Menggali Potensi dari Balik Lembaga Pemasyarakatan

Minggu, 10 Desember 2017 - 15:08 WIB
Menggali Potensi dari Balik Lembaga Pemasyarakatan
Menggali Potensi dari Balik Lembaga Pemasyarakatan
A A A
BATIK Girl atau boneka Barbie berbusana batik nan cantik sudah melanglang buana hingga Australia dan Amerika Serikat. Siapa sangka, baju batik boneka tersebut merupakan karya sejumlah narapidana perempuan yang tengah menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan (LP). Napi dari kasus penyalahgunaan narkoba itu diberdayakan dan diberi kegiatan bermanfaat oleh Lusia Efriani Kiroyan, pendiri Yayasan Cinderella from Indonesia.

Lusia memang sudah membidik para napi untuk menjadi bagian dari kegiatan sociopreneur-nya. Bukan hanya bisnis Batik Girl yang dikembangkan oleh wanita 37 tahun ini melalui Yayasan Cinderella from Indonesia, tapi juga beragam aktivitas sosial lain. Apa saja itu? Inilah cerita Lusia kepada KORAN SINDO.

Anda baru saja mengadakan Batik Girl Workshop yang melibatkan 100 warga binaan di Batam dan Bali. Bisa diceritakan tentang program ini?
Ini sudah menjadi penjara keempat di tahun kelima. Bedanya, di tahun 2017 saya mendapat grant dalam program Hibah untuk alumni Australia melalui Alumni Grant Scheme tahap 2 yang diadakan Australia Awards. Workshop di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batam pada 23-25 November 2017 dan di LP Bali pada 27-29 November 2017.

Workshop dilakukan selama tiga hari dan dibagi menjadi dua sesi, yaitu pertama Inner Peace di mana para warga binaan perempuan diberi pelatihan untuk mengaktifkan inner peace mereka, melatih mindset agar berpikir secara positif dan membantu mereka supaya tidak tergantung pada narkoba. Mereka juga mengikuti sesi yoga selama tiga hari yang diberikan oleh Nina Walker (trainer Yoga in Prison). Sesi kedua adalah pelatihan membuat boneka Batik Girl selama tiga hari. Sebanyak 1.000 boneka batik ini akan dibagikan kepada anak-anak penderita kanker dan disabilitas di seluruh ASEAN.

Program tersebut selain didukung Australia Awards Indonesia, juga didukung penuh oleh Bank Mandiri. Untuk Batik Girl roadshow yang saya adakan di Melbourne dan Darwin dengan tagline A Doll for A Friend, saya berharap bisa membuat hubungan antara Indonesia dan Australia menjadi lebih baik lagi.

Anda melakukan ini semua di bawah naungan Yayasan Cinderella from Indonesia (YCFI) yang Anda dirikan. Itu sejak kapan dan bagaimana memulainya?
Yayasan ini berdiri pada 2012. Awalnya untuk membantu para single parent dengan anak-anak yang tidak mampu karena saya juga seorang single parent. Saya ingin membantu sesama single parent agar mereka punya keinginan untuk berusaha, tidak bergantung kepada orang lain. Jadi saya memberikan bantuan modal kepada para ibu anak jalanan, ibu-ibu yang belajar juga membawa anak mereka. Jadilah saya ikut mengasuh anak-anak mereka.

Makin lama saya merasa tidak bisa lagi. Saya pengusaha yang kadang untung, kadang rugi. Jadi saya melihat mereka harus berusaha sendiri, lalu saya membuat sebuah social entrepreneurship. Untuk memulainya pun saya tidak menggunakan modal yang banyak. Tapi saya melihat ada kesempatan di sebuah penjara, bagus untuk dijadikan industri. Saya punya usaha di bidang arang tempurung kelapa. Ingin membuat pabrik, tetapi sulit, tidak ada modal. Saya juga ingin membantu saudara-saudara di LP sehingga penjara bisa saya ubah seperti pabrik. Saya ingin punya pabrik, tapi tidak kesampaian. Makanya saya lalu memanfaatkan penjara.

