Butuh Insentif dan Tarif Atraktif untuk Akselerasi Pengembangan Panas Bumi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terletak di zona geologi dengan aktivitas vulkanik tinggi yang dikenal sebagai "cincin api" di sepanjang Samudera Pasifik, Indonesia dikaruniai potensi panas bumi luar biasa besar, mencapai 24 gigawatt. Namun demikian, pengembangan dan pemanfaatannya sebagai sumber energi bersih masih terbilang rendah.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, realisasi penggunaan panas bumi saat ini baru sekitar 3.000 MW. Satya mengatakan, untuk mengakselerasi pengembangan panas bumi dari total potensi sebesar 24 GW yang ada, perlu ada terobosan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).
"Bisa dibayangkan, panas bumi yang banyak belum dikembangkan itu harus berkontribusi 5% dalam bauran energi secara keseluruhan di tahun 2060. Jadi masih banyak pekerjaan rumah agar panas bumi bisa memenuhi bauran itu pada 2060," ujar Satya dalam webinar bertajuk "Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060" yang digelar Reforminer Institute, Senin (15/1/2024).
Menurut Satya, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mempercepat monetisasi potensi panas bumi. Pertama, harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek. "Jadi jangan dibandingkan harga satu jenis energi dengan jenis energi lain yang tidak apple to apple," katanya.
Agar lebih menarik, lanjut Satya, sebaiknya ada insentif lain semisal penggantian biaya infrastruktur, mitigasi risiko eksplorasi, atau menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya. Selain itu, menurutnya perlu adanya jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko, yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker dan pengembang.
Hal senada dikatakan, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi. Menurut dia, pengembangan panas bumi di Tanah Air tidak akan berubah dan akan berkutat pada masalah yang sama tanpa terobosan baru. Berbagai upaya yang sudah ditempuh menurutnya belum memberikan hasil optimal bagi percepatan pengembangan panas bumi. "Harus ada kebijakan yang pas untuk mengurangi risiko pengembangan panas bumi," tegasnya.
API menilai perlu kolaborasi antara badan usaha dan stakeholders lainnya untuk meminimalkan berbagai kendala tersebut. Salah satunya adalah persoalan tarif yang masih kurang atraktif. Dari sisi pengusaha, kata dia, skema feed in tariff menjadi pilihan untuk memberikan kepastian.
Selain itu, kata dia, model bisnis juga perlu diperbarui, demikian pula penggunaan teknologi yang mampu mempercepat commercial of date (CoD) proyek panas bumi, serta pengembangan produk sekunder yang dapat menjadi tambahan pendapatan bagi pengembang panas bumi.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro mengatakan, di tengah kendala yang ada, panas bumi sejatinya adalah sumber energi terbarukan yang paling potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Tak hanya mampu menekan emisi karbon dalam rangka pencapaian Net Zero Emission (NZE) 2060, namun juga paling sesuai sebagai pembangkit listrik base load yang dapat menggantikan pembangkit berbahan bakar batu bara.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, realisasi penggunaan panas bumi saat ini baru sekitar 3.000 MW. Satya mengatakan, untuk mengakselerasi pengembangan panas bumi dari total potensi sebesar 24 GW yang ada, perlu ada terobosan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).
"Bisa dibayangkan, panas bumi yang banyak belum dikembangkan itu harus berkontribusi 5% dalam bauran energi secara keseluruhan di tahun 2060. Jadi masih banyak pekerjaan rumah agar panas bumi bisa memenuhi bauran itu pada 2060," ujar Satya dalam webinar bertajuk "Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060" yang digelar Reforminer Institute, Senin (15/1/2024).
Menurut Satya, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mempercepat monetisasi potensi panas bumi. Pertama, harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek. "Jadi jangan dibandingkan harga satu jenis energi dengan jenis energi lain yang tidak apple to apple," katanya.
Agar lebih menarik, lanjut Satya, sebaiknya ada insentif lain semisal penggantian biaya infrastruktur, mitigasi risiko eksplorasi, atau menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya. Selain itu, menurutnya perlu adanya jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko, yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker dan pengembang.
Hal senada dikatakan, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi. Menurut dia, pengembangan panas bumi di Tanah Air tidak akan berubah dan akan berkutat pada masalah yang sama tanpa terobosan baru. Berbagai upaya yang sudah ditempuh menurutnya belum memberikan hasil optimal bagi percepatan pengembangan panas bumi. "Harus ada kebijakan yang pas untuk mengurangi risiko pengembangan panas bumi," tegasnya.
API menilai perlu kolaborasi antara badan usaha dan stakeholders lainnya untuk meminimalkan berbagai kendala tersebut. Salah satunya adalah persoalan tarif yang masih kurang atraktif. Dari sisi pengusaha, kata dia, skema feed in tariff menjadi pilihan untuk memberikan kepastian.
Selain itu, kata dia, model bisnis juga perlu diperbarui, demikian pula penggunaan teknologi yang mampu mempercepat commercial of date (CoD) proyek panas bumi, serta pengembangan produk sekunder yang dapat menjadi tambahan pendapatan bagi pengembang panas bumi.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro mengatakan, di tengah kendala yang ada, panas bumi sejatinya adalah sumber energi terbarukan yang paling potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Tak hanya mampu menekan emisi karbon dalam rangka pencapaian Net Zero Emission (NZE) 2060, namun juga paling sesuai sebagai pembangkit listrik base load yang dapat menggantikan pembangkit berbahan bakar batu bara.