Gaswatt, Banyak Perusahaan Pembiayaan Terancam Bangkrut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menyatakan, pandemi Covid-19 berdampak sangat besar pada industri pembiayaan . Ketua APPI Suwandi mengatakan, pembiayaan baru mengalami penurunan dikarenakan berkurangnya daya beli masyarakat dan likuiditas pembiayaan yang ketat.
Restrukturisasi pembiayaan kepada debitor juga menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan pembiayaan (PP). Berdasarkan data OJK per Mei 2020, aset industri mengalami penurunan 1,42% secara setahunan (yoy) menjadi Rp507 triliun.
Piutang pembiayaan juga mengalami penurunan 6,4% (yoy) menjadi Rp420 triliun. Sedangkan pembiayaan bermasalah (NPF) melonjak ke level 4,1%. ( Baca juga:Apesnya Perusahaan Pembiayaan, Susah Dapat Restrukturisasi tapi Harus Memberikannya )
"Peningkatan NPF ini diakibatkan kemampuan membayar debitor berkurang dan menurunnya pembiayaan baru," ujarnya di Jakarta Kamis (13/8/2020).
Selain itu, pandemi ini juga membuat kesulitan dalam menagih angsuran kepada debitor. Alhasil, perusahaan pembiayaan dihadapkan pada masalah likuiditas.
"Perbankan juga harus menghentikan pencairan dana kepada PP dan akibatnya PP kian mengalami masalah likuiditas," sebut dia.
Apalagi PP yang tidak terafiliasi terancam tidak memiliki likuiditas yang cukup. Data per Mei 2020 menyebutkan, dari 183 PP sekitar 117 PP (64%) tidak terafiliasi. Sedangkan 32 PP (17%) terafiliasi dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan 34 PP (19%) terafiliasi dengan bank.
Di sisi lain, PP masih tetap harus melakukan pembayaran cicilan kepada perbankan atas utangnya. Tak pelak, jumlah perusahaan pembiayaan akan berkurang karena tidak mampu bersaing.
Restrukturisasi pembiayaan kepada debitor juga menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan pembiayaan (PP). Berdasarkan data OJK per Mei 2020, aset industri mengalami penurunan 1,42% secara setahunan (yoy) menjadi Rp507 triliun.
Piutang pembiayaan juga mengalami penurunan 6,4% (yoy) menjadi Rp420 triliun. Sedangkan pembiayaan bermasalah (NPF) melonjak ke level 4,1%. ( Baca juga:Apesnya Perusahaan Pembiayaan, Susah Dapat Restrukturisasi tapi Harus Memberikannya )
"Peningkatan NPF ini diakibatkan kemampuan membayar debitor berkurang dan menurunnya pembiayaan baru," ujarnya di Jakarta Kamis (13/8/2020).
Selain itu, pandemi ini juga membuat kesulitan dalam menagih angsuran kepada debitor. Alhasil, perusahaan pembiayaan dihadapkan pada masalah likuiditas.
"Perbankan juga harus menghentikan pencairan dana kepada PP dan akibatnya PP kian mengalami masalah likuiditas," sebut dia.
Apalagi PP yang tidak terafiliasi terancam tidak memiliki likuiditas yang cukup. Data per Mei 2020 menyebutkan, dari 183 PP sekitar 117 PP (64%) tidak terafiliasi. Sedangkan 32 PP (17%) terafiliasi dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan 34 PP (19%) terafiliasi dengan bank.
Di sisi lain, PP masih tetap harus melakukan pembayaran cicilan kepada perbankan atas utangnya. Tak pelak, jumlah perusahaan pembiayaan akan berkurang karena tidak mampu bersaing.
(uka)