Cerita Boediono Soal Krisis Ekonomi 1998
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Presiden (Wapres) RI Boediono mengisahkan kembali soal krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia pada periode 1997-1998. Menurutnya, krisis yang terjadi kala itu benar-benar diluar batas yang diperkirakan pemerintah.
(Baca Juga: Siklus Krisis Ekonomi 10 Tahunan di Mata Boediono
Dia mengatakan, seharusnya Indonesia bisa lebih siap dalam menghadapi krisis kala itu. Namun ternyata Indonesia tidak siap menghadapinya, karena krisis terjadi lebih parah dari yang dibayangkan sebelumnya.
"Karena pada 1997 itu mulanya dari Thailand. Tapi pada 1997 itu kita merasa masih bagus (ekonominya), dan Bank Dunia juga mengatakan pada waktu laporan Juni 1997 mengatakan ekonomi Indonesia masih bagus. Siapa yang mengira Agustus-Desember makin parah," katanya di Gedung BI, Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Menurutnya, krisis ini disebabkan oleh faktor dari luar dimana yang diserang saat itu adalah neraca modal (capital account) Indonesia, yang menjadi andalan untuk membiayai perekonomian di Indonesia. Termasuk, untuk membiayai industri nonmigas dan perbankan di Tanah Air.
"Ini suatu yang baru sama sekali. Saya terlibat waktu itu sebagai anggota Dewan Gubernur BI. Itu melihat sekali bahwa suatu yang kita nggak bisa menerka mau kemana," imbuh dia.
Mantan Gubernur BI ini menuturkan, perekonomian Indonesia baru mulai merangkak naik pada 2004. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1998 -13%, dan kemudian pada 2004 mulai merangkak naik menjadi 4%. "Itupun dengan biaya yang luar biasa," ucap dia.
Sambung dia menambahkan, krisis 1998 memberikan pelajaran untuk Indonesia bahwa krisis finansial yang disebabkan oleh pembalikan capital account memang harus dipreferensi sejak awal. Sebab, Indonesia termasuk yang paling parah mengalami krisis kala itu. Ditambah lagi, situasi politik yang kala itu menuntut adanya reformasi juga memperparah kondisi Indonesia pada periode tersebut.
"Kita termasuk yang paling parah mengalami dampak krisis itu. Sistem pembayaran kita macet, LC kita nggak diakui dunia, semua runtuh ekonomi kita. Dan masalah politik pada waktu itu ada keinginan melakukan reformasi politik. Jadi aspek politik memperparah. Dan waktu itu kita nggak sadar el nino datang, kekeringan luar biasa. Ini menambah beban kita. Ini pengalaman penting bagi kita," tandasnya.
(Baca Juga: Siklus Krisis Ekonomi 10 Tahunan di Mata Boediono
Dia mengatakan, seharusnya Indonesia bisa lebih siap dalam menghadapi krisis kala itu. Namun ternyata Indonesia tidak siap menghadapinya, karena krisis terjadi lebih parah dari yang dibayangkan sebelumnya.
"Karena pada 1997 itu mulanya dari Thailand. Tapi pada 1997 itu kita merasa masih bagus (ekonominya), dan Bank Dunia juga mengatakan pada waktu laporan Juni 1997 mengatakan ekonomi Indonesia masih bagus. Siapa yang mengira Agustus-Desember makin parah," katanya di Gedung BI, Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Menurutnya, krisis ini disebabkan oleh faktor dari luar dimana yang diserang saat itu adalah neraca modal (capital account) Indonesia, yang menjadi andalan untuk membiayai perekonomian di Indonesia. Termasuk, untuk membiayai industri nonmigas dan perbankan di Tanah Air.
"Ini suatu yang baru sama sekali. Saya terlibat waktu itu sebagai anggota Dewan Gubernur BI. Itu melihat sekali bahwa suatu yang kita nggak bisa menerka mau kemana," imbuh dia.
Mantan Gubernur BI ini menuturkan, perekonomian Indonesia baru mulai merangkak naik pada 2004. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1998 -13%, dan kemudian pada 2004 mulai merangkak naik menjadi 4%. "Itupun dengan biaya yang luar biasa," ucap dia.
Sambung dia menambahkan, krisis 1998 memberikan pelajaran untuk Indonesia bahwa krisis finansial yang disebabkan oleh pembalikan capital account memang harus dipreferensi sejak awal. Sebab, Indonesia termasuk yang paling parah mengalami krisis kala itu. Ditambah lagi, situasi politik yang kala itu menuntut adanya reformasi juga memperparah kondisi Indonesia pada periode tersebut.
"Kita termasuk yang paling parah mengalami dampak krisis itu. Sistem pembayaran kita macet, LC kita nggak diakui dunia, semua runtuh ekonomi kita. Dan masalah politik pada waktu itu ada keinginan melakukan reformasi politik. Jadi aspek politik memperparah. Dan waktu itu kita nggak sadar el nino datang, kekeringan luar biasa. Ini menambah beban kita. Ini pengalaman penting bagi kita," tandasnya.
(akr)