Rupiah Digital BI: Demi Efisiensi atau Hadapi Ancaman?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rupiah digital BI ( Bank Indonesia ) akan diluncurkan pada tahun 2024. Tahap pertama peluncuran proyek yang dinamakan Garuda Rupiah Digital ini merupakan bentuk prototipe awal untuk menguji gagasan atau konsep dalam pengembangan perangkat lunak. Konsep itu mencakup khazanah rupiah digital.
Rupiah Digital hanya memiliki perbedaan sedikit dengan rupiah fisik pada sisi formatnya. Sementara dari sisi nominal, bentuk, gambar, hingga ornamen lain yang ada di uang itu akan sama saja dengan uang kertas atau logam.
Lantaran bentuknya digital maka Rupiah Digital membutuhkan platform yang tersemat di perangkat atau gadget, seperti ponsel, tablet, laptop, atau personal computer (PC). Bisa dibilang, platformnya mirip-mirip dompet digital yang ada saat ini.
Bedanya, karena dibekali banyak fitur, dompet digital bisa dipakai untuk melakukan sejumlah transaksi di dalam satu aplikasi. Mulai dari membeli makanan, memesan transportasi, atau berinvestasi.
Nah, Rupiah Digital merupakan uang yang benar-benar diterbitkan secara virtual dan disimpan melalui platform digital. Rupiah Digital tidak bisa ditarik dalam bentuk fisik.
Struktur pencatatannya juga berbeda. Uang fisik, meskipun disimpan di dompet digital, menggunakan metode pencatatan dengan sistem manual yang tersentralisasi. Catatan transaksi uang hanya bisa diketahui oleh otoritas yang mengeluarkan uang (salah satunya perusahaan yang membuat dompet digital) dan pihak yang melakukan transaksi (pemilik).
Sementara itu, Rupiah Digital menggunakan struktur tersentralisasi dan terdesentralisasi. Pencatatannya real-time dan lebih transparan, sehingga rekam jejak perpindahan uang bisa tercatat oleh sistem secara otomatis.
Sistem itu dimungkinkan oleh penggunaan teknologi blockchain pada Rupiah Digital, ya seperti mata uang kripto. Bedanya, Rupiah Digital diterbitkan oleh otoritas keuangan yang sah dan dilindungi hukum serta aman.
Rupiah digital hanya diterbitkan oleh Bank Indonesia selaku Bank Sentral Negara Republik Indonesia. Rupiah Digital juga tidak termasuk dalam aset kripto ataupun stablecoins.
Nantinya Rupiah Digital akan terdiri dari dua jenis, yaitu wholesale (w-Rupiah Digital) dan Rupiah Digital ritel (r-Rupiah Digital). W-Rupiah Digital hanya dikhususkan untuk transaksi-transaksi "super jumbo" sehingga cakupan aksesnya terbatas, seperti operasi moneter, transaksi pasar valas, dan transaksi pasar uang.
Sementara, r-Rupiah Digital umumnya menangani transaksi-transaksi "receh" layaknya ritel, seperti transaksi pembayaran maupun transfer, oleh personal/individu maupun bisnis (merchant dan korporasi). Makanya, siapa saja bisa mengakses Rupiah Digital jenis ini.
CBDC dinilai sebagai inovasi di sektor keuangan digital, sehingga perputaran uang di masyarakat bisa lebih efektif dan efisien. Selain itu juga terjaga keamanannya karena dilindungi oleh otoritas keuangan yang sah di tiap negara.
Kalau alasannya karena efisiensi, sejatinya BI sendiri sudah menggencarkan Gerakan Nasional Non-Tunai. Transaksi nontunai, lewat berbagai sarana, seperti dompet digital, mobile banking, atau ATM bisa menciptakan efisiensi karena perputaran uang yang ada tak harus memikirkan pencetakan uang fisik baru untuk menggantikan uang yang rusak.
