Krisis Utang Mengancam Negara-negara Berpendapatan Rendah, Begini Ramalan Bank Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - World Bank atau Bank Dunia memperingatkan, bahwa biaya pembayaran utang di negara- negara termiskin di dunia bakal melonjak mendekati level 'krisis' seiring dengan tren suku bunga tinggi menekan ekonomi yang sudah rapuh. 24 negara negara berpenghasilan terendah di dunia diproyeksikan bakal menghabiskan total USD21,5 miliar atau setara Rp331,4 triliun (Kurs Rp15.415 per USD) untuk membayar utang publik sepanjang tahun ini dan setelahnya.
Hal tersebut karena pembayaran obligasi yang sudah jatuh tempo dan dampak dari suku bunga yang lebih tinggi, menurut perhitungan dari bank dunia dalam laporan utang terbarunya. Kenaikannya hampir setara 40% selama dua tahun terakhir.
"Rekor tingkat utang dan suku bunga tinggi telah membuat banyak negara berada di jalur menuju krisis," kata Kepala ekonom Bank Dunia, Indermit Gill.
"Setiap kuartal, suku bunga yang tetap tinggi membuat lebih banyak negara berkembang menjadi tertekan – dan menghadapi pilihan sulit untuk membayar utang publik mereka atau berinvestasi dalam sektor kesehatan masyarakat, pendidikan, dan infrastruktur," sambungnya.
Pasar obligasi hanya sebagian yang pulih dari aksi jual tajam yang membawa imbal hasil Treasury acuan ke level tertinggi 16 tahun pada Oktober. Efeknya membuat sekitar satu dari empat negara berkembang dalam posisi kesulitan utang.
"Bagi negara-negara miskin, utang telah menjadi beban yang hampir melumpuhkan," kata Gill.
Dia menambahkan, bahwa kenaikan biaya pinjaman merupakan bahaya besar bagi prospek kemajuan tujuan pembangunan global PBB. Kondisi tersebut membutuhkan tindakan cepat dan terkoordinasi oleh pemerintah debitur, kreditor swasta dan resmi serta lembaga keuangan multilateral.
Dalam tiga tahun terakhir saja, ada 18 default berdaulat di 10 negara berkembang termasuk negara-negara seperti Zambia, Sri Lanka dan Ghana – lebih besar dari jumlah yang tercatat dalam dua dekade sebelumnya, menurut Bank Dunia.
Kreditor swasta juga telah menarik diri dari negara-negara berkembang, meninggalkan mereka dengan pilihan pembiayaan yang lebih sedikit. Pada tahun 2022, pinjaman luar negeri baru untuk negara berkembang turun ke level terendah dalam satu dekade.
Kreditor swasta menerima USD185 miliar lebih banyak dalam pembayaran, daripada yang mereka cairkan dalam pinjaman, pertama kalinya sejak 2015 bahwa kreditor swasta menerima lebih banyak dana daripada yang mereka masukkan ke negara-negara berkembang.
Bank Dunia memperkirakan bahwa pada akhir 2024, aktivitas ekonomi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah akan menjadi 5% di bawah tingkat pra-pandemi, dengan pertumbuhan selama periode 2020-2024 diproyeksikan berada dalam rata-rata pelemahan lima tahun sejak pertengahan 1990-an.
Pada tahun 2022, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mencetak rekor dengan membayar USD443 miliar untuk membayar utang luar negeri dan jaminan publik mereka. Angka tersebut naik 5% dari tahun sebelumnya, menurut laporan Bank Dunia. Untuk pembayaran bunga saja, tercatat telah meningkat empat kali lipat selama dekade terakhir.
Sementara itu menurut perkiraan IMF, rata-rata beban utang negara berkembang dan berpenghasilan menengah menuju di atas 78% dari PDB pada tahun 2028, dibandingkan dengan lebih dari 53% satu dekade sebelumnya.
Beberapa negara termiskin di dunia juga menghadapi beban tambahan karena mereka membayar akumulasi utang usai berpartisipasi dalam inisiatif penangguhan layanan utang G20 pada tahun 2020 dan 2021, biaya pastinya, kata Bank Dunia, tidak akan diketahui sampai 2024. "Biayanya tidak akan kecil," kata Gill.