Anda kini menjadi seorang sociopreneur. Apa yang Anda sukai dari profesi ini?
Iya, sekarang waktu saya dihabiskan 80% untuk Batik Girl. Sisanya untuk usaha saya yang lain. Saya sangat menikmatinya dan senang. Saya berani ke luar negeri, saya menyebarkan misi sosial dan kebudayaan Indonesia. Saya juga senang melakukan kegiatan sosial agar generasi muda bisa ikut melaksanakannya. Para orang tua diharapkan tidak menghalangi anak-anak mereka untuk punya kegiatan sosial. Jangan sedih jika suatu hari nanti anak kita tidak menjadi PNS atau pegawai sukses lain, tapi memilih menjadi sociopreneur. Tidak akan menjadi kaya-raya, tapi ada kepuasan tersendiri.

Jadi Anda berubah dari pengusaha menjadi seorang sociopreneur?
Tidak. Dari awal saya sudah bertekad menjadi sociopreneur. Bisnis UKM saya adalah arang dari tempurung kelapa itu. Saya hanya mempekerjakan janda-janda tua dan anak putus sekolah. Bukan sekadar membantu, tapi mengajari mereka untuk bekerja keras karena konsep saya ingin membantu orang dengan membuka lapangan pekerjaan. Jadi kalau ada yang minta bantuan dana, saya tidak punya. Biasanya saya kumpulkan komunitas, lalu mengembangkan usaha bersama. Jadi tugas saya hanya melihat potensi apa yang ada dalam komunitas tersebut.

Apa tantangan menjadi seorang sociopreneur?
Pandangan dari keluarga yang tidak mengerti kegiatan kita. Masyarakat juga memandang kita mau ngapain. Membantu orang dengan cara konvensional saja kadang dicerca, apalagi memberdayakan, membantu dengan memberi pekerjaan. Sebagai pelaku bisnis juga susah mendapat bantuan dana. Kalau ada yang bantu, masuknya ke CSR. Perusahaan melihat karena ada sosialnya. Mereka lihat kegiatan sosialnya, bukan bisnisnya.

Namun jadi masalah lagi karena saya memberdayakan narapidana. CSR perusahaan juga merasa tidak ada feed back yang mereka dapatkan. Saya mendapat bantuan dari Bank Mandiri karena saya alumni program Wirausaha Sosial 2014. Mereka senang membantu saya karena dengan bantuan yang tidak terduga menjadi besar, lalu memiliki dampak besar pula untuk mereka. Impact-nya di luar Indonesia karena saya melakukan roadshow ke luar negeri.

Punya solusi apa dengan tantangan yang Anda hadapi itu?
Setiap tahun ada tantangan. Misalkan ada 1.000 boneka yang tidak laku. Akhirnya saya roadshow dengan kampanye One Sell One Give. Setiap Batik Girl yang dibeli ditujukan untuk anak-anak pengidap kanker dan disabilitas. Putar otak dan akhirnya saya berhasil dengan cara membawa salah satu anak yang dibantu. Dengan begitu jadi ada banyak donasi. Boneka laku terjual, saya kumpulkan lagi hasilnya untuk proses selanjutnya. Tantangan dan solusi mengajarkan kepada saya agar program terus berkesinambungan.

Bagaimana sistem social entrepreneurship Batik Girl yang Anda lakukan?
Para warga binaan membuat baju Barbie batik yang diajarkan langsung oleh relawan. Relawan didatangkan dari luar negeri. Kami masih membuat bajunya saja. Setiap boneka berbeda modelnya. Jadi sesama napi harus berkoordinasi. Kalau sama nanti komisi untuk mereka tidak dibayar. Setiap baju dihargai Rp10.000. Untuk bonekanya masih diimpor dari China karena mencari boneka Barbie dengan rambut hitam terbilang sulit. Masih jarang ada. Batik Girl dijual di dalam negeri juga, cuma jarang peminatnya.

Di luar negeri justru banyak (peminat). Pasar terbesar dari Australia dan Amerika Serikat. Kami juga suka roadshow ke Malaysia dan Singapura. Januari mendatang saya mau ke Amerika Serikat lagi, membawa sampel beberapa boneka. Nanti selanjutnya akan jualan melalui media sosial.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.6288 seconds (0.1#10.140)