama terkait perizinan dan lahan.
"Selanjutnya bersama kementerian terkait badan ini dapat mengembangkan insentif yg atraktif bagi investor migas," pungkas Mulyanto.
(nng)