Tak Perlu Impor, Indonesia Kini Surplus Produksi Beras

Senin, 29 Oktober 2018 - 08:55 WIB
Tak Perlu Impor, Indonesia Kini Surplus Produksi Beras
Tak Perlu Impor, Indonesia Kini Surplus Produksi Beras
A A A
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis Indonesia mengalami surplus produksi beras sebanyak 2,8 juta ton. Oleh karena itu, rencana pemerintah yang akan mengimpor beras dinilai langkah yang tidak tepat.

Hal itu dikemukakan sejumlah kalangan mengomentari polemik impor beras yang berkembang selama ini. Pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan dengan hasil paparan BPS yang menegaskan Indonesia mengalami surplus produksi beras ini memang sebuah prestasi.

“Ini prestasi pemerintahan Jokowi, khususnya prestasi Kementerian Pertanian di bawah komando Menteri Amran dan prestasi para petani,” ujar Hendri Satrio yang akrab disapa Hensat dalam rilisnya, belum lama ini.

Hensat menambahkan, apa yang telah diupayakan Kementan dengan terus menggenjot produksi ini menimbulkan kenyamanan. “Walau dari beberapa survei ekonomi, negara kita mengalami kesulitan, namun dengan surplus beras ini, rakyat tidak lagi takut akan kekurangan beras,” imbuhnya.

Menurut Hensat, yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana distribusi surplus beras ini memang benar-benar bisa dinikmati rakyat. “Dengan data kuat seperti ini harusnya sisi lain sektor pemerintah di bidang perdagangan segera berkoordinasi dengan Kementan sehingga tidak ada lagi polemik tentang harus atau tidaknya mengimpor beras,” tegasnya.

Surplus beras ini, kata Hensat, bisa menjadi rujukan kuat karena metodenya telah disempurnakan oleh BPS sehingga seharusnya memang kita tak perlu impor beras lagi.

Kendati BPS menyatakan Indonesia surplus beras, namun lembaga ini malah mendukung pemerintah mengimpor beras 2 juta ton. Hal itu dikemukakan Kepala BPS Kecuk Suhariyanto saat jumpa pers di Jakarta, Selasa (23/10) lalu.

“Kenapa masih impor? Karena surplus (beras) ini tidak terletak di satu tempat. Surplus (keberadaannya) tersebar di petani, konsumen, pedagang, penggilingan sehingga, tidak bisa dijadikan sebagai acuan cadangan beras nasional. Itu tidak bisa dikelola pemerintah,” ungkap Kecuk.

Menyikapi pernyataan tersebut, Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengatakan bahwa hal itu bukan tupoksi BPS. Menurutnya, BPS melenceng dari tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga negara di bidang statistik.

“Bukan bagian dia itu (memberikan dukungan atas kebijakan impor beras),” Heri Gunawan di Jakarta, Jumat (26/10). Politikus Partai Gerindra ini menekankan tugas BPS paling utama adalah menyinergikan data produksi yang dimilikinya kepada kementerian dan lembaga terkait.

Artinya, BPS harus memastikan bahwa data produksi yang diperolehnya betulbetul diolah dengan menggunakan metode yang tepat. “Data itu pula menjadi dasar bagi pemerintah untuk menetapkan sebuah kebijakan,” terangnya.

Sayangnya, Heri menilai BPS telah bertindak terlalu jauh dengan membuat interpretasi pembenaran terhadap kebijakan impor beras pemerintah dengan dalih data yang diolahnya sendiri.

“Ini yang repot kalau jalan sendiri-sendiri,” katanya. Lebih lanjut Heri mengatakan hal ini akan sangat fatal jika BPS ikut memberikan penekanan terhadap sebuah kebijakan.

“Saya khawatir penekanan oleh BPS ini kemudian disikapi dalam kebijakan importase pangan lainnya seperti importase gula yang sebelumnya ramai karena diprotes oleh petani gula,” katanya.

Oleh sebab itu, Heri meminta BPS lebih fokus dalam mempertanggungjawabkan data yang dimilikinya. Sehingga data tersebut bisa dikoordinasikan dengan lembaga lain sebagai dasar memutuskan kebijakan.

Makanya, sambung Heri, ketimbang memicu polemik baru di publik, BPS harus bersinergi dengan Kemendag, Kementan, Bulog dan instansi pemerintah lainnya. Sebab pada akhirnya, data BPS ini jadi pijakan pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan seperti dalam importase pangan.

Baginya, data soal produksi beras yang surplus tersebut merupakan informasi yang positif. “Kita bersyukur untuk itu. Cuma akan lebih baik kalau BPS sinergikan dengan kementerian dan lembaga lainnya,” imbuhnya.

Hal senada dilontarkan Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin. Menurutnya, sebaiknya BPS hanya berbicara dalam tataran pengumpulan data. Tidak kemudian ikut memberikan pembenaran terhadap kebijakan impor beras yang diambil pemerintah.

“Tidak etis BPS bicara perlu tidaknya impor. BPS itu cukup berbicara bahwa data dia bisa dipercaya dengan menggunakan teknologi yang meyakinkan kita semua, bahwa (data) BPS itu benar,” katanya.

BPS, lanjut politikus PKS ini, harus memastikan bahwa data-data yang jadi pijakan pemerintah dalam mengambil kebijakan valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Tidak kemudian ujug-ujug ikut memberikan penekanan terhadap perlu tidaknya impor.

“Bagi DPR dan Pemerintah yang penting data (BPS) benar, mengenai perlu tidaknya impor itu urusan DPR bersama pemerintah,” tegas dia. Menurutnya, justru sangat aneh kalau BPS ikut memberikan penekanan terhadap impor beras 2 juta ton tersebut.

Sebab data surplus beras 2,8 juta ton malah makin menguatkan indikasi adanya kebijakan ugal-ugalan dalam menetapkan impor pangan. “Itu ugal-ugalan karena angkanya sangat besar. Jadi bukan masalah haramkan impor,” katanya.

Untuk itu, pria alumnus IPB ini menyarankan BPS cukup berpedoman pada tupoksinya sebagaimana diatur undang-undang. Tidak kemudian ikut cawe-cawedalam memberikan penilaian perlu tidaknya impor beras.

“Nanti DPR curiga ada apa BPS bicara impor. Ini bahaya. Kita dukung BPS profesional, jangan mau didikte, sampaikan saja data apa adanya. Soal kebijakan itu urusan pemerintah bersama DPR. Walau BPS di bawah pemerintah, tapi harus jadi lembaga kredibel yang dipercaya,” tandas Akmal.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8232 seconds (0.1#10.140)