Krisis Laut Merah Bikin Eksportir China Ketar-ketir

Minggu, 21 Januari 2024 - 19:18 WIB
loading...
Krisis Laut Merah Bikin Eksportir China Ketar-ketir
Krisis Laut Merah tidak terkecuali juga menjadi hambatan bagi eksportir China. Pengusaha China, Han Changming mengaku ketar-ketir gangguan pasokan mengancam kelangsungan hidup perusahaannya. Foto/Dok Reuters
A A A
SHANGHAI - Krisis Laut Merah tidak terkecuali juga menjadi hambatan bagi eksportir China , imbas penundaan pengiriman serta kenaikan tarif. Bagi Pengusaha asal China, Han Changming, gangguan Laut Merah mengancam kelangsungan hidup perusahaan dagangnya di provinsi Timur Fujian.

Han, yang mengekspor mobil buatan China ke Afrika dan mengimpor kendaraan off-road dari Eropa, mengatakan kepada Reuters, bahwa biaya pengiriman kontainer ke Eropa telah melonjak menjadi sekitar USD7.000 atau setara Rp108,2 juta (Kurs Rp15.463 per USD) dari USD3.000 pada bulan Desember. Lonjakan itu seiring gerakan Houthi Yaman yang selaras dengan Iran meningkatkan serangan terhadap kapal komersil.

"Gangguan telah mengurangi keuntungan kami yang sudah tipis," kata Han, seperti dilansir Reuters.



Ia juga menambahkan, bahwa premi asuransi pengiriman yang lebih tinggi juga berdampak pada Fuzhou Han Changming International Trade Co Ltd, perusahaan yang ia dirikan pada tahun 2016.

Krisis pada salah satu rute pengiriman tersibuk di dunia telah mengekspos kerentanan ekonomi China yang bergantung pada ekspor di tengah ketatnya pasokan dan guncangan permintaan eksternal. Dalam pidatonya di Forum Ekonomi Dunia di Davos pada hari Selasa, Perdana Menteri Li Qiang menekankan, perlunya menjaga rantai pasokan global tetap stabil dan lancar, tanpa merujuk secara khusus ke situasi di Laut Merah.



Beberapa perusahaan, seperti BDI Furniture yang berbasis di AS, mengatakan, mereka lebih mengandalkan pabrik di Turki dan Vietnam untuk mengurangi dampak gangguan. Langkah tersebut dilakukan juga oleh negara-negara Barat untuk mengurangi ketergantungan pada China di tengah ketegangan geopolitik.

Yang dipertaruhkan bagi China sekarang adalah bahaya bahwa perusahaan lain akan mengikutinya dan menilai kembali strategi de-risking mereka. Memilih untuk mengalihkan produksi lebih dekat ke rumah, sebuah pendekatan yang dikenal sebagai "near-shoring".

"Beberapa (perusahaan) mungkin juga mempertimbangkan untuk memindahkan lebih banyak produksi ke India, yang satu minggu lebih dekat ke Eropa. Perusahaan perlu mengevaluasi kembali semuanya," ungkap Marco Castelli, pendiri IC Trade, yang mengekspor komponen mekanik buatan China ke Eropa.

Gangguan Laut Merah lebih lanjut akan menumpuk tekanan pada ekonomi China yang sedang menghadapi krisis properti, permintaan konsumen yang lemah, populasi yang menyusut dan pertumbuhan global yang lamban.

Efek Bagi Perusahaan China

Dengan perdagangan ke Eropa dan Afrika menyumbang 40% dari keseluruhan bisnis Han, Ia mengaku, telah meminta kepada pemasok dan pelanggan untuk menanggung sebagian biaya tambahan untuk menjaga perusahaannya tetap bertahan. "Waktu pengiriman untuk beberapa pesanan tertunda hingga beberapa minggu," katanya.

Kondisi Laut Merah yang masih memanas, bakal menjadi pukulan yang lebih berat untuk beberapa perusahaan China. Pasalnya krisis ini terjadi menjelang Tahun Baru Imlek pada bulan Februari, yang jadi tantangan untuk menavigasi logistik.

Dimana ada sekitar 300 juta pekerja migran yang cuti dan hampir semua pabrik di China tutup, menciptakan perebutan barang kiriman pada minggu-minggu sebelumnya.

Selain itu mengubah rute kapal dari Laut Merah - rute terpendek dari Asia ke Eropa melalui Terusan Suez - menjadi ke Good Hope dapat menambah lama waktu pengiriman menjadi dua minggu.

Beberapa perusahaan logistik sudah melaporkan kekurangan kontainer di pelabuhan Ningbo-Zhoushan di China, salah satu yang tersibuk di dunia berdasarkan tonase kargo, menurut BMI, sebuah perusahaan riset industri.

Terusan Suez merupakan rute utama untuk pengiriman barang China ke arah Barat, termasuk sekitar 60% ekspornya ke Eropa, menurut Middle East Institute, sebuah think tank yang berbasis di Washington.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1056 seconds (0.1#10.140)