Sulitnya Mewujudkan Ketahanan Energi di Negeri Cincin Api

Kamis, 13 Agustus 2020 - 17:06 WIB
loading...
Sulitnya Mewujudkan Ketahanan Energi di Negeri Cincin Api
Potensi Energi Pans Bumi Melimpah. Foto : SINDONews
A A A
JAKARTA - Agustus jadi bulan spesial bagi bangsa Indonesia. Di bulan ini Indonesia merayakan hari kemerdekaannya, yang tahun ini merupakan perayaan 75 tahun kemerdekaan Indonesia. Secara hukum Indonesia memang sudah jadi negara berdaulat, namun dalam pemenuhan berbagai kebutuhan yang mendasar, belum berdaulat. Masih tergantung negara lain.

Dari penyedian energi misalnya, meski sudah menghirup udara kemerdekaan selama 75 tahun, ketergantungan akan impor BBM masih sangat besar. Data yang disampaikan oleh Kementerian ESDM bisa jadi gambaran, bahwa di tahun 2019 lalu Indonesia membutuhkan minyak lebih dari 1,5 juta barel per hari (bpd). Sedangkan lifting minyak di dalam negeri hanya 741 ribu bpd pada 2019.

Belum lagi kapasitas kilang tanah air mentok di 1 juta bpd. Itu artinya rata-rata per hari masih harus mengimpor BBM sekitar 400 ribu bpd untuk memenuhi kebutuhan akan energi primer.

Memasuki 2020 dunia diserang pandemi virus Covid 19. Virus ini pun telah menimbulkan dampak negatif di semua sektor kehidupan. Untuk konsumsi energi memang terjadi penurunan, akibat dari aktifitas masyarakat dibatasi, banyak pabrik dan perusahaan yang terpaksa tidak beroperasi. Ini menyebabkan impor BBM pun berkurang.

Berdasarkan data yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) , sepanjang Semester I-2020 volume impor Migas turun 3,43%. Dari 19,91 juta ton di Semester I-2019 menjadi hanya 9,22 juta ton di Semester I tahun ini.

Tentunya semua berharap agar pendemi segera berlalu. Semua aktifitas bisa kembali normal. Namun hingga kini tidak ada yang dapat memastikan kapan pandemi ini berakhir. Sebelum dinyatakan berakhir, semua negara di dunia memprioritaskan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya terlebih dulu. Begitu pula di sektor energi, sumber daya yang dimiliki sebuah negara akan dihemat sedemikian rupa. Eskpor ke negara lain pun akan dibatasi.

Di sisi lain, kegiatan ekonomi di saat pandemi harus terus berjalan. Demikia juga dengan kegiatan industri. logistk dan perdagangan. Itu semua membutuhkan energi untuk menggerakannya. Krisis energi memang ada di depan mata dan pandemi membuatnya terealisasi lebih cepat.

Itu sebabnya ketahanan energi mendesak untuk segera diwujudkan. Hal ini untuk mengantisipasi kebutuhan energi yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Buat Indonesia persoalan bertambah berat, karena produksi minyak bumi terus melorot. Padahal bangsa ini masih tergantung pada sumber energi konvensional itu.

Sebenarnya dengan kekayaan sumber daya energi yang dimiliki, harus diakui Indonesia masih jauh dari mengamankan ketahanan energi masa depannya. Jika demikian kondisinya, lalu apa yang harus dilakukan agar negeri ini tidak mengalami krisis energi di masa depan.

Para pakar energi mengatakan, ada tiga hal yang harus dilakukan. Yakni, mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dengan mengembangkan sektor gas alam dan gas nonkonvensional. Mengurangi beban subsidi BBM. Terakhir diversifikasi energi mix yang terdiversifikasi melalui energi terbarukan.

Sudah jadi takdir negeri ini, memiliki pemandangan alam yang menakjubkan. Termasuk diantaranya memiliki banyak gunung api. Sehingga sering kali Indonesia dikatakan sebagai negara yang tepat berada di ring on fire dunia.

Dari catatan yang ada, di Indonesia terdapat 400 gunung. Dari jumlah tersebut , 130 diantaranya merupakan gunun api yang aktif, dan itu menjadikan Indonesia sebagai negara di dunia yang paling banyak memiliki gunung api.

Berada di kawasan cincin api dunia ,tentunya membuat Indonesia memiliki ancaman bencana erupsi gunung api dan gempa bumi. Namun begitu, dibalik potensi bahaya yang mengancam itu, Indonesia dianugrahi tersedianya sumberdaya panas bumi (geothermal) yang ramah lingkungan.

Kementerian ESDM menyebutkan, ada 299 lokasi panas bumi yang tersebar di 26 provinsi dengan total potensi mencapai 28.617 megawatt (MW) atau 40% dari potensi panas bumi dunia. Meski begitu , hingga kini pengembangannya baru mencapai 1.341 MW atau 4,6% dari potensi yang ada.


