MUI Haramkan Beli Produk Pro Israel, BUMN Pemeriksa Halal Bilang Begini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) mengeluarkan fatwa wajib hukumnya memberikan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina . Sebaliknya, haram hukumnya membeli produk yang secara langsung mendukung agresi Israel ke negara para nabi.
Merespons hal tersebut, PT Surveyor Indonesia (Persero) atau PTSI menegaskan, bahwa fatwa MUI merupakan bagian dari rantai tugas perusahaan dalam memeriksa aspek halal setiap produk. Kendati begitu, tugas perusahaan tidak ada kaitannya dengan fatwa haram membeli produk yang terafiliasi dengan agresi Israel.
Direktur Komersial PTSI, Saifuddin Wijaya mengatakan, fatwa haram membeli produk yang memberi dukungan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah dan militer Israel tidak masuk dalam kriteria penilaian PTSI.
Menurutnya, fatwa tersebut menjadi hal lain dari tugas utama perusahaan saat ini. PTSI merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga bertugas memeriksa aspek halal setiap produk di pasar Tanah Air.
“Oh nggak, kita nggak mengarah ke sana, ini benar-benar masalah kehalalan produk. Di dalam kriterianya nggak ada, itu urusan yang lain. bener-benar masalah kehalalan,” ujar Saifuddin saat ditemui di Gedung Surveyor Indonesia, Jakarta Selatan, Selasa (14/11/2023).
Di luar haram hukumnya bagi umat Islam Indonesia membeli produk yang terafiliasi dengan Zionis, Saifuddin menegaskan bahwa fatwa MUI merupakan rantai pasok dari tugas perusahaan. Hal ini terkait dengan setiap produk yang akan mendapatkan sertifikasi halal.
Dimana sebelum mendapatkan sertifikasi halal, setiap pelaku usaha yang memenuhi persyaratan harus mendaftarkan diri ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) terlebih dahulu.
BPJPH sendiri diamanatkan Undang-undang untuk menjamin kehalalan produk yang beredar dan dipasarkan di Tanah air. Dalam konteks ini lembaga melaksanakan registrasi halal, sertifikasi halal, verifikasi halal.
Lalu, melakukan pembinaan serta melakukan pengawasan kehalalan produk, kerja sama dengan seluruh stakeholder terkait, serta menetapkan standar kehalalan sebuah produk. “Fatwa MUI bagian dari rantai pasok, tadi kan pelaku memenuhi persyaratan, kemudian mereka siap mendaftarkan ke BPJPH, mereka yang ditugasi mengelola kehalalan,” paparnya.
Setelah melewati semua proses di BPJPH, lembaga kemudian menunjuk Surveyor Indonesia melakukan pemeriksaan hingga verifikasi halal bagi produk yang sudah terdaftar. Proses ini dijalankan oleh Lembaga Pemeriksa Halal Surveyor Indonesia (LPHSI).
“BPJPH menunjuk kita, LPHSI, sebagai lembaga pemeriksa halal, ditunjuk melakukan pemeriksaan, verifikasi, ada laporan, kemudian laporan disampaikan ke BPJPH untuk kemudian disidangkan dalam sidang fatwa MUI,” lanjutnya.
“Kemudian MUI lah yang memeriksa satu per satu. Setiap aplikasi yang mengajukan diverifikasi benAr gak sudah masuk ke fatwa kehalalan. begitu lolos, barulah diserahkan ke BPJPH, karena mereka yang menerbitkan sertifikat,” tukas dia.
Merespons hal tersebut, PT Surveyor Indonesia (Persero) atau PTSI menegaskan, bahwa fatwa MUI merupakan bagian dari rantai tugas perusahaan dalam memeriksa aspek halal setiap produk. Kendati begitu, tugas perusahaan tidak ada kaitannya dengan fatwa haram membeli produk yang terafiliasi dengan agresi Israel.
Direktur Komersial PTSI, Saifuddin Wijaya mengatakan, fatwa haram membeli produk yang memberi dukungan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah dan militer Israel tidak masuk dalam kriteria penilaian PTSI.
Menurutnya, fatwa tersebut menjadi hal lain dari tugas utama perusahaan saat ini. PTSI merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga bertugas memeriksa aspek halal setiap produk di pasar Tanah Air.
“Oh nggak, kita nggak mengarah ke sana, ini benar-benar masalah kehalalan produk. Di dalam kriterianya nggak ada, itu urusan yang lain. bener-benar masalah kehalalan,” ujar Saifuddin saat ditemui di Gedung Surveyor Indonesia, Jakarta Selatan, Selasa (14/11/2023).
Di luar haram hukumnya bagi umat Islam Indonesia membeli produk yang terafiliasi dengan Zionis, Saifuddin menegaskan bahwa fatwa MUI merupakan rantai pasok dari tugas perusahaan. Hal ini terkait dengan setiap produk yang akan mendapatkan sertifikasi halal.
Dimana sebelum mendapatkan sertifikasi halal, setiap pelaku usaha yang memenuhi persyaratan harus mendaftarkan diri ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) terlebih dahulu.
BPJPH sendiri diamanatkan Undang-undang untuk menjamin kehalalan produk yang beredar dan dipasarkan di Tanah air. Dalam konteks ini lembaga melaksanakan registrasi halal, sertifikasi halal, verifikasi halal.
Lalu, melakukan pembinaan serta melakukan pengawasan kehalalan produk, kerja sama dengan seluruh stakeholder terkait, serta menetapkan standar kehalalan sebuah produk. “Fatwa MUI bagian dari rantai pasok, tadi kan pelaku memenuhi persyaratan, kemudian mereka siap mendaftarkan ke BPJPH, mereka yang ditugasi mengelola kehalalan,” paparnya.
Setelah melewati semua proses di BPJPH, lembaga kemudian menunjuk Surveyor Indonesia melakukan pemeriksaan hingga verifikasi halal bagi produk yang sudah terdaftar. Proses ini dijalankan oleh Lembaga Pemeriksa Halal Surveyor Indonesia (LPHSI).
“BPJPH menunjuk kita, LPHSI, sebagai lembaga pemeriksa halal, ditunjuk melakukan pemeriksaan, verifikasi, ada laporan, kemudian laporan disampaikan ke BPJPH untuk kemudian disidangkan dalam sidang fatwa MUI,” lanjutnya.
“Kemudian MUI lah yang memeriksa satu per satu. Setiap aplikasi yang mengajukan diverifikasi benAr gak sudah masuk ke fatwa kehalalan. begitu lolos, barulah diserahkan ke BPJPH, karena mereka yang menerbitkan sertifikat,” tukas dia.
(akr)