Jangan salah pencetakan uang baru dan juga distribusinya membutuhkan biaya yang tak sedikit. BI menganggarkan dana sedikitnya Rp3,5 triliun per tahun untuk mencetak dan mendistribusikan uang ke seluruh Indonesia.
CBDC, termasuk Rupiah Digital, tampaknya lebih merupakan respons dari lembaga moneter dunia atas perkembangan teknologi di sektor keuangan. Salah satunya, minat masyarakat yang tinggi terhadap mata uang kripto dan instrumen pembayaran digital lain.
Di tengah kecanggihan digital saat ini dan yang akan datang, aset kripto akan terus berkembang dan semakin popuper di masyarakat. Meski aset kripto "diklaim" sebagai komoditas atau bukan uang, namun sudah menjadi alat pembayaran yang marak di berbagai negara.
Jika popularitas aset kripto tak dilawan--terutama yang berjenis stabel coin--bukan tak mungkin, mata uang yang diterbitkan oleh bank sentral menjadi barang usang. Kondisi ini tentu saja akan menjadi beban kredibilitas, bahkan mengancam eksistensi bank sentral. Bayangkan, bank sentral cetak uang, tapi tak dipakai!
Stablecoin adalah sejenis token digital non-pemerintah yang dipatok pada nilai tukar tetap terhadap suatu mata uang. Stablecoin mendapatkan daya tarik untuk transaksi domestik dan lintas batas, khususnya di negara berkembang. Saat ini perusahaan teknologi dan keuangan bertujuan mengintegrasikan stablecoin ke dalam platform media sosial dan e-commerce mereka.
“Bank-bank sentral memandang stablecoin seperti serikat taksi memandang Uber--sebagai penyelundup dan ancaman,” kata Ronit Ghose, peniliti Bank Global di Citigroup, dikutip dari sebuah artikel berjudul "Why Cryptocurrencies Are a Threat to Central Banks".
Lalu apa sih itu rupiah digital? Kenapa pula harus diterbitkan?
Rupiah digital merupakan uang rupiah yang memiliki format digital dan dapat digunakan layaknya uang fisik, seperti uang kertas dan logam. Atau, layaknya uang elektronik (chip dan server based), dan uang dalam alat pembayaran menggunakan kartu/APMK (kartu debit dan kredit) yang kita pakai saat ini.Rupiah Digital hanya memiliki perbedaan sedikit dengan rupiah fisik pada sisi formatnya. Sementara dari sisi nominal, bentuk, gambar, hingga ornamen lain yang ada di uang itu akan sama saja dengan uang kertas atau logam.
Lantaran bentuknya digital maka Rupiah Digital membutuhkan platform yang tersemat di perangkat atau gadget, seperti ponsel, tablet, laptop, atau personal computer (PC). Bisa dibilang, platformnya mirip-mirip dompet digital yang ada saat ini.
Bedanya, karena dibekali banyak fitur, dompet digital bisa dipakai untuk melakukan sejumlah transaksi di dalam satu aplikasi. Mulai dari membeli makanan, memesan transportasi, atau berinvestasi.
Nah, Rupiah Digital merupakan uang yang benar-benar diterbitkan secara virtual dan disimpan melalui platform digital. Rupiah Digital tidak bisa ditarik dalam bentuk fisik.
Struktur pencatatannya juga berbeda. Uang fisik, meskipun disimpan di dompet digital, menggunakan metode pencatatan dengan sistem manual yang tersentralisasi. Catatan transaksi uang hanya bisa diketahui oleh otoritas yang mengeluarkan uang (salah satunya perusahaan yang membuat dompet digital) dan pihak yang melakukan transaksi (pemilik).
Sementara itu, Rupiah Digital menggunakan struktur tersentralisasi dan terdesentralisasi. Pencatatannya real-time dan lebih transparan, sehingga rekam jejak perpindahan uang bisa tercatat oleh sistem secara otomatis.
