Dolar Perkasa, Ekspor Harus Dipacu

Jum'at, 27 April 2018 - 08:23 WIB
Dolar Perkasa, Ekspor Harus Dipacu
Dolar Perkasa, Ekspor Harus Dipacu
A A A
JAKARTA - Sentimen pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar dalam beberapa pekan terakhir berimbas ke pasar modal. Kemarin, untuk pertama kalinya di 2018 indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot ke level di bawah 6.000.

Pada penutupan perdagangan Kamis (26/4) IHSG berada di posisi 5.909 atau melemah 170,65 (2,8%) dibanding perdagangan hari sebelumnya. Pelemahan tersebut diyakini sebagai dampak dari kondisi global yang dinilai masih diselimuti ketidakpastian, terutama terkait kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS).

“Ketidakpastian ini terutama sangat terikat dengan kebijakan AS. Siapa yang bisa memastikan? Saat ini persepsi sangat jelek," ujar Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio di Gedung BEI, Jakarta, kemarin.

Tito menjelaskan, kondisi pasar modal sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, emiten dan plus minus persepsi. Kendati demikian, ujar dia, fundamental ekonomi Indonesia masih kokoh terlebih apabila melihat kinerja emiten di bursa.

Menurutnya, sepanjang 2017 semua emiten yang telah memberikan laporan kinerja mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 20%. "48 emiten yang sudah melaporkan kinerja keuangan di kuartal I tumbuh 21,15% year on year," ujarnya.

Seperti diketahui, pada beberapa hari terakhir nilai tukar rupiah terus terdepresiasi hingga hampir menyentuh angkat Rp14.000 per dolar AS. Kemarin, rupiah menguat ke level Rp13.871 setelah pada awal pekan ini melemah ke kisaran Rp13.975 per dolar AS.

Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di Tanah Air menyatakan, kendati terjadi fluktuasi yang tajam namun secara fundamental ekonomi Indonesia saat ini berada dalam kondisi kuat. Menurutnya, laju inflasi masih sesuai dengan kisaran 3,5+1% dan defisit transaksi berjalan lebih rendah dari batas aman 3% PDB.

“Momentum pertumbuhan ekonomi juga berlanjut diikuti struktur pertumbuhan yang lebih baik serta stabilitas sistem keuangan yang tetap kuat,” kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Jakarta kemarin.

Dia memastikan, BI akan senantiasa berada di pasar untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valas maupun rupiah. Selain itu, BI juga terus memantau perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap perekonomian domestik. “Kami juga terus mempersiapkan langkah bersama-sama dengan institusi eksternal terkait," tuturnya.

Agus menambahkan, melihat kondisi terkini dari nilai tukar rupiah, BI tidak menutup ruang untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan atau BI 7-Day Repo Rate. Menurutnya, jika pelemahan rupiah berlanjut dan berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi dan menganggu stabilitas sistem keuangan, bukan tidak mungkin suku bunga acuan akan disesuaikan.

“Tentu saja kebijakan itu akan dilakukan secara berhati-hati, terukur," imbuh Agus.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat tetap tenang dalam menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Apalagi, kata dia, bukan hanya Indonesia yang terkena dampak penguatan dolar, melainkan mata uang negara lain pun juga terkena dampaknya.

Menurut Sri Mulyani, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan momen menguatnya dolar dengan meningkatkan kinerja ekspor. Apalagi, kata dia, pertumbuhan ekonomi dunia juga diprediksi terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Dia memperkirakan pada 2019, pertumbuhan ekonomi global naik tipis di angka 3,9%.

“Ekspor kita harus bisa dipacu lebih bagus. Karena memang kesempatannya adalah hari ini. Mumpung pertumbuhan global masih positif," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Sementara itu, ekonom Universitas Padjadjaran (Unpad) Ina Primiana menyebutkan, perlu adanya upaya dari pemerintah terhadap eksportir agar devisa hasil ekspor bisa memiliki manfaat lebih di Indonesia.

"Paling tidak harus diupayakan devisa hasil ekspor itu bisa masuk ke perbankan dalam negeri," ujarnya.

Selama ini, kata dia, devisa hasil ekspor ada yang tertahan di luar negeri atau hanya lewat saja di Indonesia. Kondisi tersebut turut berpengaruh terhadap kestabilan nilai tukar rupiah dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Ina menambahkan, Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Utang Luar Negeri (DULN) merupakan salah satu sumber dana pembangunan ekonomi yang bermanfaat untuk mendorong terciptanya pasar keuangan yang lebih sehat. Selain itu, dia juga menyarankan agar pemerintah bisa memberikan kemudahan eskpor dan mampu menarik sumber devisa sebanyak mungkin agar bisa masuk ke sistem perbankan di Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo mengatakan agar eksportir jangan menimbun dolar di luar negeri agar membantu penguatan nilai tukar rupiah. Dia juga menghimbau kepada siapa pun untuk turut menjaga kestabilan ekonomi Indonesia dengan menukarkan dolar ke rupiah.

Ekonom dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Drajad Hari Wibowo menyatakan jika rupiah tetap melemah selama 1-2 bulan ke depan, maka jelas akan mengganggu ekonomi Indonesia.

Drajad memandang pelemahan rupiah ini terjadi karena faktor eksternal dan internal. Menurutnya, memang ada faktor eksternal, terutama kebijakan the Fed. Tapi faktor internal juga besar peranannya.

Faktor internal yang dimaksud Drajad yaitu surplus perdagangan yang anjlok drastis, hampir 15 kali lipat. “Dari USD 4,09 miliar (Januari-Maret 2017) menjadi hanya USD0,28 miliar (Januari-Maret 2018). Jika neraca perdagangan memburuk, rupiah tentu melemah,” sebutnya.

Ekonom BCA David Sumual berpendapat, untuk mengatasi pelemahan rupiah harus kebijakan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, kata dia, bisa dilakukan dengan memberikan sinyal berupa konsistensi kebijakan.

“Ini memang ada sinyal ke depan pemerintah lebih mengutamakan konsistensi dari kebijakan. Soalnya ini juga memicu kekhawatiran juga di pasar modal," tuturnya.

Sementara untuk jangka panjang, kata dia, harus memperbaiki kebijakan struktural misalnya bagaimana cara membiayai pembangunan agar bersumber dari dalam negeri.

“Ini harus didorong dan dari ekspor. Secara struktural bermasalah karena komoditas masih sebagai porsi terbesar ekspor. Jadi kebijakan struktural dalam jangka panjang untuk memperbaiki ini," kata David.

Di bagian lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai ‎lemahnya rupiah tidak melulu faktor eksternal. Namun ada pengelolaan internal yang dinilai keliru, sehingga rupiah nyaris menyentuh Rp14.000 per dolar AS.

Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta Kementerian Keuangan dan BI menyiapkan langkah-langkah antisipatif demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), juga untuk membuat pergerakan kurs kembali normal. (Oktiani Endarwati/Mula Akmal/Okezone)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8245 seconds (0.1#10.140)