Optimalisasi Perjanjian Dagang Kunci Tingkatkan Daya Saing Industri Kertas

Jum'at, 15 Desember 2023 - 21:41 WIB
loading...
Optimalisasi Perjanjian...
FGD dan Sosialisasi Studi oleh LPEM Universitas Indonesia di Jakarta, Rabu (14/12/2023). FOTO/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Memberikan kontribusi sebesar 3,99 persen pada PDB non migas Indonesia pada 2022, industri kertas Indonesia menghadapi hambatan perdagangan dari negara pesaing dan negara tujuan ekspor khususnya dari China sebagai pasar ekspor utama kertas Indonesia. Meskipun ada perjanjian dagang seperti ACFTA dan RCEP, manfaatnya masih belum dimaksimalkan oleh Industri Kertas Indonesia, justru menciptakan dampak yang memberatkan dan berpotensi merugikan ke depannya.

Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida, mengatakan sejak berlaku tahun 2010, skema ACFTA menempatkan produk kertas Indonesia dalam jalur sensitif, mengakibatkan tarif impor tinggi di China.

"APKI telah menyuarakan keprihatinan tentang masalah ini selama lima tahun terakhir, terlebih dengan memang banyaknya tekanan perdagangan global saat ini," ujar Liana dalam agenda Focus Group Discussion (FGD) dan Sosialisasi Studi oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia dengan judul "Dampak RCEP pada Industri Kertas dan Potensi Perdagangan Indonesia dengan Tiongkok" di Jakarta, Rabu (14/12/2023).

"Kami menyadari bahwa RCEP yang telah berlaku sejak 1 Januari 2023, sangat baik untuk ekspansi perdagangan Indonesia secara nasional, namun ternyata memiliki potensi yang lebih memberatkan kedepannya untuk industri kertas," kata Liana.



Sebanyak 102 pos tarif produk kertas Indonesia tidak mendapatkan liberalisasi perdagangan di China dan menghadapi tarif tinggi 5-7, 5 persen. Sementara itu, 223 pos tarif produk kertas impor dari China mendapatkan diliberalisasi menjadi 0 persen di bawah RCEP.

"Hal ini tentunya memunculkan kekhawatiran besar bagi kami industri kertas, karena barang impor akan sangat mungkin masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah," tambah Liana.

Kapasitas produksi Industri Kertas Tiongkok mencapai 255 juta ton, sedangkan kapasitas Indonesia yang masih terus berkembang saat ini 13.4 juta ton. Dengan banyaknya perang dagang dan pemulihan ekonomi domestik Tiongkok, ada peluang besar bagi Tiongkok untuk meningkatkan ekspor kertasnya ke berbagai negara di ASEAN, termasuk Indonesia.

"Kami sangat mengharapkan kesediaan bantuan dari Pemerintah Indonesia untuk kedepannya dapat membantu kami menghadapi kegelisahan ini, terlebih sesuai laporan dari anggota-anggota APKI, produk kertas yang banyak masuk ke Indonesia pada tahun 2023 ini harganya bahkan lebih murah 50 persen dari tahun-tahun sebelumnya sebelum RCEP berlaku," tambah Liana.

Eugenia Mardanugraha dari LPEM, FEB Universitas Indonesia, mencatat tren impor kertas dari Tiongkok ke Indonesia meningkat. Tarif bea masuk tinggi yang dikenakan oleh Tiongkok dan liberalisasi tarif bea masuk Indonesia sesuai PMK 224/PMK.010/2022 menunjukkan adanya potensi ketidakseimbangan yang memberatkan Industri Kertas Indonesia.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1261 seconds (0.1#10.140)