Respons The Fed, Rupiah Ditutup Melemah ke Rp15.569 Sore Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah sore ini kembali ditutup melemah 49 poin ke level Rp15.569 setelah sebelumnya menguat di level Rp15.520.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, penguatan dolar Amerika Serikat karena fokus utama tetap pada data CPI AS yang dirilis pada hari Kamis diperkirakan menunjukkan inflasi sedikit meningkat di bulan Desember.
"Inflasi yang stagnan, ditambah dengan tanda-tanda ketahanan pasar tenaga kerja baru-baru ini, memberikan ruang bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama," tulis Ibrahim dalam risetnya, Rabu (10/1/2024).
Para pelaku pasar terlihat terus mengurangi pertaruhan bahwa The Fed akan mulai memangkas suku bunga secepatnya pada bulan Maret 2024. Alat CME Fedwatch menunjukkan pertaruhan terhadap penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan Maret dengan peluang 63,6%, turun dari peluang 69,6% yang terlihat dalam seminggu yang lalu.
Pejabat Fed juga terlihat menentang ekspektasi penurunan suku bunga lebih awal, dengan Presiden Fed Atlanta Ralph Bostic menyatakan bahwa ia tetap bias terhadap kebijakan moneter yang tetap ketat dalam jangka pendek.
Meskipun The Fed telah mengisyaratkan akan menurunkan suku bunga pada tahun 2024, namun hanya memberikan sedikit informasi mengenai waktu pemotongan tersebut. Bank sentral sejauh ini mempertahankan pendekatan berbasis data untuk memangkas suku bunga.
Dari sisi sentimen domestik, pasar merespon negatif dari rilis Bank Dunia, dalam Global Economic Prospects January 2024 memperkirakan ekonomi global akan melambat ke 2,4% pada tahun ini dibandingkan 2,6% pada 2023. Sedangkan, ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,7% pada 2025, proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan pada Juni lalu yakni 3,0%.
Pertumbuhan sebesar 2,6% pada 2023 juga akan menjadi yang terendah dalam 50 tahun, di luar resesi global saat pandemi. Bank Dunia juga menyebut ini adalah kali pertama mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi terus melandai selama tiga tahun beruntun.
Bank Dunia juga mengingatkan adanya risiko besar untuk pertumbuhan ke depan dari konflik di Timur Tengah, gangguan di pasar komoditas, mahalnya ongkos pinjaman, bengkaknya utang, melandainya ekonomi China, inflasi yang masih tinggi, serta perubahan iklim yang ekstrem.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, penguatan dolar Amerika Serikat karena fokus utama tetap pada data CPI AS yang dirilis pada hari Kamis diperkirakan menunjukkan inflasi sedikit meningkat di bulan Desember.
"Inflasi yang stagnan, ditambah dengan tanda-tanda ketahanan pasar tenaga kerja baru-baru ini, memberikan ruang bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama," tulis Ibrahim dalam risetnya, Rabu (10/1/2024).
Para pelaku pasar terlihat terus mengurangi pertaruhan bahwa The Fed akan mulai memangkas suku bunga secepatnya pada bulan Maret 2024. Alat CME Fedwatch menunjukkan pertaruhan terhadap penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan Maret dengan peluang 63,6%, turun dari peluang 69,6% yang terlihat dalam seminggu yang lalu.
Pejabat Fed juga terlihat menentang ekspektasi penurunan suku bunga lebih awal, dengan Presiden Fed Atlanta Ralph Bostic menyatakan bahwa ia tetap bias terhadap kebijakan moneter yang tetap ketat dalam jangka pendek.
Meskipun The Fed telah mengisyaratkan akan menurunkan suku bunga pada tahun 2024, namun hanya memberikan sedikit informasi mengenai waktu pemotongan tersebut. Bank sentral sejauh ini mempertahankan pendekatan berbasis data untuk memangkas suku bunga.
Dari sisi sentimen domestik, pasar merespon negatif dari rilis Bank Dunia, dalam Global Economic Prospects January 2024 memperkirakan ekonomi global akan melambat ke 2,4% pada tahun ini dibandingkan 2,6% pada 2023. Sedangkan, ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,7% pada 2025, proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan pada Juni lalu yakni 3,0%.
Pertumbuhan sebesar 2,6% pada 2023 juga akan menjadi yang terendah dalam 50 tahun, di luar resesi global saat pandemi. Bank Dunia juga menyebut ini adalah kali pertama mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi terus melandai selama tiga tahun beruntun.
Bank Dunia juga mengingatkan adanya risiko besar untuk pertumbuhan ke depan dari konflik di Timur Tengah, gangguan di pasar komoditas, mahalnya ongkos pinjaman, bengkaknya utang, melandainya ekonomi China, inflasi yang masih tinggi, serta perubahan iklim yang ekstrem.