"Negara-negara miskin akan membutuhkan lebih banyak bantuan untuk meringankan utang mereka daripada yang mereka terima sekarang," bebernya.
Hal tersebut karena pembayaran obligasi yang sudah jatuh tempo dan dampak dari suku bunga yang lebih tinggi, menurut perhitungan dari bank dunia dalam laporan utang terbarunya. Kenaikannya hampir setara 40% selama dua tahun terakhir.
"Rekor tingkat utang dan suku bunga tinggi telah membuat banyak negara berada di jalur menuju krisis," kata Kepala ekonom Bank Dunia, Indermit Gill.
"Setiap kuartal, suku bunga yang tetap tinggi membuat lebih banyak negara berkembang menjadi tertekan – dan menghadapi pilihan sulit untuk membayar utang publik mereka atau berinvestasi dalam sektor kesehatan masyarakat, pendidikan, dan infrastruktur," sambungnya.
Pasar obligasi hanya sebagian yang pulih dari aksi jual tajam yang membawa imbal hasil Treasury acuan ke level tertinggi 16 tahun pada Oktober. Efeknya membuat sekitar satu dari empat negara berkembang dalam posisi kesulitan utang.
"Bagi negara-negara miskin, utang telah menjadi beban yang hampir melumpuhkan," kata Gill.
Dia menambahkan, bahwa kenaikan biaya pinjaman merupakan bahaya besar bagi prospek kemajuan tujuan pembangunan global PBB. Kondisi tersebut membutuhkan tindakan cepat dan terkoordinasi oleh pemerintah debitur, kreditor swasta dan resmi serta lembaga keuangan multilateral.
Dalam tiga tahun terakhir saja, ada 18 default berdaulat di 10 negara berkembang termasuk negara-negara seperti Zambia, Sri Lanka dan Ghana – lebih besar dari jumlah yang tercatat dalam dua dekade sebelumnya, menurut Bank Dunia.
Kreditor swasta juga telah menarik diri dari negara-negara berkembang, meninggalkan mereka dengan pilihan pembiayaan yang lebih sedikit. Pada tahun 2022, pinjaman luar negeri baru untuk negara berkembang turun ke level terendah dalam satu dekade.
Kreditor swasta menerima USD185 miliar lebih banyak dalam pembayaran, daripada yang mereka cairkan dalam pinjaman, pertama kalinya sejak 2015 bahwa kreditor swasta menerima lebih banyak dana daripada yang mereka masukkan ke negara-negara berkembang.
Bank Dunia memperkirakan bahwa pada akhir 2024, aktivitas ekonomi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah akan menjadi 5% di bawah tingkat pra-pandemi, dengan pertumbuhan selama periode 2020-2024 diproyeksikan berada dalam rata-rata pelemahan lima tahun sejak pertengahan 1990-an.
Pada tahun 2022, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mencetak rekor dengan membayar USD443 miliar untuk membayar utang luar negeri dan jaminan publik mereka. Angka tersebut naik 5% dari tahun sebelumnya, menurut laporan Bank Dunia. Untuk pembayaran bunga saja, tercatat telah meningkat empat kali lipat selama dekade terakhir.
Sementara itu menurut perkiraan IMF, rata-rata beban utang negara berkembang dan berpenghasilan menengah menuju di atas 78% dari PDB pada tahun 2028, dibandingkan dengan lebih dari 53% satu dekade sebelumnya.
Beberapa negara termiskin di dunia juga menghadapi beban tambahan karena mereka membayar akumulasi utang usai berpartisipasi dalam inisiatif penangguhan layanan utang G20 pada tahun 2020 dan 2021, biaya pastinya, kata Bank Dunia, tidak akan diketahui sampai 2024. "Biayanya tidak akan kecil," kata Gill.
"Negara-negara miskin akan membutuhkan lebih banyak bantuan untuk meringankan utang mereka daripada yang mereka terima sekarang," bebernya.
(akr)