Sistem itu dimungkinkan oleh penggunaan teknologi blockchain pada Rupiah Digital, ya seperti mata uang kripto. Bedanya, Rupiah Digital diterbitkan oleh otoritas keuangan yang sah dan dilindungi hukum serta aman.
Rupiah digital hanya diterbitkan oleh Bank Indonesia selaku Bank Sentral Negara Republik Indonesia. Rupiah Digital juga tidak termasuk dalam aset kripto ataupun stablecoins.
Nantinya Rupiah Digital akan terdiri dari dua jenis, yaitu wholesale (w-Rupiah Digital) dan Rupiah Digital ritel (r-Rupiah Digital). W-Rupiah Digital hanya dikhususkan untuk transaksi-transaksi "super jumbo" sehingga cakupan aksesnya terbatas, seperti operasi moneter, transaksi pasar valas, dan transaksi pasar uang.
Sementara, r-Rupiah Digital umumnya menangani transaksi-transaksi "receh" layaknya ritel, seperti transaksi pembayaran maupun transfer, oleh personal/individu maupun bisnis (merchant dan korporasi). Makanya, siapa saja bisa mengakses Rupiah Digital jenis ini.
Lalu kenapa diterbitkan?
Ini pertanyaan menggelitik. Rupiah Digital merupakan Central Bank Digital Currency (CBDC) yang dikembangkan oleh BI. Konsep CBDC mulai diadopsi oleh bank sentral di beberapa negara dalam beberapa tahun terakhir.CBDC dinilai sebagai inovasi di sektor keuangan digital, sehingga perputaran uang di masyarakat bisa lebih efektif dan efisien. Selain itu juga terjaga keamanannya karena dilindungi oleh otoritas keuangan yang sah di tiap negara.
Kalau alasannya karena efisiensi, sejatinya BI sendiri sudah menggencarkan Gerakan Nasional Non-Tunai. Transaksi nontunai, lewat berbagai sarana, seperti dompet digital, mobile banking, atau ATM bisa menciptakan efisiensi karena perputaran uang yang ada tak harus memikirkan pencetakan uang fisik baru untuk menggantikan uang yang rusak.
Jangan salah pencetakan uang baru dan juga distribusinya membutuhkan biaya yang tak sedikit. BI menganggarkan dana sedikitnya Rp3,5 triliun per tahun untuk mencetak dan mendistribusikan uang ke seluruh Indonesia.
CBDC, termasuk Rupiah Digital, tampaknya lebih merupakan respons dari lembaga moneter dunia atas perkembangan teknologi di sektor keuangan. Salah satunya, minat masyarakat yang tinggi terhadap mata uang kripto dan instrumen pembayaran digital lain.
Di tengah kecanggihan digital saat ini dan yang akan datang, aset kripto akan terus berkembang dan semakin popuper di masyarakat. Meski aset kripto "diklaim" sebagai komoditas atau bukan uang, namun sudah menjadi alat pembayaran yang marak di berbagai negara.
Jika popularitas aset kripto tak dilawan--terutama yang berjenis stabel coin--bukan tak mungkin, mata uang yang diterbitkan oleh bank sentral menjadi barang usang. Kondisi ini tentu saja akan menjadi beban kredibilitas, bahkan mengancam eksistensi bank sentral. Bayangkan, bank sentral cetak uang, tapi tak dipakai!
Stablecoin adalah sejenis token digital non-pemerintah yang dipatok pada nilai tukar tetap terhadap suatu mata uang. Stablecoin mendapatkan daya tarik untuk transaksi domestik dan lintas batas, khususnya di negara berkembang. Saat ini perusahaan teknologi dan keuangan bertujuan mengintegrasikan stablecoin ke dalam platform media sosial dan e-commerce mereka.
“Bank-bank sentral memandang stablecoin seperti serikat taksi memandang Uber--sebagai penyelundup dan ancaman,” kata Ronit Ghose, peniliti Bank Global di Citigroup, dikutip dari sebuah artikel berjudul "Why Cryptocurrencies Are a Threat to Central Banks".
(uka)