Skema Kemitraan Buruk, Pengemudi Grab Diprediksi Bakal Migrasi Massal
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika memprediksi migrasi massal yang dilakukan pengemudi Grab Indonesia ke Go-Jek, akan terus terjadi. Hal ini terjadi akibat skema kemitraan Grab yang buruk, yaitu mencakup bagi hasil antara mitra dengan aplikator, algoritma penarifan, serta jaminan keselamatan dan kesejahteraan bagi para pengemudinya.
"Migrasi ini jadi bukti kalau kondisi kemitraan di Grab lebih buruk. Selama itu tidak berubah, migrasi akan terus terjadi," kata Harryadin di Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Dia menilai, hal ini wajar terjadi karena bercermin pada kondisi Grab yang menerapkan tarif terlalu rendah dan banjir promo hingga mengorbankan pendapatan pengemudi. "Grab di Indonesia terlalu berambisi mengejar valuasi dan market share. Tapi kondisi kemitraan antar pengemudinya dibiarkan payah," imbuh dia.
Tak hanya di Indonesia, kondisi serupa juga terjadi pada pengemudi lokal Singapura bergabung ke Go-Jek yang hari ini resmi masuk pasar Singapura. Banyaknya pengemudi yang siap migrasi ke Go-Jek, menguatkan pandangan bahwa skema kemitraan di Grab tidak menarik dan tidak menguntungkan pengemudinya.
Fleksibilitas manajemen dalam menerima aspirasi pengemudi juga jadi faktor yang membuat Go-Jek terlihat lebih menarik. "Bagaimana Go-Jek bisa merawat hubungan dengan mitranya, juga jadi pembeda yang masuk dalam pertimbangan para pengemudi," tuturnya.
Lebih dilihat olehnya Go-Jek juga perlu menerima migrasi dari pengemudi ini sebagai bukti keunggulan model bisnisnya. Namun, secara hitungan ideal pengemudi, Go-Jek juga perlu hati-hati supaya tidak mengurangi pendapatan mitra yang sudah ada. "Perlu diterima secara bertahap dan memanfaatkan ekspansi Go-Jek ke kota-kota lain. Screening kualitas mitra juga tidak boleh jadi longgar," tandas Harryadin.
"Migrasi ini jadi bukti kalau kondisi kemitraan di Grab lebih buruk. Selama itu tidak berubah, migrasi akan terus terjadi," kata Harryadin di Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Dia menilai, hal ini wajar terjadi karena bercermin pada kondisi Grab yang menerapkan tarif terlalu rendah dan banjir promo hingga mengorbankan pendapatan pengemudi. "Grab di Indonesia terlalu berambisi mengejar valuasi dan market share. Tapi kondisi kemitraan antar pengemudinya dibiarkan payah," imbuh dia.
Tak hanya di Indonesia, kondisi serupa juga terjadi pada pengemudi lokal Singapura bergabung ke Go-Jek yang hari ini resmi masuk pasar Singapura. Banyaknya pengemudi yang siap migrasi ke Go-Jek, menguatkan pandangan bahwa skema kemitraan di Grab tidak menarik dan tidak menguntungkan pengemudinya.
Fleksibilitas manajemen dalam menerima aspirasi pengemudi juga jadi faktor yang membuat Go-Jek terlihat lebih menarik. "Bagaimana Go-Jek bisa merawat hubungan dengan mitranya, juga jadi pembeda yang masuk dalam pertimbangan para pengemudi," tuturnya.
Lebih dilihat olehnya Go-Jek juga perlu menerima migrasi dari pengemudi ini sebagai bukti keunggulan model bisnisnya. Namun, secara hitungan ideal pengemudi, Go-Jek juga perlu hati-hati supaya tidak mengurangi pendapatan mitra yang sudah ada. "Perlu diterima secara bertahap dan memanfaatkan ekspansi Go-Jek ke kota-kota lain. Screening kualitas mitra juga tidak boleh jadi longgar," tandas Harryadin.
(akr)