Perbankan Perlu Keyakinan Investasi untuk Dorong Penyaluran Kredit

Jum'at, 16 Maret 2018 - 07:01 WIB
Perbankan Perlu Keyakinan Investasi untuk Dorong Penyaluran Kredit
Perbankan Perlu Keyakinan Investasi untuk Dorong Penyaluran Kredit
A A A
JAKARTA - Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah tidak sepenuhnya sepakat anggapan Presiden Jokowi mengenai perbankan yang tidak berani ambil risiko menyalurkan kredit. Dia menilai dari kaca mata perbankan hal itu dilakukan untuk menghindari resiko munculnya kredit bermasalah (Non Performing Loan-NPL).

"Karena perbankan juga diminta oleh OJK untuk bisa menekan kredit bermasalah," ujar Firmanzah, Kamis (15/3/2018).

Menurut dia, rendahnya pertumbuhan kredit bukan hanya disebabkan oleh faktor yang disampaikan oleh Presiden, tetapi juga adanya perlambatan dari sisi pertumbuhan ekonomi dan permintaan domestik. Hal ini yang membuat ekspansi usaha terbatas. Akibatnya, kata dia, kredit investasi dan modal kerja tumbuhnya tidak mampu menembus double digit.

Dari sisi konsumen, menurut Firmanzah, kredit konsumsi terbatas tumbuhnya karena terbatasnya penciptaan lapangan kerja. Hal ini membuat rumah tangga mengerem konsumsi. Dengan masyarakat mengerem konsumsi maka otomatis kredit konsumsi yang disalurkan perbankan juga rendah.

"Kuncinya menurut saya ada di prospek ekonomi Indonesia ke depan. Kalau prospeknya bagus maka produsen dan konsumen akan lebih pede untuk mengambil kredit dari perbankan," ujarnya.

Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai, sebenarnya tidak bisa menyalahkan bank karena bank sifatnya pro cylical. Artinya ketika siklus ekonomi menurun maka penyaluran kredit pasti rendah.

"Bank juga perlu perhatikan risiko atau NPL. Tidak mungkin bank jor-joran memberi kredit ketika sektor riilnya cuma tumbuh 5%," ujarnya saat dihubungi SINDO, Kamis (15/3/2018) malam.

Sekarang jumlah kredit yang tidak tersalur atau undisbursed loan mencapai lebih dari Rp1.400 triliun. Menurut dia, ini karena pelaku usaha juga tidak berani ambil kredit baru. Mereka lihat konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,9% dan indeks penjualan riil Januari kemarin justru anjlok 1,8%.

Selain itu, pembelian durable goods atau barang tahan lama seperti perlengkapan rumah tangganya menurun. "Jadi kunci untuk dorong penyaluran kredit ada di pemerintah juga melalui efektivitas insentif ke pelaku usaha. Bukan hanya itu, kepercayaan konsumen juga perlu dijaga dengan membuat harga harga kebutuhan pokok lebih stabil," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro menilai pemerintah harus segera menemukan solusi untuk mencapai pertumbuhan PDB nasional. Salah satu caranya dengan mengganti komponen pertumbuhan yang sedang melambat yaitu konsumsi. PDB Indonesia tahun 2018 diprediksi dapat naik menjadi 5,3%.

Sejauh ini, komponen konsumsi masih menjadi pendorong perekonomian yang dominan. Kontribusinya sebesar 54,3% terhadap PDB di tahun 2017. Karena porsinya yang signifkan pada PDB, maka perlambatan pada konsumsi memiliki dampak terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Namun, kita harus waspada mengingat pertumbuhan konsumsi masih di bawah 5%. Dalam standar global, capaian pertumbuhan konsumsi di bawah 5% sebenarnya masih bagus.

"Jadi kalau ada yang bilang ada pelemahan daya beli, ya tidak cocok karena konsumsinya tumbuh meski tumbuhnya tidak di atas 5%. Sehingga istilahnya hanya melambat karena tetap tumbuh," ujar Bambang.

Selain itu, menurutnya yang juga perlu ditingkatkan adalah kontribusi konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari data hingga tahun 2013, kontribusinya baru mencapai 3% atau lebih. Sementara tahun 2011, saat perekonomian tumbuh tinggi 6,5%, kontribusi konsumsinya di atas 3,5%. "Tapi setelah tahun 2013, kontribusi pertumbuhan dari konsumsi berada di bawah 3%," ujarnya.

Bambang menjelaskan ada korelasi antara pertumbuhan konsumsi dengan sektor komoditas. Saat terjadi commodity boom sekitar tahun 2013, pertumbuhan ekonomi mencapai 6%-6,5%. Saat itu, konsumsi pernah tumbuh luar biasa di atas 5,2%-5,3%. Tapi faktor itu hilang seiring dengan berakhirnya commodity boom.

"Jadi kalau diperhatikan, kontribusi konsumsi yang besar dapat mempengaruhi kemampuan kita untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi," kata Bambang.

Saat ini, tambah Bambang, memang ada perbaikan harga komoditas, CPO, batu bara, tetapi tentunya bukan seperti commodity boom sebagaimana beberapa tahun lalu. Oleh karena itu, kontribusi atau peran strategis konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat diganti oleh komponen investasi atau ekspor.

Hanya di sisi lain, ada masalah ekspor nasional yang masih sangat bergantung kepada sumber daya alam, seperti batu bara dan CPO. Sementara investasi meski tahun lalu sudah ada tanda-tanda bangkit dengan capaian mendekati 7%. "Jadi masih perlu dioptimalkan lagi sehingga dapat membuat ekonomi kita tumbuh lebih tinggi lagi," ujarnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5389 seconds (0.1#10.140)