Di negara lain, energi panas bumi banyak dimanfaatkan hanya sebagai treatment untuk merawat tubuh (spa), budidaya jamur dan membantu memproduksi kertas. Itu karena uap panasnya masih di bawah 70 derajat.

Di Indonesia panas bumi suhunya bisa mencapai di atas 250 derajat celcius, sehingga bisa dimanfaatkan untuk memproduksi listrik. Penggunaan panas bumi untuk membangkitkan setrum ini jelas dapat mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk keperluan produksi listrik. Tak hanya itu, sumber energi panas bumi ini juga memiliki sejumlah kelebihan.

Kendala dan Resikonya Besar

Energi panas bumi bukan hanya bersih dan terbarukan. Persediaannya dapat diprediksi dan konstan, tak terpengaruh oleh kondisi cuaca maupun waktu. Energi yang berasal dari geothermal tidak dapat diekspor, sehingga bisa diupayakan secara masksimal untuk mencukupi kebutuhan energi domestik. Energi yang dihasilkan pun bersifat jangka panjang hingga puluhan tahun, dan ramah lingkungan.

Setiap proyek PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) wajib hukumnya melestarikan hutan atau alam, karena kalau hutannya rusak, tidak ada air hujan yang turun dan masuk ke dalam tanah, artinya tidak ada uap panas, proyek PLTP pasti mati.

Begitu besarnya potensi panas bumi yang dimiliki membuat Indonesia menjadi negara terbesar di dunia yang memiliki cadangan energi panas bumi. Bahkan Al Gore, Penerima Nobel Perdamaian 2007, yang kini menjadi aktifis lingkungan dunia meramalkan Indonesia bisa menjadi negara super power untuk energi listrik dari panas bumi.

Al Gore memang tidak mengada-ada, potensi energi panas bumi di Indonesia itu setara dengan energi yang dihasilkan dengan menambang 1.3 juta barel minyak per hari.

Sebenarnya sudah sekitar 30 tahun Indonesia mengelola panas bumi, namun, ya itu tadi, yang baru bisa dimanfaatkan hanya sekitar 8% dari potensi yang ada. Sejumlah kendala menghadang pengembangan energi masa depan ini.

Diantaranya soal regulasi, 95% sumber energi panas bumi itu terletak di kawasan hutan konservasi (hutan lindung) yang dilindungi undang undang. Dalam UU Nomor 5 /1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, diharamkan melakukan kegiatan penambangan dalam kawasan hutan lindung.

Selama ini pemanfaatan geothermal itu masih disebut dengan kegiatan penambangan. Nah, untuk itulah pemerintah mengajukan RUU Panas Bumi, yang salah satu tujuannya adalah menggantikan kata penambangan menjadi pemanfaatan panas bumi.

Kendala lainnya adalah soal harga. saat ini harga jual listrik dari pembangkit panas bumi ke PT PLN sekitar USD 7,5 sen per Kwh (kilo watt hour). Sementara harga jual listrik dari pembangkit diesel sekitar USD 20 sen/kWh dan pembangkit gas sekitar USD 13 sen/kWh. Tarif itu dinilai sangat murah, sehingga kurang menarik di mata investor.

Apalagi menurut Senior Advisor INAGA dan API Abadi Poernomo investasi untuk mebangkitkan energi dari panas bumi tergolong mahal. Ia menyebutkan untuk investasi menghasilkan litrik 1 Megawatt (MW), butuh biaya sekitar USD 5-6 juta. Lalu success ratio eksplorasi panas bumi tidak lebih dari 50%, dan success ratio pengembangan juga tidak lebih dari 70%, Diperkirakan harga yang sesuai untuk listrik geothermal sekitar USD 11-14 sen/kWh.

Baca Juga: nvestasi Panas Bumi Sangat Mahal, Tingkat Kesuksesan Tidak Tinggi

Kendala-kendala yang dihadapi itu sedikit demi sedikit mulai teratasi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi (UU No. 21 Tahun 2014) yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi.

Terdapat beberapa poin penting yang menjadi fokus perubahan dari revisi tersebut. Diantaranya, Pengusahaan panas bumi tak lagi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan, sehingga pengusahaan panas bumi dapat dilakukan di atas lahan konservasi.

UU Panas Bumi ini juga memberikan manfaat lebih besar bagi pemerintah daerah, karena mereka akan mendapatkan manfaat dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai bonus produksi. Selain memberikan tambahan PAD, payung hukum baru ini juga meringankan kerja Pemda, lantaran minimnya SDM yang paham soal panas bumi.

Setelah lahirnya UU No.21/2014, secara teori kendala dalam pemanfaatan panas bumi bisa berkurang banyak. Kini tinggal bagaimana kemauan pemerintah dan masyarakat untuk memanfaatkan energi yang cukup besar dari perut bumi itu untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.
(eko)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1173 seconds (0.1#10.140)