Miliki Potensi 23.765 MW, Industri Panas Bumi Punya Peran Penting bagi Indonesia

Kamis, 13 Juni 2024 - 11:26 WIB
loading...
Miliki Potensi 23.765...
Industri panas bumi diyakini dapat menjadi tulang punggung mewujudkan ketahanan energi ekonomi nasional. FOTO/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi mencapai 23.765,5 MW, atau sekitar 40% total potensi panas bumi global. Dengan potensi tersebut, industri panas bumi diyakini sangat penting karena dapat menjadi tulang punggung untuk mewujudkan ketahanan energi dan mendukung perekonomian nasional.

Sementara itu, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih terbilang berjalan lambat. Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, berdasarkan data, selama 2017-2023 kapasitas terpasang panas bumi hanya meningkat sekitar 789,21 MW.

"Sejak mulai diusahakan pada 1980-an sampai dengan akhir 2023, total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi Indonesia dilaporkan baru mencapai sekitar 2.597,51 MW, atau baru sekitar 10,3% dari total potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia," ungkapnya di Jakarta, Kamis (13/6/2024).

Padahal, kata dia, dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi, Komaidi menjabarkan, panas bumi dapat membantu merealisasikan target Net Zero Emission (NZE) yang ditargetkan dicapai pada 2060. Berdasarkan perhitungan ReforMiner, kata dia, jika seluruh potensi panas bumi Indonesia dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e atau setara dengan 58% target penurunan GRK sektor energi pada tahun 2030 yang ditetapkan sebesar 314 Juta Ton CO2e.



Selanjutnya, berdasarkan karakteristiknya, energi panas bumi menurutnya dapat membantu mewujudkan ketahanan energi nasional. Hal itu karena keberadaan dan pemanfaatan panas bumi pada umumnya melekat pada negara atau wilayah yang memiliki sumber daya panas bumi. "Karena relatif tidak dapat diekspor, prioritas pemanfaatan energi panas bumi adalah untuk kepentingan domestik yang relevan dengan upaya mewujudkan ketahanan energi nasional," ujarnya.

Terkait ketahanan energi, lanjut dia, panas bumi juga memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan jenis energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya. Keunggulan itu antara lain tidak bergantungan pada cuaca; produksi energi yang lebih besar untuk periode yang sama; tingkat kapasitas yang lebih tinggi; prioritas untuk kepentingan domestik; tidak terpengaruh oleh kenaikan harga energi fosil; biaya operasi pembangkitan yang relatif lebih murah.

Dalam kelompok EBT, jelas Komaidi, faktor kapasitas listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai yang terbaik yaitu antara 90-95%. PLTP tercatat sebagai satu-satunya pembangkit EBT yang dapat beroperasi sebagai beban dasar (base load) dalam sistem kelistrikan. "Faktor kapasitas PLTP yang besar tercermin dari meskipun kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) milik PLN pada tahun 2023 hanya sekitar 0,79% terhadap total kapasitas terpasang, produksi listrik PLTP yang dikelola PLN pada tahun yang sama mencapai sekitar 1,33% terhadap total produksi listrik PLN," paparnya.

Lebih lanjut, Komaidi mengatakan bahwa pemanfaatan panas bumi untuk sumber energi domestik dapat membantu mewujudkan ketahanan ekonomi nasional. Sebab, sumber energi panas bumi terbebas dari risiko kenaikan harga energi primer seperti yang terjadi pada energi fosil pada umumnya. "Karena relatif terbebas dari risiko kenaikan harga, pemanfaatan energi panas bumi dapat membantu menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional," cetusnya.

Di sisi lain, biaya operasi PLTP pun tercatat sebagai salah satu yang termurah. Berdasarkan Statistik PLN 2022, rata-rata biaya operasi PLTP berada jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional, yakni Rp118,74/kWh atau sekitar 8,60% dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional yang dilaporkan sebesar Rp1.473/kWh.

"Pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi juga berpotensi memberikan manfaat positif terhadap kondisi makro moneter Indonesia. Dengan asumsi rata-rata harga minyak mentah USD100 per barel, konversi seluruh PLTD di Indonesia dengan PLTP dapat menghemat devisa impor migas sekitar USD6,07 miliar setiap tahunnya. Penghematan tersebut akan memberikan manfaat positif terhadap kondisi neraca perdagangan dan peningkatan nilai tukar rupiah," tambahnya.

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, berdasarkan dokumen kebijakan yang ada, panas bumi tampak belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi. RUPTL 2021-2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai tahun 2030 adalah 20,9 GW. Sekitar 66% dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari PLTA dan PLT Surya masing-masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW. Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16% dari total tambahan pembangkit EBET.

Relatif sama dengan RUPTL 2021–2030, target pemanfaatan panas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga tampak tidak menjadi prioritas utama. Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLT Surya. Sampai dengan tahun 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing–masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.

Belum dijadikannya energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi menurut dia karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya. Berdasarkan review, terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia, di antaranya risiko kegagalan eksplorasi; risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi; hambatan regulasi dan tatakelola; kebutuhan modal awal yang cukup besar; durasi pengembangan relatif lama; dan lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.

"Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih relatif mahal," katanya.



Terkait dengan itu, Komaidi mengatakan bahwa permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama. Akan tetapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan.

Komaidi merujuk pada Amerika Serikat; Kenya; Islandia; (4) Selandia Baru; dan Meksiko di antara negara yang telah berhasil dalam pengembangan panas buminya. Kenya dan Islandia menurutnya tercatat sebagai negara yang cukup serius dalam mengembangkan dan mengusahakan energi panas bumi. Porsi produksi listrik panas bumi dari Kenya dan Islandia pada 2023 masing-masing mencapai 29% dan 26% dari total produksi listriknya.

Bahkan, negara tetangga Filipina juga tercatat cukup serius dalam pengembangan dan pengusahaan energi panas bumi. Meskipun harga listrik panas bumi di Filipina tercatat masih lebih tinggi dari rata-rata BPP listrik nasional, perkembangan listrik panas bumi di negara tersebut cukup signifikan. Kapasitas terpasang listrik panas bumi Filipina pada tahun 2023 dilaporkan mencapai 48% dari total sumber daya panas bumi yang mereka miliki.

Mengingat ketersediaan sumber daya yang besar dan sejumlah potensi manfaat yang akan diperoleh, menurut Komaidi, memformulasikan dan mengimplementasikan terobosan kebijakan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi perlu dilakukan oleh para stakeholder pengambil kebijakan. "Sejumlah terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kenya, Islandia, dan Filipina yang telah terbukti berhasil meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi pada masing-masing negara tersebut. Ini kiranya dapat dijadikan sebagai lesson learn untuk pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia," pungkasnya.
(fjo)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1767 seconds (0.1#10.140)